“Tanamlah apa yang kau makan, dan makanlah apa yang kau tanam, untuk bisa mandiri pangan!” Ungkapan ini benar-benar menggelitik dua bersaudara yang saat itu mengikuti pelatihan pertani anorganik Stube-HEMAT, medio Mei 2018. “Kami menanam kelapa, apakah kami juga harus makan kelapa setiap hari?” Pasti ada cara buat potensi kelapa Halmahera yang sejauh ini baru isi buahnya saja yang dimanfaatkan.
Sekilas Halmahera: pulau berbentuk huruf K kecil yang berada di timur pulau Sulawesi ini merupakan pulau penghasil pala, cengkeh, kelapa dan hasil laut yang melimpah, seperti timun laut, ikan kerapu, ikan tuna dan cakalang. Karena hasil alamnya, Portugis dan Spanyol saling berebut pengaruh dan kekuasaan di pulau ini.Saat ini Halmahera sudah menjadi provinsi sendiri yaitu provinsi Maluku Utara yang sebelumnya di bawah provinsi Maluku. Provinsi ini memiliki banyak wisata bawah laut, selain wisata budaya dan peninggalan sejarah bahkan memiliki kesultanan yang sampai saat ini masih berdiri kokoh yaitu kesultanan Ternate & Tidore.
Magnet wisata menjadi luar biasa setelah ditunjang infrastruktur yang terus diperbaharui untuk menunjang produktivitas masyarakat Maluku Utara atau Moluku Kieraha. Halmahera Timur merupakan salah satu kabupaten termuda dari semua kabupaten yang ada diprovinsi Maluku Utara. Terdapat banyak suku yang hidup berbaur di dalam kabupaten, seperti suku Tobelo, Maba, Buli yang merupakan suku asli dan ada juga yang pendatang seperti suku Jawa, Bugis, Toraja, Sanger dan lainnya.
Di kabupaten Halmahera Timur sendiri terdapat 9 kecamatan. Salah satu kecamatan yang merupakan penghasil beras adalah kecamatan Wasile Tengah. Di kecamatan ini terdapat banyak transmigran dari Jawa yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan menjual hasil pertanian ke Tobelo dan Buli. Masyarakat asli di daerah ini kebanyakan suku Tobelo, Papua dan Sanger yang sudah datang ke tanah Halmahera jauh sebelum Indonesia merdeka. Mereka sudah menjadi masyarakat asli yang tinggal di beberapa desa seperti Hatetabako, Puao, Kakaraino & Nyaolako. Empat desa ini merupakan desa pesisir. Desa Puao dan Hatetabako sendiri merupakan desa yang berdekatan dan rata-rata masyarakatnya nelayan dan petani. Petani di desa ini memiliki ratusan ton hasil kelapa yang setiap tahun panen tetapi belum ada pemanfaatan dari limbah kelapa sendiri selain kopra. Kegelisahan ini sangat dirasakan oleh anak muda yang sudah studi di Jogja & Jakarta, seperti Witno dan Erik. Mereka berdua merupakan saudara sepupu yang tinggal berbeda desa.
Kegelisahan ini mereka ungkapkan saat mengikuti pelatihan pertanian Organik yang diselenggarakan oleh Stube-HEMAT Yogyakarta. Karena kegelisahan mereka, Stube berusaha mengajak mereka berkunjung ke salah satu tempat olahan bathok kelapa yang produknya sudah dikirim ke berbagai negara baik Asia dan Eropa yaitu ‘Chumplung Adji Craft’ yang berada di dusun Santan, Pajangan, Bantul, Yogyakarta.
Sampai di sana mereka begitu antusias mengetahui manfaat kelapa dari A hingga Z beserta produk turunannya, sehingga sangat termotivasi untuk segera menyelesaikan studi dan segera pulang kampung ke Puao dan Hatetabako, sebab potensi kelapa yang luar biasa yang mereka miliki, sama sekali belum dilirik untuk menjadi komoditi sumber penghidupan masyarakat. Padahal di sepanjang garis pantai desa mereka banyak sekali pohon kelapa. Selain untuk kopra dan minyak kelapa untuk memasak tidak ada lagi olahan lanjutan.
Sejauh mata memandang di tepi pantai dan di bawah pohon kelapa pasca panen hanya tumpukan sampah bathok kelapa yang dibiarkan lapuk dan dibakar. Padahal di‘Chumplung Adji Craft’ ini, dari bathok kelapanya saja dapat dijadikan berbagai kreasi seperti cangkir, mangkok, tempat aksesoris, tempat tisu, tas, kancing baju dan lainnya, belum lagi batang kelapanya yang bisa dijadikan sendok, garpu dan aneka produk kreatif lainnya.
Pergumulan dan harapan untuk bisa memanfaatkan limbah kelapa atau bahkan mengalihkan dari kopra yang harganya juga tidak menentu ke kerajinan sangat mungkin dilakukan di masa mendatang. Saat ini dari dusun Santan-Yogyakarta untuk Indonesia, maka harapannya dalam waktu 4-5 tahun ke depan dari Puao & Hatetabako-Maluku Utara, untuk Indonesia. (SAP).