Pulau Bali, tidak hanya menyajikan keindahan panorama alam tetapi juga menghadirkan pengalaman dan pengetahuan baru tentang infrastruktur dan konsep kawasan hunian. Perlu diakui bahwa faktor adat istiadat dan religi Hindu sebagai mayoritas berpengaruh kuat di dalamnya sehingga eksistensi terjaga dan berkelanjutan. Salah satunya bisa ditemukan di Desa Penglipuran.
Desa Penglipuran di kecamatan Bangli terletak di bagian tengah pulau Bali yang memiliki luas 112 Ha dengan 50 Ha kawasan pertanian, 45 Ha hutan bambu, 9 Ha pemukiman, 4 Ha kawasan adat dan sisanya untuk fasilitas umum. Secara geografis desa Penglipuran berada di 600 mdpl yang membuat temperatur desa ini cenderung sejuk dengan vegetasi yang masih terjaga. Desa ini ditetapkan sebagai desa wisata sehingga tentu wajar jika penduduk setempat bekerja sebagai pelaku wisata dan perdagangan, selain sebagai petani, karyawan, pengrajin dan ASN.
Filosofi pembangunan kawasan ini merujuk pada Tri Hita Karana, yang mengakui adanya tiga kawasan, yaitu Parahyangan, Pawongan dan Palemahan. Parahyangan sebagai hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (sang Hyang Widi) dengan menempatkan bangunan pura sebagai tempat ibadah berada di tempat yang tinggi, sebagai bentuk penghormatan hubungan manusia dengan Tuhan. Di sisi utara terdapat pura untuk peribadatan, antara lain Pura Penataran, Pura Puseh, Pura Dukuh, Pura Rambur Sedana, Pura Empu Aji dan Pura Empu Nalwah. Pawongan adalah hubungan harmonis antar manusia, karena manusia akan hidup berdampingan dan tidak bisa hidup sendiri. Rumah di Desa Penglipuran saling terhubung dengan jalur khusus sehingga penghuni mudah berkomunikasi, melakukan gotong royong dalam kegiatan desa untuk menjaga rasa kekeluargaan dan saling memiliki, termasuk menyambut wisatawan yang datang berkunjung. Palemahan berarti adanya hubungan harmonis antara manusia dengan alam lingkungannya sehingga alam dan ekosistem terjaga baik yang diwujudkan dengan menjaga keaslian arsitektur bangunan rumah dan pekarangan, kesepakatan gotong royong membersihkan lingkungan, penataan ruang dan jalur utama di tengah desa tidak boleh dilalui kendaraan bermotor agar bebas dari polusi, termasuk konservasi hutan bambu sebagai kawasan tangkapan air hujan untuk sumber mata air. Keunikan khas lainnya adalah adanya ruang terbuka untuk saling bertemu berupa jalan ‘rurung gede’ yang semakin menanjak ke arah utara, dan setiap rumah memiliki pintu gerbang menghadap ke jalan ini.
Tantangan modernitas juga merambah kawasan Desa Penglipuran, sehingga konstruksi sebagian menggunakan bahan bangunan modern, namun khusus pawon dan bale adat tetap menggunakan bahan bangunan tradisional, yakni atap sirap bambu. Masyarakat lambat laun memiliki wawasan terbuka dan saat menjadi Desa Wisata, mereka siap berinteraksi dengan beragam wisatawan dari berbagai penjuru. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah daya dukung kawasan, karena kehadiran wisatawan memiliki konsekuensi naiknya kebutuhan air, potensi limbah dan beban transportasi di kawasan tersebut.
