Salah satu indikator negara maju adalah memiliki 14 % penduduk yang menjadi pelaku wirausaha, sedangkan di Indonesia masih di bawah 4 % (data Badan Pusat Statistik – BPS 2023). Ini perlu upaya untuk mendorong kebangkitan ekonomi dan munculnya lapangan pekerjaan, dimana mahasiswa juga mesti berperan untuk meningkatkan persentase wirausahawan di Indonesia. Di kalangan mahasiswa sendiri, ada beberapa pilihan pascakuliah, seperti ASN, karyawan kantor, entrepreneur, atau melanjutkan studi.
Seiring dengan realita di atas, Global Entrepreneurship Index Indonesia ada di peringkat 75 dari 132 negara di dunia. GEI sendiri merupakan salah satu parameter iklim wirausaha di sebuah negara, yang mengukur sikap masyarakat, sumber daya dan infrastruktur yang membentuk ekosistem kewirausahaan di sebuah negara. Ada 14 aspek yang diukur, yaitu persepsi terhadap peluang (opportunity perception), keahlian dalam membangun sebuah startup (startup skills), penerimaan risiko (risk acceptance), jejaring (networking), dukungan kultural (cultural support), kesempatan untuk memulai startup (opportunity perception), penyerapan teknologi (technology absorption), sumber daya manusia (human capital), kompetisi (competition), inovasi produk (product innovation), inovasi proses (process innovation), pertumbuhan yang kontinyu (high growth), internasionalisasi (internationalization) dan risiko modal (risk capital).
Selain itu, temuan yang cukup menggelitik dari Global Entrepreneurship Monitor (GEM), sebuah tim peneliti berbasis survei tentang kewirausahaan di seluruh dunia, tentang Survei Populasi Dewasa, GEM memberikan analisis mengenai karakteristik, motivasi dan ambisi individu yang memulai bisnis, dan sikap sosial terhadap kewirausahaan, yaitu pengusaha perempuan perlu mendapatkan lebih banyak dukungan. Para ahli di 37 dari 48 negara menilai dukungan sosial bagi perempuan tidak memuaskan, tetapi 28 dari 48 negara menilai baik tentang akses perempuan pengusaha terhadap sumber daya. Temuan lainnya adalah ketakutan akan kegagalan bagi para calon wirausaha dalam menciptakan start-up baru, terutama perempuan. Setidaknya dua dari lima orang dewasa yang melihat peluang bagus tapi tidak memulai bisnis karena takut bisnisnya akan gagal, yang muncul di 35 dari 45 negara, termasuk perempuan yang melihat peluang bagus dalam bisnis tetapi tidak mau memulai karena takut gagal.
Berkaitan dengan keypoint perempuan dan berwirausaha, Stube HEMAT Yogyakarta bersama mahasiswa berdialog langsung dengan anak muda sekaligus praktisi bisnis di Purworejo, Jawa Tengah (24/5/2024). Dalam dialog yang diadakan di aula kantor Credit Union Angudi Laras, Rena, nama akrab dari Verena Devi Andini, mengungkapkan dirinya seorang perempuan muda dari Purworejo yang berstatus mahasiswa. Namun demikian, ia juga mengelola bisnis kuliner dan bekerja di sebuah kantor Credit Union.
Ia mengelola bisnis kuliner ayam goreng dengan brand Lapak Chicken yang berlokasi di Purworejo. Jiwa bisnis telah muncul sejak sekolah menengah dengan menerapkan model jastip, alias jasa titip. Memang masih sederhana, yaitu ketika pergi ke Yogyakarta, atau kota lainnya ia membuat story maupun status di media sosial dan membuka kesempatan orang untuk pesan barang atau makanan.
Di tahun 2020an menjadi langkah barunya memulai bisnis kuliner berbasis ayam goreng. Ia mengakui bahwa ada banyak kompetitor di segmen ini, namun ia meyakini pilihannya dengan mengembangkan strategi pemasaran, jaringan dan keunikan menu yang ia pasarkan. Dari strategi pemasaran ia memaksimalkan media sosial untuk promosi, menyapa customer, dan mendokumentasikan bisnisnya. Dari jaringan ia melakukan pendekatan personal kepada customer, komunitas dan masuk ke aplikasi online. Sedangkan dari menu, ia memberi highlight ragam topping dan sambal dalam menunya. Dari wirausaha yang Rena lakukan, tidak saja menjadi penghasilan bagi dirinya, tetapi juga membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain, dimana saat ini ia memiliki dua orang karyawan yang bekerja untuknya. Catatan penting dari Rena untuk para mahasiswa dalam merintis dan mengelola bisnis adalah berani dan melawan kemalasan.
