Kabar Baik Untuk Alam Dan Lingkungan

pada hari Selasa, 30 Maret 2021
oleh Trustha Rembaka, S.Th.

(Memetakan Kawasan Rentan dan Potensi Masyarakat Gunungkidul)

Kerjasama Stube HEMAT Yogyakarta & Bidang Kesaksian dan Pelayanan Klasis Gereja-gereja Kristen Jawa (GKJ) di Gunungkidul

 

 

Community Empowerment sebagai salah satu misi Stube HEMAT diwujudkan melalui kerjasama dengan bidang Kesaksian dan Pelayanan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Klasis Gunungkidul dalam Sarasehan dan Workshop Ekologi (Senin, 29/03/2021) di GKJ Paliyan, Gunungkidul. Kegiatan ini merupakan tindak lanjut pelatihan ‘Climate Change and Life Survival’ Stube HEMAT Yogyakarta untuk membantu anak muda dan stakeholders menyadari tempat dan kawasan Indonesia yang rentan bencana alam, dan mampu menyesuaikan diri dengan berbekal pengetahuan berkaitan perubahan iklim, peristiwa alam, kerusakan alam dan bagaimana menjaga kelangsungan hidup saat terjadi bencana sekaligus managemen kebencanaan.

Dalam pembukaan acara, Pdt. Yusak Sumardiko, S.Th  mengungkapkan, “Saat ini kita belajar bersama tentang ekologi, bagaimana kita memahami kebencanaan termasuk keterampilan memetakan daerah rentan bencana di sekitar kita tinggal, dan potensi masyarakat untuk merespon ancaman bencana. Harapannya di akhir kegiatan ada gagasan dan aksi bersama sebagai respon masalah lingkungan khususnya di Gunungkidul.”

Pdt. Bambang Sumbodo, S.Th., M.Min, board Stube HEMAT, dalam refleksi teologis berpijak dari kitab Kejadian dimana manusia memiliki akal budi, mestinya manusia bisa mengambil sikap dan bertindak benar sebagai respon perubahan iklim. Ada pengetahuan-pengetahuan baru berkait manajemen bencana, seperti pengelolaan air dan memetakan jenis tanaman yang bisa digunakan sebagai mitigasi bencana. Saat ini  gereja didorong memasukkan muatan ekologi dalam pengajaran gereja dan berkontribusi lebih dalam usaha pelestarian air dan mata air di kawasan Gunungkidul dengan penghijauan di daerah tangkapan air.

Memasuki topik perubahan iklim saat ini Trustha Rembaka, S.Th dan Putri Laoli dari Stube HEMAT Yogyakarta memandu peserta mengenali perubahan iklim yang bisa dilihat gejalanya dari peningkatan suhu bumi secara global, mencairnya es di kutub, perubahan pola hujan, naiknya permukaan air laut dan perubahan sirkulasi arus laut. Suhu bumi global dipengaruhi oleh luasan hutan secara global, jadi keberadaan hutan harus benar-benar dijaga. Sebagai kabupaten yang memiliki wilayah terluas di Daerah Istimewa Yogyakarta, masyarakat Gunungkidul sudah selayaknya menjaga luasan hutan yang ada.

Keterlibatan peserta dalam kegiatan ini semakin nyata ketika Indra Baskoro Adi, S.Psi., M.M.B, praktisi Manajemen Bencana mendampingi peserta untuk Memahami Bencana dan Bagaimana Penanganannya serta memberi kesempatan peserta memetakan ancaman bencana yang pernah terjadi dan yang rentan terjadi, sekaligus menginventarisir kekuatan dan potensi masyarakat untuk menghadapinya, baik mitigasi maupun adaptasi. Diskusi kelompok memunculkan beberapa temuan terkait ancaman maupun kejadian bencana, antara lain banjir bandang yang merendam beberapa dusun di kecamatan Karangmojo, angin puting beliung yang melanda beberapa dusun di kecamatan Nglipar dan kekeringan yang terjadi di sebagian besar kecamatan di Gunungkidul dan tanah bergerak di kecamatan Patuk, Gedangsari dan Paliyan. Namun demikian, kewaspadaan masyarakat mulai terbangun didukung teknologi untuk mengakses internet sehingga cepat mengetahui kejadian bencana dan mencari tahu mengapa bisa terjadi.

 

 

Salah seorang peserta, Agnes dari Semin, Gunungkidul mengungkapkan bahwa dirinya merasa terlengkapi dengan materi yang diberikan, sehingga mulai tersentuh kesadarannya akan tanggap bencana karena kecamatan Semin memiliki ancaman bencana tanah longsor, sehingga bisa menentukan langkah apa yang bisa diambil untuk mengurangi ancaman itu, salah satunya dengan penanaman pohon di kawasan rentan.

