Tahun 2020 adalah tahun istimewa, karena itulah pertama kali saya menginjakkan kaki di Jawa, tepatnya di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk studi di STAK Marturia Yogyakarta jurusan Theologi. Kesempatan studi di perguruan tinggi merupakan berkat Tuhan, mengingat banyak anak muda tidak bisa studi lanjut disebabkan hambatan ekonomi atau minim keinginan belajar. Saya tidak hanya semata-mata kuliah saja. Selain mengerjakan kewajiban sebagai seorang mahasiswa theologi, saya juga mengolah lahan pertanian. Ini sebuah perwujudan melakukan perintah Tuhan mengelola sumber daya alam.
Berbekal pengetahuan bertani dari bapak di Lampung, tahun 2020 saya memulai menanam padi dengan menyewa lahan pertanian milik desa Nologaten. Bercocok tanam padi merupakan pilihan saat itu karena saya belum melihat altenatif lain. Setelah pengalaman tiga kali tanam padi, saya mulai menanam kacang panjang, terong, dan cabai. Ketiga tanaman ini perlu pengolahan lahan dan membuat gulutan atau bedengan agar tanaman tidak terendam air ketika hujan. Perawatan tanaman ini pun beragam, misalnya cabai harus memperhatikan pertumbuhan bunga bakal calon cabai dan membersihkan gulma di sekitar tanaman cabai, bahkan memangkas cabai yang busuk supaya tidak menulari cabai lainnya. Sedangkan perawatan kacang panjang lebih pada penyulaman benih yang tidak tumbuh dan pemasangan lanjaran untuk merambat tanaman. Hama yang sering muncul adalah semut hitam dan belalang, namun bisa diatasi dengan insektisida sesuai dosis.
Semangat bertani juga saya dapatkan dari Stube HEMAT Yogyakarta, khususnya program Keanekaragaman Hayati: Inisiatif Pangan Lokal di tahun 2022. Saya menemukan pencerahan pentingnya mengolah pangan lokal untuk menunjang perekonomian suatu daerah karena setiap daerah memiliki pangan lokal yang khas. Setelah pelatihan, saya menerapkan dengan menanam jagung. Sebenarnya tidak sulit merawat tanaman jagung agar menghasilkan panen yang memuaskan, hanya perlu perawatan yang sungguh-sungguh, mulai dari pemupukan, saat tanaman berumur dua minggu, dan ketika jagung sudah mulai memperlihatkan bakal buah. Tidak lupa memangkas bakal buah yang tidak terlalu baik pertumbuhannya untuk menyeleksi jumlah buah dalam satu pohon. Setelah itu, tinggal menunggu panen antara 60-70 HST (Hari Setelah Tanam) dan memantau serangan hama. Tanaman lain yang saya tanam adalah bestru, dari jenis gambas atau oyong. Menanam bestru cukup mudah karena hanya menyiapkan lahan dan tempat untuk merambatnya tanaman. Buah bestru dimanfaatkan sebagai sayur dan spons jika seratnya sudah tua.
Untuk menanam jagung, saya mengeluarkan modal Rp. 600.000,- (enam ratus ribu rupiah) untuk benih, pupuk dan sewa lahan. Saat panen jagung periode pertama, saya memperoleh 150 kg jagung dengan harga 7.000/kg. Itu berarti total income Rp 1.050.000 atau setidaknya 350 ribu per bulan, belum termasuk hasil penjualan janggel (posol/jagungmuda) dan batang jagung untuk pakan ternak. Selain untuk konsumsi sehari-hari, saya bisa mengolah pangan lokal dan memiliki income untuk biaya kuliah.
