Menikmati Mie Berbahan Singkong

pada hari Sabtu, 17 Desember 2022
oleh Daniel
Eksposur Potensi Pangan Lokal

 

Oleh Daniel.     

   

Pernah dengar Mie Reshik? Nama ini memang belum umum terdengar. Memang nama yang populer adalah Mie Lethek, ‘lethek’ bermakna kotor atau kusam, dikarenakan tampilan mitidak berwarna putih atau kuning cerah. Istilah Mie Reshik ini menjadi cara promosi dan ‘rebranding’ mie berbahan dasar singkong sehingga konsumen penasaran dan melek terhadap pangan berbahan lokal dan rendah kadar gluten.

 

 

 

 

Pengolahan Mie Reshik ini menjadi kegiatan Stube HEMAT Yogyakarta dalam rangkaian program Keanekaragaman Pangan: Inisiatif Pangan Lokal untuk meyakinkan anak muda dan mahasiswa bahwa pangan lokal memiliki peluang bisnis yang prospektif dan menyehatkan. Kegiatan eksposur untuk mengolah Mie Reshik ini diadakan di pabrik Mie Reshik cap Dokar dan Resto Mie Reshik di Poncosari, Srandakan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (16/12/2023). Mahasiswa harus mengenal potensi pangan lokal di Indonesia karena kekayaan potensinya dimana menurut Kementerian Pertanian Indonesia memiliki 77 sumber karbohidrat, dari jagung, kentang, ubi jalar, beras, singkong, sagu, sorgum dan jenis lainnya. Bahkan mahasiswa diharapkan memiliki keterampilan bagaimana mengolahnya menjadi produk yang siap olah dan bahkan siap makan.

 

 

 

Eksposur atau kunjungan belajar ini membuka wawasan mahasiswa tentang pengolahan singkong menjadi Mie Reshik yang sehat karena rendah gluten serta praktek memasak mi rebus dan mi goreng. Para mahasiswa bertemu dengan pemilik Mie Reshik Cap Dokar, yaitu FX. Subeno. Ia menceritakan bahwa capaian sampai di titik ini merupakan proses panjang kehidupannya, dari merantau dengan beragam pekerjaan akhirnya menggeluti pembuatan mie. Awalnya ia hanya memasok tepung untuk pabrik mi dan kerupuk, tetapi sejak 2014 ia merintis bisnis pembuatan mie dengan nama Talang Berkah Jaya dengan label Mie Reshik Cap Dokar.

 

 

 

Ia menjelaskan tahapan pembuatan Mie Reshik, dari tahap awal dengan merendam tepung singkong untuk mendapat tepung yang bersih, kemudian tambahkan tepung tapioka yang bersih dengan komposisi 40:60. Kemudian campuran ini digiling selama dua jam menggunakan mesin desain khusus sampai adonan tercampur dengan baik. Kemudian dengan ketebalan tertentu adonan dikukus sampai matang dan digiling lagi sampai benar-benar kenyal. Tahapan berikutnya adalah mencetak adonan menjadi butiran panjang, kukus dan ditiriskan selama satu malam. Dari tahapan indoor, proses berikutnya menjemur mie di bawah sinar matahari sampai benar-benar kering. Tahapan akhir yaitu pengemasan berdasar bobotnya. Proses produksi dua ton Mie Reshik membutuhkan waktu sekitar tiga sampai lima hari bergantung intensitas paparan sinar matahari.

 

 

 

 

 

 

 

Dari pengamatan produksi mie, para peserta diajak praktek memasak bersama FX Subeno. Ia memandu setiap peserta memasak mie rebus dan mie goreng, dari menyiapkan peralatan dan bahan-bahan, menakar bumbu, dan memasak sesuai urutan dan lama pemasakan. Ternyata tidak semua peserta mencapai hasil masak yang bagus, sebagian terlalu matang dan sebagian belum tercampur merata, namun ini tidak mengurangi semangat para peserta untuk mereka belajar dan menikmati masakan mereka masing-masing. FX Subeno juga memaparkan prospek Mie Reshik menjadi usaha kuliner dengan bahan pangan lokal, sehat dan citarasa yang unik.

 

 

 

Pengalaman eksposur ini menjadi alternatif pekerjaan bagi mahasiswa maupun membuka lapangan pekerjaan dengan memanfaatkan potensi pangan di daerah masing-masing, apakah berkaitan dengan budidaya singkong, memanfaatkan pascapanen, bahkan mengolah bahan-bahan berbasis singkong menjadi produk siap makan. Ini saatnya anak muda berkarya! ***

 


  Bagikan artikel ini

Menggagas Pengentasan Pengangguran Anak Muda

pada hari Senin, 5 Desember 2022
oleh Lidia Dwijayanti Meike Ullo
 
Di Ndonbey, Distrik Warmare, ManokwariPapua Barat

 

Oleh Lidia Dwijayanti Meike Ullo.          