 

 

Temuan-temuan berkait perubahan iklim inilah yang menjadi pendorong gereja-gereja di kawasan Gunungkidul bersatu dalam gerakan bersama sebagai wujud kesadaran perubahan iklim dan respon atas panggilan ekologis untuk menghadirkan kabar baik bagi alam semesta dan lingkungan.***


  Bagikan artikel ini

Memahami Merapi Sebagai Sahabat

pada hari Rabu, 17 Maret 2021
oleh Michael

Refleksi Eksposur Turgo oleh Michael

 

 

Saya Michael, dari Malinau, Kalimantan Utara, ingin berbagi cerita mengenai pengalaman kegiatan mengamati Gunung Merapi dan penduduk sekitarnya. Sebelumnya, saya ingin menceritakan latar belakang saya, bahwa awal mula saya bergabung dalam organisasi yang peduli terhadap kesadaran bencana alam, yaitu Stube-HEMAT Yogyakarta. Mengapa saya tertarik mengikuti kegiatan ini? Karena saya tertarik dengan kegiatan  yang membahas bencana alam dan saya ingin mengenal lebih dalam apa yang dimaksud dengan bencana dan bagaimana mengatasinya sesuai dengan latar belakang studi saya di Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Inilah yang mendorong saya bersemangat bergabung dengan kegiatan Stube-HEMAT Yogyakarta.

Saat itu agenda kegiatan Stube-HEMAT adalah melakukan eksposur  ke Museum Gunungapi Merapi (MGM) dan dusun Turgo di lereng Merapi. Ini yang membuat saya antusias mengikuti kegiatan ini karena banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepala saya. Pada tanggal 27 Februari 2021 saya bersama peserta lainnya belajar di MGM di kawasan Pakem. Di tempat ini kami disambut oleh media simulasi letusan gunung Merapi lengkap dengan bentuk dan kontur permukaan tanah sekitar gunung yang mendekati mirip aslinya. Selanjutnya bersama pemandu museum, kami mengamati dampak letusan Merapi tahun 2010 yang digambarkan dalam model sebuah rumah yang rusak parah terkena awan panas. Di bagian lain, saya belajar macam-macam gunung berapi di Indonesia dan gunung-gunung yang masih aktif. Ternyata Kalimantan memang relatif jauh dari rangkaian gunung berapi di dunia.

Dari MGM kami menuju desa Turgo yang berada 5 km di bawah Puncak Merapi. Bersama Pak Indra kami mengamati puncak Merapi dan jalur guguran lava saat Merapi erupsi. Ini menunjukkan betapa kecil manusia di tengah alam semesta. Setelah itu kami menemui beberapa warga setempat untuk berdialog dan mengenali lebih dalam mengenai gunung Merapi. Saya tak sabar ingin bertanya kepada mereka, pertanyaan yang sering saya dengar dan menjadi penasaran saya, yaitu mengapa memilih bertahan dan tetap tinggal di desa Turgo padahal desa ini sangat dekat dengan gunung Merapi dan sangat membahayakan keselamatan mereka karena beberapa kali terkena erupsi.

 

Salah satu warga, Mbah Hadi menjawab, “Merapi adalah sahabat kami. Mengapa bisa sampai disebut sahabat? Karena sifat sahabat tentu sudah saling mengenal satu sama lain. Kami yang tinggal di Turgo ini mengandalkan hidup di lereng Merapi, dan mata pencaharian yang dikerjakan berasal dari hasil letusan gunung Merapi, misalnya pasir, batu, tanah yang subur bagi tanaman. Selain itu, kami lahir dan besar di tempat ini. Kenyataannya gunung Merapi tidak meletus setiap hari, minggu maupun bulan, jadi kami sudah terbiasa dengan perilaku gunung Merapi. Kami yang tinggal di sini memiliki strategi untuk menghindari dan mengatasi ancaman dari amukan gunung Merapi, ditambah lagi dengan kemajuan teknologi dari dinas pemerintah yang sangat membantu itu semakin membuat mereka memilih untuk bertahan. Ketika aktivitas gunung Merapi meningkat, kami meningkatkan kewaspadaan dan akan mengungsi jika kondisi mengharuskan. Kalau kami harus pindah dari tempat ini rasanya berat karena jauh dari ladang dan pasti perlu waktu lama untuk adaptasi.”

