Covid 19 dan Ketangguhan Perawat

pada hari Sabtu, 31 Oktober 2020
oleh Wilton Paskalis

Topik perbincangan tentang kesehatan menjadi ‘hot news’ saat ini karena pandemik masih merajalela dan angka orang yang terpapar dan kematian masih naik turun. Ini menjadi permasalahan utama kesehatan di berbagai negara termasuk Indonesia sehingga berbagai pihak dikerahkan untuk mengatasi pandemi. Otoritas pemerintah, lembaga pemeritah maupun swasta dan masyarakat mengambil peran masing-masing untuk menghambat sebaran virus sebagai upaya membantu tenaga medis menangani pasien yang terinfeksi.

 

Kesadaraan terhadap situasi yang didasari pemahaman yang benar tentang Covid 19 penting dimiliki oleh setiap orang, termasuk para mahasiswa, sehingga mereka bisa mengambil sikap yang benar ketika merespon berita-berita seputar pandemik dan menerapkan prosedur kesehatan sekaligus mampu mengedukasi orang-orang di sekitarnya. Stube-HEMAT Yogyakarta sebagai lembaga pengembangan sumber daya manusia khususnya mahasiswa melalui program ‘Health Problems In Indonesia’ membuka dialog online antara mahasiswa dengan tenaga medis yang merawat pasien terkonfirmasi Covid-19 di salah satu rumah sakit di Jakarta.

 

Kegiatan sharing yang diadakan pada hari Sabtu (31/10/2020) melalui Meet, Stube-HEMAT Yogyakarta mengundang Imelda Dewi Susanti, S,Kep. Ners, yang berpengalaman sebagai perawat di daerah asalnya, Kalimantan Barat, dan sebagai peserta program Nusantara Sehat. Sewaktu masih studi di Jogja, Imelda aktif mengikuti kegiatan-kegiatan Stube HEMAT Yogyakarta termasuk menjadi salah satu peserta program Exploring Sumba dengan melakukan pemberdayaan masyarakat di Sumba. Imelda menceritakan bahwa is bergabung menjadi perawat Covid-19 setelah menyelesaikan program Nusantara Sehat dimana ia ditempatkan di pedalaman kabupaten Poso. Keterpanggilannya menjadi perawat pasien Covid-19 muncul ketika melihat langsung pasien yang terkonfimasi positif Covid-19 dan temannya yang perawat juga terpapar virus ini. Bersamaan itu ada program Nusantara Sehat Darurat Covid, sehingga ia memutuskan bergabung meski ada keraguan apakah keluarganya mendukung, namun panggilan dan pengabdian seorang perawat menguatkannya untuk mendaftar dan diterima dengan penempatan di Jakarta.

 

 

Perbincangan ini mengungkap dinamika dan pergumulan yang dihadapi ketika bekerja menangani pasien Covid-19. Imelda mengungkapkan bahwa secara mendasar tugasnya tidak jauh beda dengan perawat yang merawat pasien, tetapi perbedaannya adalah penggunaan alat pelindung diri (APD), SOP Covid-19 dan manajemen kesehatan diri yang menuntut selalu dalam kondisi prima. Ia menceritakan saat ia menangani pasien Covid-19 dengan penyakit penyerta, sehingga butuh perhatian ekstra, dimana tindakan medis dilakukan untuk mengobati penyakitnya dan asupan vitamin untuk meningkatkan imunitas. Di sini keluarga pasien tidak bisa menunggu, jadi perawatlah yang menjaga, sehingga perawat tidak hanya merawat, memberikan obat dan memantau, tetapi menemani, mendengarkan cerita mereka sebagai terapi meredakan pikiran yang cemas. Jika kondisi psikologis cemas dan takut akan mempengaruhi kondisi fisik dan organ tubuh lainnya. Penanganan pasien terkonfirmasi Covid-19 dirawat di ruangan dan dipantau intensif sesuai prosedur penanganannya, sedangkan pasien tanpa gejala dan melakukan isolasi mandiri dilakukan berbeda, karena mereka bisa beraktivitas di luar ruangan seperti berolahraga, berjemur di waktu pagi hari, dan diberi vitamin untuk meningkatkan imunitasnya.

