Apakah yang terbersit dalam pikiran ketika membayangkan rumah untuk tinggal? Material? Biayanya? Modelnya? Siapa yang mengerjakan? atau lainnya? Pernahkah berpikir mengenai konsep rumah aman dan nyaman dengan biaya terjangkau? Konsep rumah ekonomis tanpa membuat dompet menipis dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar, tentu menarik bukan?
Stube HEMAT Yogyakarta bersama beberapa mahasiswa mengunjungi sebuah rumah di Tamanmartani, Kalasan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memperkaya pengetahuan dan wawasan mahasiswa tentang infrastruktur yang tangguh. Para mahasiswa bertemu langsung dengan Iswanti Suparma, pemilik rumah dengan model tidak biasa, berbeda dari rumah biasa dijumpai di Indonesia, yaitu rumah Earthbag Roundhouse (Sabtu, 6 Mei 2023).
Rumah ini bermula dari keinginan seorang Iswanti yang tahu kondisi tempat tanahnya rawan bencana alam, seperti gempa bumi. Ia mencari cara bagaimana membangun rumah di kawasan rawan gempa, namun rumahnya tak sekedar berdiri tapi juga nyaman ditinggali. Ia mencari-cari literatur termasuk di internet hingga menemukan konsep bangunan yang disebut bangunan tahan gempa, yaitu SuperAdobe atau rumah berbasis sumber daya lokal. SuperAdobe ini dirancang oleh seorang arsitek berdarah Iran-Amerika Nader Khalili. Iswanti mengadopsi konsep ini untuk rumahnya yang berbentuk bulat dan terbuat dari tanah dan unsur lain, seperti pasir, tanah liat yang ditumpukkan dalam karung panjang dan disusun melingkar hingga membentuk dinding rumah.
Model rumah dan material yang tak biasa menggugah rasa penasaran masyarakat, bahkan tukang bangunan pun tidak pernah mengerjakan rumah seperti ini sebelumnya. Butuh waktu bagi Iswanti untuk meyakinkan para tukang dan ia memberikan pemahaman kepada mereka untuk memahami konsep bangunan melalui beragam cara, dari berdiskusi sampai belajar dari video-video tentang bangunan sejenis. Material utama dalam konstruksi ini adalah karung panjang, tanah, kawat berduri, kotoran sapi steril dan dolomit. Untuk membuat satu lapis dinding butuh karung sepanjang 24 meter, sedangkan dinding setinggi 1 meter butuh 6 lapis karung atau karung sepanjang 144 meter. Jadi untuk membangun satu rumah setinggi 8 meter perlu 1.152 meter. Rumah berbentuk bundar dengan atap kerucut adaptif terhadap angin dan cenderung aman ketika gempa terjadi karena distribusi beban dialirkan ke segala arah dan materialnya tidak kaku. Keunikan lain rumah ini adalah penggunaan aksesoris barang-barang bekas, seperti botol bekas, kayu bekas, sisa buis beton dan ranting pohon untuk menambah estetika rumah. Proses pembangunan dua bangunan rumah berlangsung selama tiga tahun sampai siap huni.
Peserta antusias untuk melihat dan berkeliling rumah tersebut dan menemukan banyak pertanyaan. Iswanti mengakui bahwa pembangunan rumah ini sebenarnya tidaklah mahal, “Konsep bangunan rumah ini tidak membutuhkan uang banyak karena material tidak harus membeli di toko bangunan dan bisa dilakukan siapa saja dan bukan tukang profesional,” ungkapnya. Perjumpaan mahasiswa dengan Iswanti dan earthbag roundhouse memancing imajinasi peserta untuk menemukan desain rumah yang berbeda dan unik tetapi ekonomis dan tahan (resilient) terhadap ancaman bencana.
Kesiapan rumah atau tempat hunian yang aman dan nyaman adalah bentuk kepedulian kita untuk keberlanjutan kehidupan, oleh karena itu, seperti apakah rumah impianmu? Berani beda? Ciptakan rumah impianmu yang nyaman, kuat dan tangguh tanpa meninggalkan kekayaan potensi lokal di sekitar kita.***