Isu SARA dan konflik agama sering dimunculkan untuk tujuan tertentu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang selanjutnya berakibat merusak tatanan kehidupan di dalam masyarakat. Terlebih isu agama yang sangat sensitif yang bisa memecah belah bangsa ini. Media sosial tak luput ikut menyumbang permasalahan dan membuat isu-isu semakin panas. Melihat kondisi ini banyak pihak melihat betapa pentingnya toleransi dan cara menumbuhkan sikap toleran didalam kehidupan sehari-hari.
“Srikandi Lintas Iman Yogyakarta (SRILI Jogja) terpanggil untuk ikut bersama memerangi berbagai macam isu intoleran dan ikut andil dalam upaya rekonsiliasi konflik untuk bersama menjaga harmoni di lingkungan tempat hidup bersama”, ungkap Fata Hanifa salah satu anggota SRILI dalam pembukaan acara diskusi “The Role of Interfaith Women in Peace building” (11/10/2017) bekerjasama dengan PSPP UKDW.
Maria Ida L. Giguiento,akrab disapa Bu Deng, merupakan Training Kordinator untuk “The Peace and Reconciliation Program”dari Catholic Relief Services Philippines menyampaikan, ”Salah satu harapan yang sedang berusaha dibangun oleh SRILI khususnya, dapat ikut andil dalam rekonsiliasi konflik dan ikut memberi informasi tentang pentingnya pendidikan toleransi”. Menurut Bu Deng seseorang yang akan menjadi Active Peacebuilders harus tahu benar apa masalah/konflik yang sedang dia hadapi. Untuk sampai kesana dibutuhkan analisa kasus terlebih dahulu. Sebagai contoh, seseorang yang masuk ke universitas, sebenarnya dia sedang masuk ke Universal-City. Maka dia harus paham mengapa dia kuliah, mengapa harus belajar, apa yang dia cari di kampus, semuanya harus sudah terpikirkan. Selain itu dia juga harus tahu apa yang sedang terjadi di sekitarnya, manfaat apa saja yang dia dapatkan ketika ke kampus dan dia harus familiar dengan setiap permasalahan yang ada di Universal-City di mana dia berada. Pemaparan materi dilakukan secara sederhana, dengan tujuan membangun kesadaran perempuan untuk ikut terlibat dalam membangun perdamaian. Membangun perdamaian itu sendiri adalah usaha untuk mentransformasikan isu, hubungan dan institusi/struktur; mengurangi kemungkinan konflik meningkat menjadi kekerasan. “Jika kita ingin membangun perdamaian maka kita harus membangun dahulu hubungan yang positif dengan orang lain”, Bu Deng menekankan.
Dari masa ke masa, peran perempuan dalam peace-building terus berevolusi,mulai dari sekedar menjadi pengamat di luar jendela saat laki-laki mengadakan rapat, dilanjutkan menjadi pelayan didapur untuk mengurus konsumsi pertemuan kaum laki-laki, kemudian mulai merasa perlu ikut terlibat langsun dengan mengikuti pertemuan-pertemuan yang diadakan baik di gereja, di desa dan kelompok lainnya. Saat perempuan terlibat dan berkomunikasi dengan laki-laki, maka ada ruang-ruang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas perempuan sehingga mampu mengklaim bahwa ruang-ruang yang dikuasai laki-laki sebagai ruang mereka juga, meskipun disadari bahwa ruang gerak perempuan dalam peace building masih terbatas.
Untuk menjadi Active peacebuilders memang tidak mudah, tetapi diharapkan perempuan mampu melakukannya. Kehadiran perempuan diharapkan dapat meredam konflik sehingga tidak berakhir dengan kekerasan dimulai dari lingkungan kehidupanperempuan. (SAP).