 

Memang Covid-19 belum ada antivirusnya, namun tidak perlu direspon berlebihan melainkan prosedur kesehatan dilakukan dengan baik, termasuk menjaga kesehatan diri dengan pola hidup sehat dan bersih, berpikiran positif dan optimis. Dialog ini memunculkan rasa haru dan mencerahkan wawasan mahasiswa bagaimana bersikap di tengah pandemik, tidak dengan panik maupun menanggapi berita-berita yang belum jelas sumbernya, tetapi bijak mencerna informasi yang diterima sekaligus memulai dari diri sendiri dan mengajak orang-orang di sekeliling untuk mengikuti protokol kesehatan.***




  Bagikan artikel ini

Mendekatkan Mahasiswa pada Masalah Kesehatan  

pada hari Rabu, 28 Oktober 2020
oleh Thomas Yulianto

Oleh: Thomas Yulianto

Indonesia rentan dalam penanganan masalah kesehatan karena beragam situasi seperti terbatasnya fasilitas kesehatan, tenaga medis yang kompeten, buruknya pemahaman kesehatan dan kedisiplinan hidup sehat masyarakat yang masih rendah, sementara potensi orang yang bisa terinfeksi penyakit melebihi kemampuan untuk mengatasinya. Saat ini dengan kasus Covid-19 yang terjadi menjadi sinyal merah bagi kita semua dan orang-orang harusnya lebih sadar pentingnya kesehatan bagi dirinya dan orang lain dan ini membuat kita belajar bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri dan terbukti bahwa infeksi terjadi secara global sebagai pandemik.

 

Tantangan kesehatan di Indonesia mesti direspon tidak saja oleh mereka yang bekerja di bidang kesehatan tetapi setiap orang bertanggungjawab didalamnya, termasuk mahasiswa, sehingga Stube HEMAT Yogyakarta merancang program Masalah Kesehatan di Indonesia untuk membantu mahasiswa memahami masalah kesehatan di Indonesia dengan mendapatkan informasi yang memadai terkait permasalahan kesehatan tersebut dan memiliki wawasan dan pengetahuan bagaimana mengatasinya. Pelatihan diadakan secara online pada hari Selasa, 27 Oktober 2020 sehingga bisa diikuti oleh mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, dengan tema Realita Masalah Kesehatan di Indonesia bersama narasumber Sukendri Siswanto, S.Pd. M.Kes, kepala Divisi Kesehatan Primer CD Bethesda. Tercatat ada beberapa peserta mahasiswa berasal dari wilayah Sumatera, Jawa, NTT, Maluku dan Sulawesi.

 

 

Dalam diskusi tersebut, Sukendri memulai dengan memunculkan pertanyaan, mengapa kesehatan orang zaman dulu nampak lebih baik dari masa sekarang? Padahal kondisi masyarakat, pengetahuan dan fasilitas kesehatan saat ini lebih lengkap dibanding dulu. Ya memang ada beragam faktor yang mempengaruhi kesehatan, seorang ahli kesehatan bernama H.L Blum menyebutkan bahwa status kesehatan masyarakat atau individu dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu Lingkungan, Perilaku, Pelayanan Kesehatan dan Genetik (Keturunan). Empat faktor ini menjadi tantangan di Indonesia terlebih secara geografis berupa kepulauan sehingga terkadang sebaran fasilitas kesehatan belum merata di setiap kecamatan, misalnya layanan Puskesmas maupun dokter umum. Tantangan lainnya adalah perlu peningkatan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat, misalnya ketersediaan air bersih, fasilitas kloset dan sanitasi rumah tangga. Topik bahasan lain berupa pentingnya kecukupan gizi dan nutrisi, termasuk ASI eksklusif untuk bayi, maupun makanan pelengkap ASI demi menunjang pertumbuhannya.

