Mahasiswa adalah masyarakat intelektual yang memiliki pemikiran kritis, analitis, gagasan dan ide-ide kreatif dalam mewujudkan dan memperjuangkan pendidikan, pengajaran dan pengabdian dalam masyarakat. Mahasiswa sebagai agen perubahan dituntut untuk menjadi pengontrol situasi sosial yang ada, mengkritisi masalah sosial dan membawa perubahan dengan bekal ilmu dan pengalaman yang didapat di kampus melalui tindakan nyata di masyarakat.
Namun kenyataannya, mahasiswa saat ini bukan lagi sebagai agen perubahan tetapi malah menjadi individu-individu apatis, tidak lagi peduli dengan berbagai ketidakadilan yang terjadi, bahkan hanya berorientasi pada indeks prestasi tinggi, segera meraih sarjana, lulus cepat dan langsung kerja. Hal ini disebabkan karena kampus berorientasi pada nilai akademik dan bagian dari industri gelar. Model kampus seperti itulah yang sebenarnya ‘membunuh’ kreativitas mahasiswa.
Eko Prasetyo, menulis buku“Bergeraklah Mahasiswa!” sebagai kritikan untuk mahasiswa sekaligus dunia pendidikan. Situasi ini menggerakkan Social Movements Institute (SMI) bersama Toko Buku Toga Mas, Tibun Forum, Tribun Jogja, dan Stube-HEMAT untuk membedah buku “Bergeraklah Mahasiswa!” yang diadakan pada Kamis, 14 September 2017 di Toko Buku Togamas Gejayan.
Asman Abdullah dari SMI mengungkapkan bahwa ada sebuah kritikan dalam buku “Bergeraklah Mahasiswa!” di mana situasi kampus pada saat ini tidak lagi memungkinkan mahasiswa untuk memiliki banyak waktu beroganisasi di luar kampus dengan sistem tiga setengah tahun selesai. Hal ini menyedihkan karena mahasiswa akan menjadi ‘tumpul’ karena kurang berinteraksi dengan realitas sosial di sekitarnya. Alfath Bagus, Presiden Mahasiswa UGM mengatakan bahwa mahasiswa di masa sekarang perlu berimajinasi sehingga ia mampu menghubungkan pengetahuan yang ia pelajari dengan apa yang menjadi tantangan zaman sekarang. Sedangkan Sulistiono dari Tribun Jogja mengatakan bahwa keberadaan mahasiswa saat ini berbeda jauh dengan mahasiswa di masa orde lama. Saat itu mahasiswa bersatu dalam kekuatan besar dan punya ‘musuh’ bersama dan bergerak bersama untuk menjatuhkan musuh. Saat ini mahasiswa sulit bersatu karena kelompok mahasiswa memiliki kepentingan yang berbeda. Namun demikian, mahasiswa tetap bisa bergerak menjawab permasalahan sosial masyarakat sesuai segmen masing-masing, misalnya menghadapi kerusakan lingkungan dan mendampingi masyarakat meningkatkan ekonominya.
Beberapa peserta menanggapi, antara lain Mardi dari Nusa Tenggara Timur, mahasiswa perlu mengasah kemampuan analitisnya dan perlu punya ruang untuk melakukan sesuatu atau berkarya. Berikutnya, Anggara, mahasiswa yang berasal dari Kalimantan mengungkapkan bahwa mahasiswa yang ada di kota mestinya tidak hanya ‘bersuara’ melawan pemerintah, tetapi harus berani bertindak nyata, misalnya bergerak untuk mengurangi kesenjangan pendidikan di pedalaman Kalimantan misalnya, ini lebih bisa dirasakan.
Akhirnya, pilihan itu kembali pada mahasiswa itu sendiri, apakah kuliah demi mendapatkan nilai-nilai bagus di atas kertas, selesai dan bekerja atau kuliah dan berpertualang menemukan realitas sosial yang menggelisahkan yang membutuhkan suatu perubahan. (ELZ).