Temuan-temuan otentik di Desa Penglipuran memberi pencerahan tentang tata ruang pemukiman yang bisa dikembangkan sebagai kawasan terpadu dengan muatan filosofi, fungsi dan keseimbangan hidup manusia dan berpotensi sebagai obyek wisata.***
Pembangunan infrastruktur cukup gencar di Indonesia demi menjamin ketersediaan fasilitas infrastruktur baik fisik maupun nonfisik yang menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari di lingkup ekonomi dan sosial. Cakupan infrastruktur meliputi jalan raya, pelayanan transportasi, air, manajemen limbah, bangunan dan fasilitas olahraga luar, dan produksi dan distribusi energi, sementara yang non-fisik mencakup berbagai upaya yang dilakukan guna mendukung sarana prasarana umum yang dibutuhkan masyarakat.
Pengamatan fasilitas infrastruktur menjadi kegiatan para mahasiswa dan tim Stube HEMAT Yogyakarta dalam program Infrastruktur yang Tangguh: Menghadirkan kehidupan yang aman dan nyaman. Kegiatan dikemas dalam kunjungan belajar ke pulau Bali yang menjadi magnet level dunia (26-29 Juni 2023). Beberapa unsur infrastruktur bisa diamati dari perjalanan melalui jalan tol Solo sampai Probolinggo, yang bisa ditempuh dalam waktu 6-7 jam, kemudian PLTU Paiton di Probolinggo yang menyuplai kebutuhan listrik Jawa dan Bali. Perjalanan ke timur berujung di pelabuhan Ketapang, kabupaten Banyuwangi yang sangat strategis sebagai penghubung ke pulau Bali. Untuk menunjang pergerakan kendaraan dan kapal feri, pelabuhan ini memiliki tiga jenis dermaga, yaitu Landing Craft Machine (LCM), Moveable Bridge (MB) dan ponton. Namun demikian di waktu tertentu terjadi antrian panjang kendaraan.
Bangunan-bangunan di Bali memiliki arsitektural yang khas, seperti Pura di Tanah Lot yang dibangun di pulau karang dan akan seperti mengapung saat laut pasang. Pura Ulun Daun di Bedugul yang nampak mengambang di tengah danau Beratan. Tak kalah menarik ketika mengamati Pura Dalem Agung Padangtegal di kawasan hutan di Mandala Suci Wenara Wana dengan primata kera yang melenggang bebas, berlanjut pemukiman dengan tata ruang di Desa Penglipuran, kabupaten Bangli yang menerapkan arsitektur tradisional Bali. Loyalitas masyarakat desa setempat dalam menjunjung adat leluhur baik dalam ritual maupun dalam kehidupan sehari-hari, kesepakatan menjaga tatanan kawasan tetap rapi teratur dan berkesinambungan dengan alam, menjadi kunci keberlanjutan desa Penglipuran.
Jalan tol Bali Mandara yang menjadi kebanggaan pulau ini karena dibangun di atas laut sepanjang lebih dari 12 km mengantar para mahasiswa dan tim Stube HEMAT Yogyakarta sampai kawasan Bali selatan, tepatnya kawasan perbukitan karst yang dikembangkan menjadi kawasan Garuda Wisnu Kencana Cultural Park. Di dalamnya terdapat Plaza Wisnu, Plaza Garuda di mana patung kepala Garuda setinggi 18 meter ditempatkan. Plaza Garuda menjadi sentral ruang terbuka Lotus Pond yang dikelilingi lorong dan pilar-pilar batu karst. Beragam acara besar nasional dan internasional pernah diadakan di sini. Pengembangan kawasan GWK menjadi alternatif pemanfaatan lahan marjinal tanpa merusak tapi memberikan manfaat ekonomis bagi daerah dan masyarakat. Di Bali Selatan, selain GWK, kawasan Nusa Dua yang marjinal sudah lebih dulu dikembangkan menjadi kawasan wisata unggulan dengan melibatkan budaya setempat dan selaras lingkungan.