Menurut saya, mahasiswa tidak cukup hanya kuliah saja, tetapi perlu memiliki kesadaran mengolah sumber daya alam dan diwujudkan dalam tindakan. Aku mencangkul maka aku hidup, sebuah motto yang menyemangati untuk turut serta mengolah pangan lokal yang berkelanjutan selain mendapatkan income untuk hidup. Ayo, terus semangat! ***
Pernahkah kita menyadari kebutuhan manusia yang harus ada, yakni keamanan untuk keberlanjutan hidup? Pernahkan terlintas dalam benak kita tentang keamanan hunian yang kita tempati? Atau pernahkan kita sadar dengan segala sesuatu yang bisa mengancam hidup kita? Sejauh apakah kita mengenal kondisi bangunan yang kita datangi dan seberapa amankah fasilitas umum yang kita gunakan?
Kepekaan tentang hal ini tentu saja perlu diasah, oleh karena itu Stube HEMAT Yogyakarta melalui program ‘Infrastruktur yang Tangguh’ mengumpulkan anak muda mahasiswa dalam diskusi “Siapkah Kita Menghadapi Bencana” di Sekretariat Stube HEMAT (Rabu, 19 April 2023). Kegiatan ini bertujuan mengenalkan peserta pentingnya memiliki kesadaran akan konsep bangunan/infrastuktur yang layak dan aman. Selain itu, untuk menggali kesiapan peserta mengadapi bencana, khususnya di daerah yang rentan, tempat mereka tinggal.
Narasumber Rogatianus Anang Setiyargo, S.T mengawali diskusi dengan mengundang peserta menceritakan pengalaman ketika mengalami bencana. Di sini terungkap beberapa pengalaman saat mengalami gempa bumi, gunung meletus dan tanah longsor di daerah mereka. Ia juga memandu peserta mengidentifikasi Indonesia dari bencana apa saja yang berpotensi merusak bangunan serta infrastruktur yang ada. Selanjutnya, peserta menyimak pengalaman langsung dari narasumber bagaimana melakukan rekonstruksi hunian paska bencana di beberapa wilayah di Indonesia. Tempat tinggal yang kokoh menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan, mulai dari struktur bangunan, ketersediaan bahan dan kesiapan masyarakat merawat infrastruktur.
Pengetahuan peserta pun bertambah ketika mendengar penjelasan tambahan dari Ir. Hero Darmawanta, M.T., salah satu board Stube HEMAT, yang mengungkap kondisi atau karakteristik daerah yang mempengaruhi konsep pembangunan infrastruktur. “Konstruksi bangunan yang kuat sebenarnya tergantung pada karakteristik tanah setiap daerah dan tentu saja itu berbeda-beda setiap daerah,” paparnya. Potensi kebencanaan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain gempa bumi, gunung meletus, tanah longsor, tanah kekeringan, gelombang tinggi dan abrasi, banjir bandang, tsunami dan likuifasi. Untuk mengetahui karateristik tanah di setiap daerah secara detil bisa mempelajari data di Dinas Pertanahan dan Tata Ruang yang ada di propinsi atau kabupaten. Diskusi ini menjadi lebih menarik ketika peserta antusias bertanya dan membagikan keadaan dan kondisi daerah mereka.
Kesiapsiagaan dan kepekaan mahasiswa selaku anak muda tentu saja sangat penting untuk melihat kondisi di sekitarnya, termasuk keamanan bangunan tempat aktivitas pribadi maupun bersama. Melalui pertemuan ini peserta diharapkan mampu melihat ancaman bencana di daerahnya masing-masing dan mengetahui konsep bangunan seperti apa yang bisa dibangun berdasarkan karakteristik tanah yang ada, dan beradaptasi dengan ancaman tersebut karena infrastruktur yang kuat akan menciptakan rasa aman dan tentram.***
Program Ekonomi Kelautan Stube HEMAT Yogyakarta menginspirasi mahasiswa untuk memikirkan laut sekaligus kegiatan wirausaha untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Ini wujud dukungan Stube HEMAT Yogyakarta kepada para mahasiswa agar berani melakukan terobosan dan kreatif bereksperimen berkaitan hasil laut, yang bahkan tidak mustahil bisa menjadi wirausahawan berbasis laut.
