Menjawab Masalah Sosial dengan Wirausaha Sosial

pada hari Senin, 14 November 2022
oleh Kresensia Risna Efrieno
Oleh Kresensia Risna Efrieno.          

 

“Bagi sebagian orang, masalah sosial adalah tragedi yang menimpa manusia. Bagi seorang wirausaha sosial, itu adalah peluang untuk melakukan perubahan” (Rhenald Kasali)

 

Apa yang muncul di benak kita ketika mendengar kata masalah? Apa perbedaan antara masalah dan masalah sosial? Belum tentu setiap orang paham masalah sosial. Ketika terjadi masalah sosial, apa yang anak muda bisa lakukan? Stube HEMAT Yogyakarta memfasilitasi mahasiswa melalui pelatihan Social Entrepreneurship (11-13/11/2022 di Wisma Pojok Indahuntuk memahami masalah sosial di sekitarnya dan bagaimana menjadi seorang wirausaha sosial sebagai jawaban atas masalah sosial.

 

 

 

Dalam pembukaan, Ariani Narwastujati, S.Pd., S.S., M.Pd, Direktur Eksekutif Stube HEMAT mengenalkan apa itu masalah sosial. Masalah sosial adalah masalah yang terjadi secara terus menerus dan berdampak bagi banyak orang. Ternyata beragam masalah sosial melanda di masyarakatseperti kemiskinan, pengangguran, kelaparan, dan lainnya. Lalu, mahasiswa sebagai anak muda bisa melakukan apa? Bagaimana seorang anak muda bisa menjadi agen perubahan terhadap masalah sosial yang ada dengan melakukan Social Entrepreneurship. Ada 4 hal dalam Social Entrepreneurship yakni meliputi; 1) Terdapat unsur pemberdayaan masayarakat, 2) Usaha yang dilakukan bertujuan menghasikan profit yang dipakai untuk menjawab masalah sosial, 3) Target perubahan sosial berjangka Panjang dan dilakukan terus menerus, dan 4) Dilakukan dengan pendekatan bisnis dan pendekatan sosial untuk mengatasi masalah.

 

 

 

Mendalami problem solving ini, tim kerja Stube HEMAT Yogyakarta memandu peserta mengenal beberapa tokoh wirausaha sosial, yaitu Sugeng Handoko, yang mengembangkan anak muda di Nglanggeran (Gunungkidul), Goris Mustaqim yang membangkitkan semangat kerja anak muda di Garut, Gamal Albinsaid, menginisiasi layanan kesehatan masyarakat miskin melalui bank sampah di Malang dan Alan Efendhi yang memberdayakan masyarakat desa di kawasan gersang di Gunungkidul melalui budidaya dan bisnis aloe vera. Tak ketinggalan ditayangkan kiprah aktivis Stube HEMAT yang kembali ke daerahnya dan menjawab masalah sosial yang ada, seperti: 1) Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd, di Sumba Timur melihat kaum perempuan perlu memiliki kekuatan untuk mandiri dan produktif, sehingga ia menginisasi belajar menenun, 2) Frans Fredi, Lambanapu, Sumba Timur yang mengalami tantangan pengangguran, anak muda menganggap pertanian tidak prospektif dan permainan harga, sehingga ia menyuarakan gerakan petani muda, dan 3) Di Alor, Petrus Maure menggagas pemanfaatan potensi lokal Alor dari kelapa, kemiri untuk menjawab pengangguran anak muda dan hasil kebun setempat yang belum diolah optimal.

 

 

Eksposur lapangan menjadi cara belajar komprehensif melengkapi pemahaman kognitif yang diperoleh. Kelompok satu berkunjung ke Bank Sampah Lintas Winongo di Jetis, Kota Yogyakarta, yang menggerakan penduduk setempat memilah sampah dan menjualnya di bank sampah sehingga mendapat uang tambahan. Kelompok dua menuju Baros, Bantul untuk berdialog dengan Komunitas Akar Napas yang melihat kawasan mangrove yang terancam sampah, luasan kawasan semakin menyempit, sehingga perlu penguatan anak muda peduli lingkungan termasuk manfaat untuk masyarakat di sekitar kawasan mangrove. Kelompok tiga belajar ke Agradaya (Agararia Berdaya) di Minggir, Sleman yang bergerak membantu petani empon-empon seperti jahe, kunyit, temulawak mendapatkan kesejahteraan dengan mengolah hasil panen menjadi bahan siap olah dan produk jadi untuk dipasarkan lebih luas. Kelompok empat mengunjungi Credit Union Cindelaras Tumangkar di Condongcatur, Sleman sebagai alat perjuangan anggota Credit Union dan keberpihakan masyarakat miskin untuk mandiri dan meraih kesejahteraan melalui edukasi keuangan dan pengelolaan keuangan yang baik. Selanjutnya masing-masing kelompok mempresentasikan pengalaman kunjungan belajar dan menemukan inspirasi usaha yang bisa mereka lakukan untuk menjawab masalah sosial di daerah.

 

 

Pada sesi akhir Pdt. Sundoyo, S.Si., MBA memandu peserta memetakan masalah sosial dan wirausaha sosial menggunakan Kanvas Model Bisnis (KMB) yang dikenalkan oleh Osterwalder dan Oigneur (2012). Dalam pemetaan permasalahan, peserta membidik daerah masing-masing dan menemukan masalahsolusi dan aksi dengan konsep kewirausahaan sosial. Hasil ini menjadi panduan peserta menindaklanjuti pelatihan dalam aksi nyata.

 

 

 

Ketika mahasiswa mendapat kesempatan dan pendampingan, mereka bisa menjadi generasi penerus daerah yang membawa perubahan daerah menjadi lebih baik, karena kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Mahasiswa berwirausaha sosial, bisa! ***

 


 


  Bagikan artikel ini

Berita Web

 2024 (6)
 2023 (38)
 2022 (41)
 2021 (42)
 2020 (49)
 2019 (37)
 2018 (44)
 2017 (48)
 2016 (53)
 2015 (36)
 2014 (47)
 2013 (41)
 2012 (17)
 2011 (15)
 2010 (31)
 2009 (56)
 2008 (32)

Total: 633

Kategori

Semua  

Youtube Channel

Official Facebook