Batik Anti Terorisme
Satu Oktober tidak pernah dilupakan masyarakat Indonesia untuk memperingati Kesaktian Pancasila. Pancasila terbukti ampuh menjaga keutuhan Negara meskipun negara seringkali mendapatkan ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Selama Republik ini berdiri, Pancasila menjadi perekat dasar kehidupan berbangsa. Selain hari itu menjadi penting untuk dirayakan dengan khidmat, 1 Oktober juga dirayakan sebagai hari batik.
Dalam rangka itulah Seminar Batik Anti-terorisme dan bedah buku yang ditulis oleh ibu Aniek Handajani, S.Pd., M.Ed. ini diselenggarakan. Bertempat di Ruang Seminar Harun Hadiwijono, Universitas Kristen Duta Wacana pada 1 Oktober 2016, tiga orang pembicara itu yaitu Prof. Ir. Sunarru Samsi Haryadi, M.Sc, Prof. Noorhaidi Hasan, dan Farsijana Adeney Risakotta Ph.D dihadirkan. Tiga keynote speaker memaparkan seputar terorisme yang dianggap menjadi ancaman serius bagi keutuhan kehidupan berbangsa.
Profesor Sunarru menggambarkan kehidupan desa di negeri ini yang memiliki nilai-nilai luhur yang sangat layak untuk ditiru. Nilai-nilai ini tumbuh dan dikembangkan oleh masyarakat lokal dan tersebar dari Sabang sampai Merauke. Mereka bersatu dan berikat dalam rangkaian harmoni yang indah. Nilai-nilai itu seperti terlihat di Keujruen Blang di Aceh, Baralek Kapalo Banda di Sumatera Barat, Lembaga Adat Sasi di Papua, Lembaga adat Soa di Maluku, Upacara Adat Negeri Hatu, Lembaga Adat Dalihan Na Tolu di Sumatera Utara, Adat Wiwitan Pedesaan Jawa, Suku Tengger di Pegunungan Bromo, atau sedulur Sikep Masyarakat Samin Pegunungan Kendeng. Nilai-nilai ini terpelihara dalam kehidupan masyarakat lokal Indonesia.
Profesor Noorhaidi dalam paparannya mengklaim bahwa Indonesia adalah negara terbaik dalam pencegahan dan penanganan terorisme. Amerika dan Eropa serta Malaysia dan Singapura punya badan sendiri dalam penanganan terorisme. Badan ini efektif untuk menanggulangi bahaya teror. Indonesia tidak punya. Keadaan itu membuat masyarakat berinisiatif untuk menanggulangi bahaya teror dengan cara mereka sendiri. Kekuatan sipil berusaha mengambil peran dalam usaha pencegahan dan penanggulangan teror. Inilah yang membuat Indonesia menjadi kuat.
Ibu Farsijana memapar soal Pancasila yang pernah digunakan suatu rezim untuk melakukan tekanan terhadap masyarakat. Namun, Pancasila tidak seharusnya diperlakukan seperti itu. Pancasila harus selalu dipakai untuk mencerdaskan. Hari ini kesaktian Pancasila itu perlahan dirasakan. Masyarakat tidak lagi menjadi target mobilisasi kepentingan politik. Rakyat dalam jaman ini dididik dalam cara yang kreatif dengan berorganisasi. Mereka diajak untuk bekerja dan berproduksi. Dengan organisasi dan berproduksi, rakyat menjadi yakin bahwa mereka mampu untuk menentukan masa depannya sendiri.
Lalu apa kaitan antara terorisme dengan batik? Ya. Terorisme mengancam keutuhan negara sementara batik membuat setiap orang bersatu dalam Republik ini. Bu Aniek selaku pembedah buku memaparkan soal konsep penanganan radikalisme yang selama ini belum signifikan. Ia menawarkan cara budaya dalam menanggapi masalah terorisme yang selama ini muncul. Batik menjadi salah satu alternatif untuk menjaga keharmonisan. Menurutnya, Batik tidak saja berperan untuk mendokumentasikan nilai-nilai luhur dari ajaran masa lalu, namun Batik juga bernilai ekonomis dan mengandung nilai pendidikan. Satu batik bisa dikerjakan oleh dua puluh orang. Bila usaha batik dikelola dengan sungguh maka akan menghidupi banyak orang di jaman serba sulit ini. Dengan batik, orang kembali belajar nilai-nilai dan keteladanan. Motif dan corak batik menggambarkan ajaran tertentu soal perjuangan, keprihatinan, dan kesabaran. Seperti motif soal wayang Pandawa yang mengisahkan bahwa kebaikan akan mendapat tempatnya sendiri dalam meraih kemenangan.
Kiranya harapan akan kekuatan budaya untuk menanggulangi terorisme bisa mewujud dalam sebuah karya, kinerja dan produksi yang menghidupi umat. (YDA).