Beberapa mahasiswa mengambil inisiatif melakukan usaha berbasis laut sesuai dengan minat masing-masing, antara lain, Sarlota Wantaar, merintis bisnis nasi goreng tuna dan nasi goreng cumi. Ia memilih bisnis ini karena nasi menjadi kebutuhan pokok sehari-hari dengan segmen pasar mahasiswa. Dalam penjualan ia menawarkan secara online dan pemesanan. Daniel Prasdika menggagas bisnis pempek, baginya pempek tidak asing karena ia berasal dari Lampung. Prasdika bekerjasama dengan Asti dan Wisnu dalam memproduksi pempek ikan tengiri. Tantangan dalam membuat pempek adalah menemukan komposisi tepung yang tepat dan bumbu kuah asam. Selain makanan utama, ada makanan pelengkap berbasis laut, seperti Daniel yang mengembangkan sambal pindang, kombinasi cabe dan ikan pindang dengan bumbu-bumbu pilihan. Sebagai mahasiswa pertanian, ia memprioritaskan pemanfaatan produksi cabe organik yang ia beli langsung dari petani, dan memilih level pedas untuk sambalnya. Dalam pemasarannya, ia mematok harga 15.000 per botol, harga yang masih terjangkau mahasiswa.
Alternatif pangan berbasis laut sebagai hidangan penutup atau ‘dessert’ dipilih oleh Kresensia Efrieno yang memproduksi puding dengan tema laut. Sebagai daya tarik pudingnya, ia membuat beberapa lapisan agar-agar transparan dan agar-agar berbentuk ikan laut dengan harga jual 2.500 per cup. Selanjutnya, Eufemia Sarina memproduksi risoles ikan pindang yang dijual @ Rp 10.000 per paket (isi 3 buah). Risoles ini terdiri dari risoles siap makan, dan dalam bentuk beku apabila konsumen ingin mengkonsumsi di waktu yang berbeda. Tak ketinggalan, untuk minuman, Trustha Rembaka membuat es buah rumput laut yang terdiri dari buah pepaya, nanas, labu siam dan rumput laut. Rumput laut yang digunakan adalah Eucheuma Cottonii yang bermanfaat karena mengandung serat, nutrisi, vitamin, kalsium dan mineral. Produk es ini bisa disajikan segar maupun beku dalam bentuk es lilin.
Dalam proses bisnis berbasis hasil laut, mahasiswa belajar bagaimana mengolah pangan dan penyajiannya, mempromosikan produk dan mengelola keuangan bisnis. Stube HEMAT Yogyakarta memfasilitasi mahasiswa dengan dukungan pinjaman modal sesuai yang dibutuhkan untuk memulai usaha kecil. Dari proses usaha yang dilakukan, mahasiswa mendapat beragam prosentase keuntungan berkisar mulai dari yang terkecil 10% sampai ada yang mencapai 100%. Dengan aneka model promosi dan persuasi menjual, mahasiswa memiliki pengalaman bagaimana menghadapi konsumen, melayani keinginan pasar, menjaga kualitas produk, dan menentukan harga.
Pengalaman-pengalaman ini memperkaya selain wawasan tentang lautan Indonesia dan hasil-hasilnya, juga memupuk jiwa kewirausahaan. Mereka bisa memanfaatkannya sesuai dengan minat dan kemampuan mereka, baik ketika masih berada di Yogyakarta maupun ketika nantinya sudah kembali ke daerah asalnya. Teman-teman mahasiswa, lihat kembali lautan Indonesia dan manfaatkan keragaman hasil lautnya untuk peningkatan kesejahteraan. Selamat berinovasi! ***
Saya Ardiani Gulo, mahasiswa STIKES Senior, Medan semester enam. Awalnya saya berpikir bahwa menjadi seorang mahasiswa itu sulit karena memiliki tugas dan tanggung jawab besar dan hanya fokus pada jurusan yang dipilih. Setelah menjadi mahasiswa, ternyata berbeda dengan apa yang saya pikirkan, saya merasa senang dan merasakan keseruan. Karena kampus saya termasuk kampus merdeka, ada beragam program yang bisa diikuti oleh mahasiswa, salah satunya yaitu program Kampus Mengajar.