 

 

Saya, Lidia Dwijayanti Meike Ullo, seorang mahasiswa dari kampung Ndonbey, Warmare, ManokwariPapua Barat yang sedang menempuh kuliah di Yogyakarta, di kampus Universitas Teknologi Digital Indonesia, program studi Informatika. Tulisan ini merupakan hasil pemikiran panjang untuk berani mengungkapkan pengalaman ke dalam tulisan setelah saya mengikuti pelatihan Stube HEMAT Yogyakarta tentang Social Entrepreneurship, dimana saya sebagai anak muda tergerak untuk menggagas usaha bisnis untuk mengentaskan permasalahan sosial.

 

 

Anak muda adalah generasi yang membawa perubahan, namun yang terjadi di kampung saya, para pemuda justru lebih memilih untuk menikah di usia dini meskipun belum bekerja. Akhirnya mereka terpaksa putus sekolah karena menikah, di sisi lain, anak muda yang kembali dari kuliah di luar kota tidak membawa perubahan, padahal di daerah saya memiliki beragam sumber daya, artinya ada peluang yang bisa menjadi pekerjaaan. Kenyataan yang ada, dari orang-orang yang bekerjabaik petani, pengusaha, pekerja perkantoran adalah sebagian besar adalah orang dewasa. Bahkan, anak muda yang sudah menikah pun masih dibiayai oleh orang tua mereka.

 

 

Sebenarnya anak muda di distrik Warmare terampil di bidang kerajinan tangan dan pertanian, namun mereka kesulitan untuk mengembangkan kelebihan mereka karena mereka belum tahu dari mana untuk memulainyaDari situasi ini saya tertantang untuk membantu menemukan jalan keluar dari masalah tersebut dengan mengambil langkah, pertama, yaitu, berkomunikasi langsung, berdiskusi dan menganalisis potensi yang ada pada mereka, contohnya di bidang kerajinan, mereka bisa membuat noken atau tas tradisional Papua, sisir bambu, mahkota adat, hiasan rumah, beragam aksesoris kalung, gelas, anting, bando, dan produk lainnya.

 

 

 

Dari temuan-temuan ini saya memiliki ide untuk mengarahkan dan mendampingi mereka mengumpulkan potensi yang ada untuk diolah menjadi kerajinan-kerajinan yang akan dijual dengan harga yang layak. Dengan berbagai kreativitas dan kearifan lokal, produk-produk yang dihasilkan memiliki keunikan dan keunggulan tersendiri. Dari produk-produk kerajinan tangan ini saya mulai pasarkan melalui beragam cara, seperti melalui media sosial, pasar, tempat wisata, melalui jaringan pertemanan, dan pameran. Saya bekerjasama dengan para pemuda setempat, lembaga, orang-orang yang peduli, agen usaha dan pemerintah untuk mendukung kegiatan ini sehingga proses penjualan kerajinan tangan menjadi lebih mudah. Dengan cara ini produk semakin dikenal banyak orang dan peminat semakin banyak, terbukti dengan produk kerajinan tangan terjual sampai Yogyakarta, Bekasi, Cirebon dan beberapa kota lainnya.

 

Dalam proses ini, ketika ada calon pembelisaya menawarkan ke anak muda di Ndonbey siapa yang siap membuatnya. Produk yang sudah jadi akan dititipkan melalui kenalan yang akan ke Jawa, misalnya Yogyakarta dan produk dikirim ke alamat pemesan untuk menekan biaya pengiriman. Bertambahnya pembeli membuat pendapatan lebih banyak karena target pemasaran tidak hanya pada orang tua saja, tetapi bisa diterima semua kalangan dari anak-anak, remaja, pemuda dan masyarakat umum.

 

Hal ini saya lakukan bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi tetapi kepentingan bersama, khususnya untuk mengentaskan anak muda dari pengangguran di desa saya, dengan demikian saya bisa menciptakan peluang pekerjaan, mengisi kekosongan waktu dan menghasilkan produk yang bernilai jual. Harapannya dengan aksi kecil ini sedikit demi sedikit permasalahan sosial yang ada di Ndonbey bisa diselesaikan dan anak muda bisa mandiri dengan kemampuan mereka. ***

 


  Bagikan artikel ini

Berita Web

 2024 (13)
 2023 (38)
 2022 (41)
 2021 (42)
 2020 (49)
 2019 (37)
 2018 (44)
 2017 (48)
 2016 (53)
 2015 (36)
 2014 (47)
 2013 (41)
 2012 (17)
 2011 (15)
 2010 (31)
 2009 (56)
 2008 (32)

Total: 640

Kategori

Semua  

Youtube Channel

Official Facebook