PELATIHAN PERTANIAN ORGANIK DAN KERAGAMAN PANGAN
Menggali Ideologi Pangan Kita
Wisma Pojok Indah, 2 – 4 Mei 2014
“Salut!”, ungkapan ini layak diberikan kepada peserta pelatihan Pertanian Organik: Keragaman Pangan yang diselenggarakan oleh Stube-HEMAT Yogyakarta, mengingat topik pertanian biasanya kurang diminati oleh kaum muda. Namun sebaliknya, tiga puluh mahasiswa dari berbagai kampus dengan antusias mengikuti pelatihan yang bertema ‘Menggali Ideologi Pangan Kita.’ Diselenggarakan Jumat – Minggu, 2 – 4 Mei 2014 di Wisma Pojok Indah Condongcatur, Yogyakarta, pelatihan ini mencoba menggugah ketertarikan dan kesadaran kaum muda mahasiswa terhadap pertanian, khususnya masalah pangan di Indonesia.
Ariani Narwastujati, S.Pd., S.S., M.Pd., Direktur Stube-HEMAT mengungkapkan potensi bencana pangan yang dihadapi Indonesia dan bahkan dunia, karena populasi yang terus bertambah tidak diimbangi pertambahan produksi pertanian, namun sebaliknya lahan pertanian berkurang karena dikonversi menjadi industri dan pemukiman. Untuk itu sangat penting bagi kita semua menggali ideologi atau konsep berpikir yang menjadi dasar bagi kita dalam mengkonsumsi pangan. Contoh yang sederhana adalah kita seharusnya merasa bangga dengan mengkonsumsi produk makanan ataupun buah lokal dibanding produk impor.
Peran Pemerintah dalam Membangun Ketahanan dan Keragaman Pangan diulas secara mendalam oleh Dr. Ir. F. Didiet Heru Swasono. M.P., dekan Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta dan anggota Dewan Ketahanan Pangan DIY. Pemerintah memang memiliki perangkat regulasi secara sistematis dalam membangun ketahanan pangan, namun keragaman pangan belum dikembangkan optimal. Contohnya, masyarakat Indonesia diseragamkan dengan makan beras, sedangkan tidak semua kawasan di Indonesia cocok untuk menanam padi, namun lebih cocok untuk jagung, sagu, ubi jalar maupun sumber pangan pokok lainnya.
TO. Suprapto dari Joglo Tani membongkar paradigma peserta, awalnya mereka menganggap bahwa pertanian tidak memiliki prospek dan tidak diminati oleh kaum muda khususnya mahasiswa, namun jika ditekuni pertanian bisa menghasilkan, bahkan meskipun dilakukan oleh mahasiswa yang tidak belajar di bidang pertanian. Ada empat jenis peluang usaha, antara lain: pertama, usaha pembibitan, dengan memperbanyak bibit, baik secara vegetatif atau generatif, kemudian menjadi bibit, lalu dijual. Contoh bibit sayuran, bibit ikan, penetasan ayam atau itik. Kedua, usaha produksi, yakni mengadakan bibit selanjutnya dibudidayakan, dan hasil produksinya dijual. Contohnya cabe dan ayam kampung. Ketiga, usaha pascapanen, yaitu usaha membeli produk orang lain kemudian diolah dalam bentuk dan rasa yang lain lalu dijual. Contoh kripik singkong, abon lele, peyek bayam, telur asin. Keempat adalah pemasaran, yaitu membeli hasil produksi orang lain lalu dijual tanpa mengubah bentuk dan rasa. Selain itu TO Suprapto mendorong mahasiswa membangun pola pikir mandiri pangan dengan memetakan potensi diri dan daerahnya, dilanjutkan dengan bertindak, melakukan aktivitas sederhana berkaitan pertanian di lingkungan terkecil, di keluarga, misalnya memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayuran, paling tidak kebutuhan sayuran bisa dipenuhi dari pekarangan sendiri.
Pelatihan ini juga memperkenalkan keragaman pangan nusantara dengan menghadirkan menu daerah asal peserta, antara lain, dari Maluku dan Sulawesi yang mengolah papeda dan sayur ikan kuah kuning. Peserta dari Lampung menghadirkan seruit, nasi jagung, terong dan ikan bakar. Peserta dari Kalimantan menyiapkan minuman yang cukup unik yaitu es lidah buaya. Tak ketinggalan NTT dengan jagung katema, urap daun singkong dan sambal teri. Jagung katema berbahan jagung, kacang hijau dan kacang tanah yang direbus dengan santan. Meskipun berasal dari berbagai daerah, peserta antusias dan mengapresiasi keragaman makanan tersebut dengan mencicipi semuanya.
“Kita patut bersyukur karena kita masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengolah bumi ini, dan kita mesti memelihara dengan penuh tanggung jawab, salah satunya dengan bertani secara organik”, pesan Pdt. Kriswoyo, S.Si dalam ibadah Minggu. Di akhir acara, peserta mengungkapkan rencana yang akan mereka lakukan setelah pelatihan ini, antara lain: memanfaatkan pekarangan kost untuk menanam sayuran, memanfaatkan plastik bekas untuk polibag, tidak mengkonsumsi bahan pangan dan buah impor dan mengadakan diskusi tentang pertanian.
Rosita Suri Leon, mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa prodi Pendidikan Matematika dari Atambua, Belu, NTT mengatakan, “Di pelatihan ini saya mendapat informasi baru, dan ingin mencoba melakukan apa yang telah didapatkan. Semuanya berjalan baik tapi ada beberapa kegiatan yang kurang tepat waktu.” (TRU)