 

 

Perbincangan dalam diskusi ini membuka mata mahasiswa tentang realita masalah kesehatan di Indonesia, meskipun baru di permukaan saja, sehingga sebagai langkah lanjut, mahasiswa dimasukkan dalam kelompok sesuai daerah asal mereka dan selanjutnya mereka akan melakukan pemetaan masalah kesehatan yang terjadi di daerah asal mereka masing-masing. Dari temuan dalam pemetaan ini mahasiswa akan didampingi untuk menganalisa masalah kesehatan yang terjadi sekaligus memunculkan gagasan atau tindakan yang bisa dilakukan sebagai respon terhadap masalah tersebut.***




  Bagikan artikel ini

Satgas Covid-19 BPBD DIY: Bersama Melawan Pandemi

pada hari Senin, 26 Oktober 2020
oleh Sarlota Wantaar

 

 

 

Penanggulangan Covid 19 mau tidak mau membutuhkan tekad satu hati seluruh lapisan masyarakat untuk melawan bersama dengan segala konsekuensinya dalam tatanan New Normal, tatanan hidup baru. Stube HEMAT Yogyakarta sebagai lembaga pendampingan mahasiswa di Yogyakarta dalam program Masalah Kesehatan di Indonesia melaksanakan diskusi bersama BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) DIY yang bertanggungjawab sebagai Posko Dukungan Operasi Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Daerah Istimewa Yogyakarta di Pendopo Wisma Pojok Indah, Condongcatur pada tanggal 24 Oktober 2020. Dua puluh peserta mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia yang kuliah di Yogyakarta hadir dalam diskusi ini. Dalam pembukaan Pdt. Bambang Sumbodo, board in charge Stube HEMAT mengungkapkan bahwa pandemik Covid-19 berdampak negatif, tetapi positifnya adalah manusia dipaksa kembali ke alam karena alam menanti kita, manusia dan alam memiliki hubungan yang erat seperti hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Ini menggugah kesadaran individu dan bersama tentang kesehatan bagaimana berperilaku bersih dan sehat karena kesehatan menjadi kebutuhan setiap orang baik dari sisi rohani dan jasmani.

 

 

Materi tentang Adaptasi Kebiasaan Baru sebagai respon pandemik dipaparkan oleh Endro Sambogo dari Team Reaksi Cepat BPBD DIY. Ia menjelaskan tentang bagaimana hidup normal baru dalam kondisi pandemik. Perlahan aktivitas masyarakat bergeliat tetapi tidak bisa seperti sebelum pandemik, ini artinya sekarang masyarakat harus memiliki perilaku hidup baru, lingkungan baru dan pola pikir baru. Tatanan, kebiasaan dan perilaku yang baru berbasis pada adaptasi untuk membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat inilah yang disebut new normal. Cara yang dilakukan adalah rutin cuci tangan pakai sabun, pakai masker saat keluar rumah, jaga jarak aman dan menghindari kerumunan. Untuk merealisasikan skenario new normal, saat ini pemerintah telah menggandeng pihak-pihak terkait termasuk tokoh masyarakat, para ahli dan para pakar untuk merumuskan protokol atau SOP untuk memastikan masyarakat dapat beraktivitas kembali, tetapi tetap aman dari COVID-19. Protokol ini bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga pendidikan dan keagamaan, bergantung pada aspek epidemologi dari masing-masing daerah, sehingga penambahan kasus positif bisa ditekan.

 

Endro menjelaskan situasi ‘pelayatan’ (berkunjung saat ada orang meninggal), bahwa sesungguhnya kondisi berbahaya atau beresiko itu bukan jenazah tetapi dari interaksi anggota keluarga dan para pelayat, serta kerumunan orang dalam pemakaman tersebut. Kondisi rentan juga terjadi ketika orang yang terpapar virus memiliki penyakit penyerta, seperti hipertensi, jantung, asma, paru-paru dan beberapa penyakit lainnya. Saat ini kewaspadaan perlu ditingkatkan karena keberadaan orang tanpa gejala (OTG), yakni orang yang sudah terpapar virus tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala sakit karena ia memiliki imunitas yang kuat dan merasa baik-baik saja. OTG akan menjangkiti orang lain yang lemah imunnya, sehingga mau tidak mau semua orang harus memakai masker, mencuci tangan, jaga jarak dan menghindari kerumunan harus dilakukan secara disiplin.