Dari pengalaman dialog ini, saya mengingat daerah saya di Malinau, Kalimantan Utara yang makin sering mengalami banjir setiap musim penghujan, dan mesti mencari solusi supaya warga tidak merasa maklum dan terbiasa dengan banjir tetapi mencari penyebab dan bagaimana mengatasinya. Memang cerita pengalaman ini tidak bisa menceritakan keseluruhan kegiatan tetapi setidaknya eksposur ini bisa menjawab rasa penasaran saya dan menjawab pertanyaan teman-teman saya.***


  Bagikan artikel ini

Memiliki Kewaspadaan Terhadap Bencana

pada hari Selasa, 16 Maret 2021
oleh Daniel Prasdika

Refleksi Eksposur Turgo oleh Daniel Prasdika (Lampung)

 

Sabtu, 27 Februari 2021 kami melakukan kunjungan ke dusun Turgo, dusun yang paling dekat dengan puncak gunung Merapi, dengan radius jarak 5 Km, sebagai salah satu bagian dari program Stube HEMAT Yogyakarta dalam topik ‘Climate Change and Life Survival’. Kegiatan ini berlangsung untuk mewujudkan kesadaran mahasiswa terhadap perubahan iklim dan bagaimana menjaga kelangsungan hidup baik manusia maupun lingkungannya. Turgo menjadi tempat saya dan teman-teman Stube  berdialog langsung dengan warga setempat dan mengupas informasi apa yang terjadi selama beberapa kali erupsi Gunung Merapi. Beberapa warga yang menjadi sumber informasi pada saat kami berkunjung adalah bapak Misran sebagai kepala dusun, bu Sariyem dan bapak Hadi sebagai warga dan difasilitasi oleh Indra Baskoro Adi, S.Psi., M.M.B berkaitan manajemen bencana.

 

Ada beberapa hal yang menjadi pokok pembicaraan atau pertanyaan dalam kunjungan tersebut, seperti bagaimana peran pemerintah pada saat bencana atau saat Gunung Merapi sudah mulai menunjukan tanda-tanda kenaikan aktivitasnya, bagaimana masyarakat ‘membaca’ waktunya gunung Merapi akan segera meletus, apakah ada tanda-tanda khusus menjelang meletus, seperti apa pengalaman penduduk ketika erupsi, kemana penduduk Turgo ini mengungsi dan beberapa pertanyaan lainnya.

 

 

Satu dari narasumber yang kami wawancarai, yaitu bapak Misran, mengungkapan bahwa sekarang sudah ada tindakan langsung dari pemerintah setempat dengan melakukan edukasi dan sosialisasi berkaitan dengan erupsi Gunung Merapi, menghindari kawasan sungai ketika erupsi, menyediakan tempat pengungsian bagi warga, dan mencetuskan sister village, dimana desa di Turgo bermitra dengan salah satu desa di kawasan aman yang menjadi tempat mengungsi jika sewaktu-waktu terjadi erupsi.

 

 

Dari paparan Indra Baskoro, menurut UU No.24 2007 penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana meliputi: Kesiapsiagaan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana yang dapat dilakukan melalui penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana, pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini, penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar. Contohnya tas siaga yang berisi surat berharga, air minum dan makanan kering. Peringatan Dini yang berfungsi untuk menyampaikan informasi terkini status aktivitas Merapi dan tindakan-tindakan yang harus diambil oleh berbagai pihak dan terutama oleh masyarakat yang terancam bahaya, contohnya sirine dan alat komunikasi. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana, contohnya berupa pos pengamatan swadaya dan tim ronda yang mengamati puncak Merapi. Tanggap darurat bencana, adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Contohnya sister village desa Turgo dengan salah satu desa di kecamatan Ngaglik.

 

 

 

Di eksposur ini kami menemukan beragam pengetahuan baru, dan ternyata ada empat tingkat yang menunjukkan aktivitas gunung Merapi, yaitu aktif normal, waspada, siaga dan awas, yang mana masing-masing memiliki syarat-syarat tertentu. Kami sangat dibekali oleh berbagai informasi yang berguna, harapannya kami memiliki kesiapan diri untuk mengantisipasi bencana, bagaimana bertindak saat bencana dan pascabencana yang tidak bisa diprediksi kapan terjadinya.***


  Bagikan artikel ini

Perempuan dan Kesadaran Kebencanaan

pada hari Senin, 15 Maret 2021
oleh Wike Marsela

Refleksi Eksposur Turgo oleh Wike Marsela

 

 

Sabtu, 27 Februari 2021 merupakan momen unik bagi saya karena untuk pertama kali saya mengunjungi  gunung api aktif yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, setelah memasuki tahun kelima tinggal di kota ini. Ya, saya Wike Marsela dari Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Saat ini saya kuliah di Magister Manajemen Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta.