Bagaikan sebuah ironi ketika sarana infrastruktur dibangun dan diperindah, tetapi jaringan telepon ‘mengganggu’ suasana ketika di suatu lokasi berjajar tiang-tiang telepon dan kabel yang bersilang sengkarut. Selain itu, beban jalan di Bali pasti akan semakin berat karena lalu lintas yang bertambah padat. Bagaimana Bali ke depannya, apakah tetap menjadi magnet wisata yang berkelanjutan atau mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran? Jangan biarkan waktu menjawabnya, tetapi langkah-langkah antisipasi perlu dilakukan. ***
Kehidupan desa sering dianggap tertinggal dan tidak modern, sehingga ada banyak orang memilih pergi merantau ke kota dengan tujuan mencari pekerjaan dan peluang bisnis. Jika desa dibangun dan dikembangkan sesuai dengan keunggulan dan fungsinya, dapat menjadi peluang usaha seperti, objek wisata. Jarang masyarakat berpikir akan hal itu, bahkan anak muda sekarang lebih dominan memilih hidup di kota karena akses untuk kebutuhan sehari-hari mudah. Tak jarang ditemukan masyarakat desa saat ini meniru gaya sosial masyarakat kota, seperti konsep rumah dan desain infrastruktur modern.
Dalam program “Infrastruktur Yang Tangguh”, Stube HEMAT Yogyakarta memberikan kesempatan bagi peserta dalam kegiatan eksposur mendalami bentuk rumah yang unik dan inspiratif dengan kearifan lokal desa, bersama narasumber Ir. Eko Prawoto, M.Arch., IAI (Arsitektur lokal-FAD UK Duta Wacana) bertempat di Dusun Kedodong 2, Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta (10/06/2023). Kegiatan diikuti oleh mahasiswa yang sedang kuliah di Jogja dari daerah dan latar belakang studi yang berbeda.
Pokok bahasan dalam kunjungan belajar tersebut adalah menggagas nilai sosial dan nilai kebudayaan yang ada di desa dan di kota dalam pembangunan infrastruktur bernuansa alami, dengan mengedepankan kekayaan dan kearifan lokal desa. Para mahasiswa belajar bersama narasumber dengan melihat langsung berbagai model rumah yang berbahan material dari lingkungan alam sekitar, di antaranya, bambu, batu, kayu, dan pecahan keramik yang disusun dengan unik.
Salah satu peserta, Daniel, mengemukakan fakta bahwa masyarakat desa saat ini cenderung mengikuti gaya hidup orang kota termasuk arsitektur rumah mereka. Eko Prawoto menanggapi bahwa desa yang tidak percaya diri dengan kebudayaan yang ada, mengakibatkan budaya dan nilai sosial desa lama-kelamaan akan menyusut dan berangsur menghilang. Jika ditarik dari akar kebutuhan yang ada, sebenarnya kota berasal dari desa, seperti kebutuhan pokok makanan dan bahan material kayu maupun batu untuk pembuatan rumah. Bahkan eksistensi kota sebenarnya diawali dari eksistensi desa, karena itu kota mestinya tidak boleh ‘angkuh’ terhadap desa malah sebaliknya kota bisa mendukung mengembangkan desa tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal tersebut.
Prinsip pembangunan yang diterapkan Eko Prawoto dalam membangun rumahnya tidak jauh dari alam sekitar, tidak merusak alam dan tetap mempertahankan kontur dan keaslian bentuk tanah dengan membangun rumah mengikuti kondisi lingkungan sekitar, mengambil bahan baku material yang berasal dari desa dengan mengedepankan keunggulan desa dan memberikan peluang warga desa mengetrapkan skill teknik sipil dan arsitektur, dan memberdayakan sumber daya yang ada di desa dengan ilmu dan pengetahuan yang didapat di kota, menjadi suatu terobosan untuk memajukan desa.
Pengalaman perjumpaan dan pengamatan langsung ini tentu menjadi perenungan bagi anak muda akan pembangunan infrastruktur apa yang sesuai daerah masing-masing, dengan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan sumber daya manusia yang ada untuk menciptakan karya yang mengedepankan keunggulan lokal. Ayo anak muda, kobarkan cinta desa dan semangat membangun Indonesia dari desa. ***
Eksposur Infrastruktur yang Tangguh
Ketika berbicang tentang Magelang pasti identik dengan candi Borobudur juga candi Mendut, tetapi ada pula daya tarik wisata baru, yaitu Bukit Rhema, sebuah bukit untuk berwisata dan berdoa. Bukit ini terletak di dusun Gombong, Kurahan, Kembanglimus, Magelang, sekitar 11 menit atau 4,8 km perjalanan dari Candi Borobudur. Di atas bukit ini terdapat bangunan unik dalam bentuk burung merpati bermahkota. Namun bangunan ini lebih terkenal dengan nama gereja ayam.