 

Kesempatan dialog dengan pihak yang terlibat langsung dalam penanganan Covid 19 di lingkup DIY menggugah peserta mengungkapkan rasa penasaran mereka tentang orang yang terpapar virus tetapi tidak menunjukkan gejala sakit. Ada juga orang yang memiliki kecemasan berlebihan terpapar virus sehingga orang tersebut bertindak diluar kewajaran. Endro mengungkapkan bahwa Covid 19 adalah virus flu yang mudah menjangkiti manusia dan virusnya juga terus bermutasi sehingga Covid 19 belum ada anti virusnya. Ketika seseorang terpapar virus ini tetapi kondisi imunitasnya kuat, tidak akan sakit, tetapi bisa menularkan ke orang lain. Jadi, ia mesti sadar untuk menerapkan perilaku bersih dan sehat demi melindungi orang lain. Terkait tindakan di luar kewajaran, hal ini karena pemahaman orang belum lengkap tentang pandemik ini, bahwa virus ini tidak secara fatal mengakibatkan kematian, tetapi adanya penyakit bawaan yang memperburuk kondisinya sehingga terjadi komplikasi, selain itu pemberitaan media  berpengaruh dalam membangun ‘image’ tentang kasus Covid 19 ini.

 

 

Di akhir acara, Endro mengingatkan peserta bahwa kita sebagai anak muda dan mahasiswa yang sudah mendapat pengetahuan lebih tentang pandemik Covid 19, harus menerapkan kebiasaan baru, perilaku hidup bersih dan sehat, sekaligus memberikan edukasi yang benar tentang Covid 19 ini kepada orang-orang terdekat, bisa di lingkungan kos, di kampus maupun di keluarga masing-masing sehingga sebaran Covid 19 bisa ditekan dan masyarakat bisa beraktivitas dengan nyaman. ***

 

 


  Bagikan artikel ini

Sapaan Pagi 2: Para Aktivis Muda Pulau Sumba

pada hari Selasa, 20 Oktober 2020
oleh Admin Stube

 

Perjalanan mengunjungi para multiplikator di dua pulau yakni pulau Alor dan Sumba memberikan kesan bagi pengurus yang berkesempatan bertemu dengan mereka. Berikut adalah catatan dan kesan dari Pdt. (Emiritus) Bambang Sumbodo, S.Th., M.Min setelah melihat lapangan dan bertemu langsung.

 

 

 

Elisabeth Uru Ndaya, telah menempuh studi S1 bahasa Inggris di Yogyakarta. Ayahnya seorang Guru Injil (pembantu Pendeta) GKS (Gereja Kristen di Sumba), di sebuah gereja kecil di Tanatuku, Makamenggit, sekitar 50 km dari Waingapu. Setelah selesai studi di Yogya, ia pulang ke kampung halaman untuk menghimpun para ibu dan nona Sumba membuat kerajinan tenun Sumba. Usaha menghimpun dan memberdayakan para perempuan tidak mudah, banyak halangan dan tantangan salah satunya dari suami yang melarang istrinya untuk tidak ikut pelatihan. Pendekatan Elis luar biasa terhadap suami yang melarang istrinya, bahkan ia melibatkan gereja dalam hal ini pendeta. Akhirnya semua merelakan istri ikut aktivitas perempuan Stube HEMAT di kampungnya.

 

 

Sekarang para perempuan telah belajar membuat tenun Sumba juga pewarnaan dari tumbuh-tumbuhan dan mereka telah punya pusat latihan tenun Sumba. Ada seorang ibu yang sudah memiliki galeri dan yang menggembirakan sudah menghasilkan uang untuk menunjang perekonomian rumah tangga. Waktu para ibu latihananak-anak yang masih kecil ikut juga dan memang repot tetapi secara tidak langsung mereka mengajari anak-anak bagaimana membuat tenunan Sumba, khususnya anak-anak perempuan untuk mencintai tenun Sumba yang sudah mulai pudar.