Gunung Merapi merupakan gunung yang posisinya berada di bagian tengah pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api aktif di Indonesia yang memiliki konsekuensi ganda. Di satu sisi, gunung api berpotensi ancaman bahaya bagi keselamatan penduduk sekitar jika erupsi, terlebih lereng gunung Merapi merupakan wilayah yang cukup padat penduduk  yang mencakup kabupaten Sleman, Klaten, Boyolali dan Magelang, yang memiliki ancaman erupsi yang tinggi. Bahaya utama yang mengancam wilayah sekitar Merapi adalah aliran awan panas, lontaran batu, hujan abu, lelehan lava dan gas beracun. Akibat yang timbul dari bencana ini dapat berupa korban jiwa, lingkungan atau ekosistem, harta benda atau aset, penghidupan, cacat seumur hidup, gangguan psikologis, traumatis, dsb. Di sisi lain, keberadaan gunung Merapi juga menghadirkan kehidupan untuk masyarakat di sekitarnya, mulai dari pasir, batu, lahan yang subur untuk perkebunan dan tanaman produktif lainnya selain pariwisata.

 

Kunjungan di Turgo merupakan bagian Eksposure to Merapi di bawah bimbingan Stube-HEMAT Yogyakarta sebagai program pendampingan mahasiswa dengan motto H (hidup), E (efisien), M (mandiri), A (analitis), T (tekun). Program ini berorientasi pada mahasiswa untuk memahami dan memanfaatkan hidup secara efisien, mandiri, analitis dan tekun melakukan segala sesuatu demi meraih masa depan yang dicita-citakan. Stube-HEMAT Yogyakarta merupakan wadah yang memfasilitasi mahasiswa dengan harapan peserta berproses dalam pelatihan-pelatihan yang diikuti agar menjadi pribadi yang berkualitas.

Dalam dialog bersama warga setempat, Stube juga memberi ruang sehingga ada perwakilan kaum perempuan untuk membagikan pengalaman tinggal di Turgo ketika mengalami erupsi dan apa yang dilakukannya saat ini. Bu Sariyem yang duduk bersama kami bertutur, “Ketika itu, tanpa tanda-tanda yang jelas, Merapi memunculkan awan panas secara tiba-tiba dan meluncur ke arah barat daya melalui alur sungai Boyong. Luncuran awan panas itu menghantam dasar sungai dan sebagian membubung dan sebagian lagi berbelok ke arah perkampungan. Ketika itu tahun 1994, saya sedang hamil tua, berjuang menyelamatkan diri dan juga calon bayi yang sedang dikandung. Saat itu saya mendengar suara ‘gluduk-gluduk’ dan melihat awan hitam membubung dan menuju ke arah kampung. Saya sangat takut kalau-kalau awan hitam itu akan melanda kampung dan rumah kami yang terbuat dari bambu. Spontan, meskipun hamil saya berlari menyelamatkan diri ke rumah yang bertembok, tetapi karena panik saya salah arah seharusnya  berlari menjauhi sumber letusan tetapi malah berlari ke arah atas mendekati awan hitam tersebut. Segera saya menyadarinya dan berbalik arah dan berhasil dibantu penduduk lain menyelamatkan diri ke bawah.”

 

Bu Sariyem mengakui bahwa ia dan kaum perempuan di Turgo belajar dari pengalaman masa lalu, bahwa kesadaran berada di kawasan bencana itu penting dan edukasi dilakukan untuk mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu bencana itu terjadi lagi. Edukasi, sharing mengenai kebencanaan sudah dilakukan oleh grup arisan ibu-ibu dengan perencanaan, pengorganisasian, guna mencapai tujuan yang diinginkan, sehingga ketika terjadi erupsi seperti sekarang (2021) penduduk setempat dan kaum perempuan sudah bisa mengelola tempat pengungsian, bertugas di dapur umum dan mengatur ketersediaan air.

Setelah mendengar kesaksian narasumber, bagi saya, perempuan itu kuat meski sering  disebut sebagai makhluk yang lemah. Bagaimana tidak? Seorang perempuan yang sedang hamil tua berjuang menyelamatkan dirinya dan juga calon bayi yang sedang ada dalam kandungan, bukan hal yang mudah apalagi tanpa persiapan. Kekuatan mental dan keberanian membuat perempuan survive. Terus berjuang untuk survive perempuan-perempuan Indonesia. ***


  Bagikan artikel ini

Berita Web

 2024 (22)
 2023 (38)
 2022 (41)
 2021 (42)
 2020 (49)
 2019 (37)
 2018 (44)
 2017 (48)
 2016 (53)
 2015 (36)
 2014 (47)
 2013 (41)
 2012 (17)
 2011 (15)
 2010 (31)
 2009 (56)
 2008 (32)

Total: 649

Kategori

Semua  

Youtube Channel

Lebih baik diam dari pada Berbicara Tetapi tidak ada Yang Di pentingkan Dalam Bicaranya


-->

Official Facebook