Bukit Rhema menjadi tempat belajar mahasiswa Stube HEMAT Yogyakarta dalam program Infrastruktur Yang Tangguh: Menghadirkan Kehidupan yang Lebih Aman dan Nyaman, memperkaya wawasan mahasiswa tentang arsitektur yang unik dan inspiratif (Sabtu, 3/06/2023). Di tempat ini mahasiswa mengamati bangunan rumah doa di bukit Rhema yang membuat penasaran pengunjung dan menghadirkan manfaat bagi masyarakat sekitar. Berlabel Arsitektur Tour, kegiatan ini diikuti mahasiswa dari beragam latar belakang studi seperti manajemen, akuntansi, teknik elektro, keperawatan, dan juga teologia kependetaan.
Para mahasiswa mencerna pemaparan pemandu bahwa pembangunan bermula ketika Daniel Alamsyah berdoa semalaman di bukit ini, dan ia tergerak saat berjumpa dengan Jito, seorang anak penyandang disabilitas. Tahun 1992, ia mulai membangun tempat ini tetapi terhenti karena krisis moneter tahun 1996. Bangunan sempat mangkrak, tetapi mulai menggeliat lagi ketika menjadi lokasi syuting film “Ada Apa Dengan Cinta 2”. Semenjak itu wisatawan mulai mengunjungi tempat ini, dan selanjutnya terkenal dengan gereja ayam.
Ketika melakukan kunjungan, para mahasiswa mengamati bentuk bangunan yang terdiri dari tujuh lantai yang dimulai dari lantai pertama sampai ke puncak mahkota merpati. Letak bangunan berada di bukit dengan naik tangga setinggi kurang lebih 150 meter. Pemandu wisata mendampingi untuk mengelilingi bagian dalam bangunan gereja merpati. Di lantai 1, terdapat lukisan dan sejarah pembuatan beserta ruang-ruang doa bagi setiap agama yang ingin berdoa. Naik ke lantai 2, dulunya ruang ini digunakan sebagai tempat ibadah umat Kristen tetapi sekarang sudah tidak lagi. Lantai 3, disajikan lukisan keberagaman iman hingga sampai lantai 4. Di lantai 5 pengunjung bisa menikmati lukisan berupa gunung yang ada di Jawa beserta bangunan dari seluruh dunia. Selain itu, ada view beberapa gunung di sekitarnya. Lantai ke-6 merupakan bagian kepala dan paruh dalam keadaan terbuka sehingga bisa melihat ke arah timur dan sebagai ruang tunggu untuk naik ke mahkota. Keterbatasan space di lantai 7 menjadi kesempatan berharga pengunjung untuk bisa melihat sekitaran 360 derajat, mengamati perbukitan termasuk candi Borobudur. Bagian ekor merpati adalah cafe dimana pengunjung bisa menikmati singkong goreng dan menu lainnya yang dikelola masyarakat setempat.
Melalui Arsitektur Tour, mahasiswa menemukan pencerahan baru, tidak saja tentang bangunan dan konstruksinya tetapi juga memiliki idealisme untuk menghadirkan karya arstitektur bangunan yang unik dan bermanfaat. Seperti gereja merpati yang bisa menjadi tujuan wisatawan juga penyedia lapangan pekerjaan dan penyedia kuliner. Keberadaan karya infrastruktur Bukit Rhema sangat bermanfaat ketika fungsional dan unik yang selanjutnya masyarakat setempat pun menikmati manfaat ekonomi yang naik.***