 

 

 

 

Elis juga seorang guru Bahasa Inggris sehingga ia terpanggil mendirikan sanggar Bahasa Inggris untuk anak-anak, dan semua dilakukan penuh dengan dedikasi. Pelatihan tenun Sumba sekitar 20 kaum ibu dan para nona. Kiranya Tuhan memberkati para ibu  memperkuat keluarganya juga gereja karena para ibu dan para nona inilah pewarta kabar baik. Selamat berjuang Elis selamat menghadapi tantangan. Imanuel.

 

 

 

 
 

 

 

Yulius Rihi Anawaru, seorang sarjana kehutanan dari kampus di Yogyakarta. Kami banyak berdiskusi tentang Sumba dan anak-anak mudanya. Penghijauan dengan menanam seribu pohon sudah dilakukan Yulius di kampungnya. Selanjutnya ia mendapatkan berkat Tuhan, bersama sama bergotong-royong membeli kapal untuk budi daya rumput laut di pantai Warabadi, Sumba Timur. Yulius mengajak Andreas untuk mengawasi dan menunggui kapal dan merawat rumput laut, dari hasil rumput laut bisa membiayai anak-anaknya kuliah. Puji Tuhan, hasilnya sangat lumayan. Anak-anak dan remaja juga diajak ke tengah laut untuk dikenalkan laut dan budi daya rumput laut.

 

 

 

 

 

 

Apriyanto Hangga, menempuh studi Ilmu Pemerintahan di Akademi Pembangunan Masyarakat Desa  di Yogyakarta. Sejak kuliah di Yogyakarta, dia seorang aktifis mahasiswa dan saat ini menggerakan masyarakat di Mbinudita, kira-kira 120 km dari Waingapu, Sumba Timur membangun kembali sekolah dasar paralel yang pada tahun 2019 roboh diterjang angin besar. Melalui media sosial, Yanto berhasil menggalang sponsor untuk membangun gedung SD dan menggerakkan masyarakat bergotong-royong. Saat ini pekerja bangunan utama dari Nganjuk Jawa Timur. Lokasi gedung berada di atas bukit dan di antara desa yang satu dengan yang lain. Sekolah paralel ini mendekatkan sekolah dengan anak-anak yang jaraknya sekitar 4 sampai 6 km yang ditempuh dengan jalan kaki. Dengan berdirinya sekolah paralel ini anak-anak menjadi lebih dekat, sekitar 2-3 km. Direncanakan akhir tahun sekolah ini selesai, sehingga akhir pandemi ini bisa digunakanSolusi saat ini guru mendatangi siswa satu persatu dari rumah ke rumahApriyanto juga beternak babi, tetapi karena virus yang menyerang babi di Sumba, ribuan babi di Sumba mati termasuk ternak Apriyanto dan kelompoknya. Bersama Stube HEMAT, Apriyanto dan beberapa mahasiswa berdiskusi dan belajar bagaimana menanggulangi virus ini

 

 

 

 

 

Frans Fredi Kalikit Bara, dulu Frans adalah calon Romo, tetapi tidak jadi karena orang tuanya minta agar membatalkan demi melanjutkan garis keturunan. Sekarang baru menyusun skripsi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kristen di Wangapu, Sumba TimurFrans pernah diundang ke Yogyakarta untuk mengikuti pelatihan di Stube HEMAT Yogyakarta seperti pelatihan produk kreatif, jurnalistik, pertanian organik, dan pelatihan lahan pasirSudah hampir 5 tahun, ia mengembangkan tanaman cabai, tomat, semangka, sawi, kol, dengan hasil yang sangat lumayan. Sampai saat ini kebutuhan pertanian Sumba, masih mendatangkan dari luar pulau Sumba, sehingga ia membentuk kelompok petani muda untuk mengembangkan pertanian organik. Anak-anak muda ini adalah aset bangsa di bidang pangan, lumbung beras dan hasil pertanian yang lain.

 


  Bagikan artikel ini

Berita Web

 2024 (4)
 2023 (38)
 2022 (41)
 2021 (42)
 2020 (49)
 2019 (37)
 2018 (44)
 2017 (48)
 2016 (53)
 2015 (36)
 2014 (47)
 2013 (41)
 2012 (17)
 2011 (15)
 2010 (31)
 2009 (56)
 2008 (32)

Total: 631

Kategori

Semua  

Youtube Channel

Official Facebook