Di kesempatan lain, para mahasiswa juga mengenal tentang Credit Union Angudi Laras yang dipaparkan oleh Dyah Siwi Restuningsih, salah satu pengurusnya. Ia menceritakan bahwa Credit Union Angudi Laras diinisiasi oleh GKJ Klasis Purworejo sebagai sarana untuk Pemberdayaan Ekonomi Jemaat dan Masyarakat. Berawal di 3 Januari 2011 sejumlah 28 orang dengan modal kurang dari 3 juta, saat ini memiliki 1300an anggota dengan aset sekitar 12 milyar rupiah. Dengan motto ‘tuwuh’ (tumbuh), ‘ngrembaka’ (berkembang) dan ‘munpangati’ (bermanfaat), CUAL bertekad bersama membangun hidup yang berkualitas.
Dengan dialog ini, para mahasiswa akan semakin terbuka wawasan tentang dunia kerja, dan memahami tantangan yang ada apakah menjadi pekerja atau merintis usaha. Khususnya perempuan mahasiswa, interaksi dan dialog ini bisa mendorong dan membuka wawasan, menjadi pembelajar dan konsisten meningkatkan kualitas diri. Sehingga pertanyaan apakah mahasiswa bisa menjadi owner sebuah wirausaha? Ternyata bisa! ***
Tinggal di Waerebo yang dikenal sebagai kawasan yang unik dan menjadi tujuan wisata membuka inspirasi Kresensia Risna Efrieno atau Isna, sapaannya, untuk membuat usaha kreatif dengan mempromosikan kaos untuk souvenir atau oleh-oleh. Meskipun berada di Yogyakarta, sebagai aktivis muda ia berinisiatif memproduksi kaos dengan desain-desain yang terinspirasi dari kawasan Flores dan sekitarnya. Isna memproduksi kaos dengan brand Bengkes Nai, yang artinya hati yang berharap. Sesuai brand ciptaannya, usaha kaos ini diharapkan bisa menjadi bisnis berkelanjutan dan menghadirkan kehidupan yang lebih baik.
Isna memilih kaos karena kaos merupakan pakaian yang umum dipakai oleh orang-orang segala usia, dari anak-anak sampai orang tua, dan diterima di berbagai daerah. Selain itu kebutuhan kaos bisa dikatakan stabil karena sifatnya yang fleksibel, model yang variatif dan tersedia dalam pilihan harga yang beragam. Bahkan kaos bisa menjadi trend dan menunjukkan gaya hidup. Selain itu pertimbangan menekuni bisnis kaos, antara lain sebagai ruang ekspresi atas kreativitas yang muncul dalam desain kaos, baik itu gambar, font dan tulisan, kombinasi warna, sampai pesan-pesan tertentu. Kaos memiliki segmen pasar yang luas, dan memiliki aneka fungsi seperti untuk fashion, pakaian harian, olahraga, even khusus, souvenir atau oleh-oleh, menyampaikan pesan atau menunjukkan komunitas tertentu. Produksi kaos membutuhkan biaya yang relatif terjangkau, artinya modal yang dikeluarkan menyesuaikan jumlah produksi, bahan kaos, dan jenis pencetakan desain (sablon, bordir atau teknik lainnya). Kaos juga menjanjikan keuntungan karena antara biaya produksi dengan harga jual ada marjin yang cukup sebagai laba, jika bisnis dikelola dengan baik, jeli membidik segmen pasar, cermat dalam strategi pemasaran, dan selalu up-to-date.
Proses produksi Bengkes Nai berawal dari brainstorming ide-ide, memformulasikan alternatif desain dan menentukan bahan kaos dan jenis pencetakan. Sebagai langkah awal ia mempromosikan kaos dengan desain Waerebo yang iconic, kaos dengan gambar khas Flores dan kaos kata-kata bijak dari daerah Manggarai, selain kaos dengan desain lain. Salah satu contoh kata-kata bijak dalam kaosnya adalah Neka Hemong Kuni Agu Kalo, yang artinya Jangan Melupakan Tanah Tempat Kelahiran. Pemasaran kaos dilakukan melalui media sosial dan penjualan langsung di kampung halamannya. Salah satu strategi pemasaran yaitu memproduksi kaos dengan jumlah terbatas guna memunculkan rasa bangga konsumen ketika memilikinya. Sampai saat ini kaos-kaos sedang dipasarkan oleh Isna maupun keluarganya di kampung halaman kepada masyarakat setempat dan wisatawan yang datang ke Waerebo.
Bisnis kaos adalah proses belajar, bagaimana memunculkan ide-ide baru, merancang desain yang berkesan dan memasarkan secara kreatif agar produk diterima oleh konsumen. Yang terpenting adalah keberanian seorang perempuan melangkah merintis bisnis itulah yang layak mendapat apresiasi dan dukungan. Tetap melangkah maju dan berkreasi melalui Kaos Bengkes Nai! ***