Menjadi Inisiator Penggerak,
Mulailah dari diri sendiri
Minggu, 22 Juni 2014, menjadi pengalaman baru saya, karena pertama kali menginjakkan kaki di tanah Sumba Timur dan melihat secara langsung kondisi masyarakat yang berada di bagian Indonesia bagian timur. Masyarakat Sumba Timur sangat ramah, mereka akan memberikan senyum manis dari bibir mereka ketika melihat orang baru. Beberapa hari pertama, saya tinggal bersama salah satu tim Stube HEMAT Sumba yakni keluarga Bapak Yulius Anawaru.
Di awal memulai kegiatan, saya mendapat kesempatan untuk memaparkan apa yang akan dikerjakan di Sumba pada rapat koordinasi tim. Saat-saat itu merupakan libur semester mahasiswa, sehingga tim Stube pun kesulitan mengumpulkan para aktivis mahasiswa yang rata-rata kembali ke kampung, sehingga beberapa hari setelah pemaparan, saya belum menemukan cara bagaimana program kegiatan akan saya jalankan. Ada rasa kecewa muncul dalam hati, karena tim Stube HEMAT Sumba yang mengenal lapangan tidak juga memberikan terobosan dalam situasi seperti ini. “Mungkinkah apa yang ingin saya bagikan dirasa tidak penting buat mereka?” sebersit pemikiran muncul dalam benak saya.
Melihat kondisi tersebut maka saya terus memutar otak mencari jalan keluar dan berinisiatif mengumpulkan beberapa mahasiswa aktivis yang masih ada di Waingapu untuk merealisasikan rencana kegiatan. Bak gayung bersambut, beberapa mereka seperti Yoga, Abner, Ydt, Dani dan Haris ingin berbagi bersama dalam forum-forum diskusi. Situasi ini mengajar saya bahwa motor penggerak sesuatu adalah berawal dari diri kita sendiri. Saya bersyukur ada rekan–rekan aktivis Stube HEMAT Sumba yang mau bersama-sama dan menemani sekitar satu bulan saya di Sumba.
Satu minggu sebelum pulang saya berkesempatan berkunjung ke Desa Mbatakapidu, sebuah desa yang dulu rawan pangan tetapi sekarang menjadi desa swasembada pangan, bahkan menjadi desa tujuan studi banding desa-desa di luar Sumba. Semua pencapaian itu tidak lepas dari sosok seorang Bapak yang bernama Umbu Yacob Tanda. Beliau mempunyai hati untuk kembali ke desa untuk melakukan perubahan yang lebih baik untuk mengisi hari-hari di masa pensiunnya. Dari sosok Bapak ini, saya belajar dan merenung kembali bahwa kehidupan ini adalah anugrah dari Tuhan. Hidup yang nantinya harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan jika suatu saat Tuhan panggil pulang ke rumah bapa di surga. Beliau juga berpesan, “Semasa hidup ini berikanlah yang terbaik untuk memberi dampak yang baik bagi sekitar kita, dan itu dimulai dari diri sendiri”.
Program exploring Stube HEMAT Sumba akan senantiasa mengingatkan saya akan fungsi inisiator penggerak untuk memberi dampak positif melebihi apa yang kita bayangkan. Ini menjadi tantangan saya! (HRG)