Dengan memberanikan diri, saya mencoba mendaftar menjadi peserta Kampus Mengajar dengan mengikuti berbagai seleksi yang menjaring hanya 16 mahasiswa saja. Meskipun tidak mudah, akhirnya saya terpilih dari 30 mahasiswa yang mendaftar di kampus saya. Secara nasional ada 20 ribu lebih mahasiswa terpilih dari 40 ribu lebih mahasiswa pendaftar untuk angkatan 5 Kampus Mengajar. Bagi saya Kampus Mengajar adalah program perjuangan pendidikan yang membuka akses bagi mereka yang mengalami keterbatasan untuk mengetahui hal-hal hebat yang dimiliki bangsa ini.
Saya dan tiga mahasiswa lainnya bertugas di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Taman Pendidikan Islam (TPI) Medan. Kami berasal dari universitas dan jurusan yang berbeda, saya dari kebidanan. Saya sempat ragu dan takut ketika ditempatkan di sekolah itu karena siswa, guru dan pengurus sekolah menganut agama Islam, tidak ada agama lain di dalamnya. Bahkan saat observasi ke sekolah, saya membaca sebuah spanduk yang berisi aturan bahwa setiap orang yang berkunjung harus mengenakan pakaian muslim, sementara saya tidak. Saat berdialog dengan kepala sekolah dan ustadz, mereka menyampaikan bahwa saya harus mengenakan pakaian muslim di dalam sekolah. Supaya tidak menjadi batu sandungan, saya tidak keberatan untuk mengenakan pakaian jilbab, toh tidak mengubah iman kepercayaan saya.
Di sekolah tersebut kami menerapkan program dari Kampus Mengajar, yaitu literasi dan numerasi. Literasi adalah kemampuan bernalar menggunakan bahasa dimana bukan hanya kemampuan membaca namun kemampuan menganalisis suatu bacaan dan kemampuan memahami konsep dibalik tulisan, dan numerasi merupakan kemampuan menganalisis menggunakan angka-angka. Program ini menjawab realita adanya sekolah yang ketinggalan atas kemampuan ini dan rendahnya minat baca siswa-siswa sekolah.
Ada beragam metode pembelajaran yang kami lakukan, seperti membaca selama 15 menit kemudian siswa menceritakan ulang apa yang telah dibaca. Ada beberapa siswa sulit diatur maupun sulit mengikuti pembelajaran, kami menggunakan strategi pembelajaran dengan games, supaya suasana tidak canggung. Seiring waktu kami mampu mengatasi tantangan ini bahkan semakin akrab dengan mereka dan ada peningkatan minat belajar siswa. Selain itu, kami juga menemukan bahwa sebagian siswa merupakan keluarga dengan keterbatasan ekonomi, tapi secara umum mereka pandai, apalagi dalam keagamaan. Perlu diakui perbedaan cara mengajar guru-guru setempat dengan metode yang kami bawakan. Kami mengajak belajar, bermain, dan bernyanyi bahkan menonton film bersama sebagai wujud literasi digital. Saya bersyukur bisa bertemu dan berdialog dengan anak didik yang berbeda latar belakang selain mengajar tentang literasi dan numerasi.
Dari pengalaman ini saya teringat dengan materi Stube HEMAT Yogyakarta yang membekali saya memiliki bekal keberanian untuk keluar dari zona nyaman dan berkontribusi untuk dunia luar kampus, bagaimana berkomunikasi di depan kelas, kontak mata, membangun kepercayaan diri dan keberanian bersosialisasi dengan orang-orang yang berbeda latar belakang daerah, suku dan agama. Saya sangat bersyukur, meskipun kuliah di kebidanan, tidak menutup kesempatan bagi saya menjadi seorang tenaga kesehatan sekaligus pendidik. Untuk teman-teman di mana pun berada, jangan pernah takut untuk mencoba dan lakukan hal-hal baik. Semoga hal ini menjadi berkat bagi sesama. ***