Temu Nasional Lintas Iman dan Budaya
Menyemai Perdamaian Merajut Ke-Bhinneka-an
Memiliki keragaman suku bangsa, bahasa, budaya dan agama merupakan kekayaan yang tak ternilai dan perlu terus dipertahankan oleh Indonesia. Namun demikian, keragaman ini bukan tanpa tantangan karena dengan berkembangnya budaya populer, konsumerisme, hedonisme dan fanatisme sempit menjadi tantangan bangsa ini. Selain itu ketidakpedulian terhadap lingkungan ikut ambil bagian di dalamnya.
Kenyataan ini harus disadari oleh seluruh elemen anak bangsa. Salah satu cara dalam memelihara keragaman dan kekayaan ini melalui kebersamaan menggelorakan semangat multikultur melalui karya nyata yang diwujudkan dalam acara Temu Nasional Lintas Iman dan Budaya.
Stube-HEMAT Yogyakarta sebagai wadah pendampingan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia ikut ambil bagian dalam acara Apel Kebangsaan Kaum Muda Multikultur di Alun-Alun Klaten, Indonesia Interreligious Carnival dari Alun-Alun sampai Monumen Juang 45 Klaten, dengan mengutus satu grup ke-Bhinneka-an dalam karnaval yang mengawali acara tersebut dua hari sebelumnya.
Temu Nasional Lintas Iman dan Budaya 2016 diselenggarakan oleh Forum Kebersamaan Umat Beriman Klaten dan diadakan di Rumah Retreat Panti Semedi Klaten 14 – 16 November 2016 bertema Menyemai Perdamaian dan Merajut Ke-Bhinneka-an untuk Indonesia yang Semakin Beradab dan Berkeadilan melalui Kearifan Budaya Lokal. Acara ini diikuti peserta dari jaringan lintas iman yang berasal dari berbagai kabupaten dan kota dari sembilan propinsi di Indonesia. Mereka terdiri dari anak muda dan dewasa, santri, anak muda Katholik dan Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan penghayat Kepercayaan. Para pendeta, romo pastor, ulama dan bhikkhu terlibat aktif di dalamnya, juga tak ketinggalan tokoh-tokoh dan aktivis kemanusiaan, lingkungan dan kerukunan dan perdamaian serta berbagai komunitas lainnya. Stube HEMAT Yogyakarta mengutus Trustha Rembaka, koordinator Jogja dan Sarloce Apang, salah satu tim kerja untuk menghadiri pertemuan tersebut.
Dalam refleksi bertema Menyemai Perdamaian di Tengah Perkembangan Gerakan Multikultural melalui Kearifan Budaya Lokal dalam Rajutan Ke-Bhinneka-an, Letkol Caj. Drs. Anak Agung Ketut Darmaja (Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Jawa Tengah) menegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar negara digali dari nilai-nilai lokal bangsa Indonesia. Itulah bukti pentingnya keseimbangan pemahaman iman dan pemahaman kebangsaan yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dr. Prajarta dari Yayasan PERCIK mengungkapkan bahwa pengalaman otentik seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain, khususnya yang berbeda latar belakang akan membentuk sikap dan cara pandangnya terhadap keberagaman. Saat ini telah terjadi kapling-kapling berdasar agama bahkan sudah terjadi sejak anak-anak di sekolah-sekolah.
Romo Aloysius Budi Purnomo, Pr (ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang) menyampaikan pengalamannya berinteraksi lintas iman dan budaya, khususnya di kawasan Jawa Tengah. Ia berpendapat bahwa setiap orang harus ‘melek terhadap agama lain,’ artinya dalam menyikapi keberagaman harus dilandasi pikiran positif dan dalam tindakannya menyentuh sampai pada grass-root, tidak hanya pada tataran pengurus atau berhenti dalam forum saja.
Pdt. Penrad Siagian, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan PGI, memaparkan fenomena sekarang ketika seseorang melihat agama lain dari sudut pandang agamanya, sehingga mudah baginya untuk menilai agama lain itu ‘kafir.’ Negara harus tegas terhadap gerakan-gerakan intoleran dan negara harus bertindak nyata untuk menegakkan regulasi yang ada. Selain itu, Pdt Penrad juga mengingatkan berkembangnya teknologi memudahkan isu trans-nasional mempengaruhi relasi interaksi antar agama di Indonesia. Karena itu penguatan nilai-nilai lokal perlu dilakukan secara berkelanjutan.
KH Imam Aziz, ketua bidang Kebudayaan dan Hubungan antar Umat Beragama PBNU mengingatkan kita semua untuk kembali pada kesalehan pribadi yang diwujudkan dalam kehidupan, diawali dari dalam keluarga. Kesalehan akan tampak ketika ada kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Hal penting lainnya menurut beliau adalah bersih diri, mengakui keberadaan orang lain (sesama) dan berkontribusi untuk masyarakat.
Di sesi reflektif bertema Menjaga Kelestarian Alam melalui Kearifan Lokal untuk Menjaga Bumi sebagai Rumah Bersama bagi Semua Makhluk, pengasuh Padepokan Agung Sanghyang Jati, Bhante Dhamma Tejo Thera mengungkapkan bahwa manusia harus kembali pada pepatah Eling lan Waspada, bahwa manusia bertanggungjawab atas kelestarian semesta dan seisinya, jika manusia tidak bisa menjaganya, maka alam menyeimbangkan dirinya sendiri, dan manusia menganggap itu sebagai bencana. Pengalaman beliau ketika pertama datang ke Gunung Selok di Cilacap, tempat itu gersang. Beliau menginisiasi penanaman ribuan mahoni dan perlahan namun pasti tempat itu kembali menghijau dan menarik untuk dikunjungi.
Muhammad Al-Fayyadl, aktivis muda yang lahir di Paiton Jawa Timur menyampaikan Islam dan ekologi, berefleksi dengan pertanyaan, apakah kita memiliki hubungan dengan alam? Bagaimana hubungan kita dengan alam? Hal ini menjadi menarik karena kita diajak untuk merenungkan kembali antara kita dan alam apakah eksploitatif atau saling bergantung (melestarikan). Ia juga mengingatkan kekayaan alam yang ada di Indonesia dalam pemanfaatannya jangan sampai membawa bencana dan masyarakat tidak sejahtera.
Di akhir acara ini peserta bersafari ziarah ke makam tokoh spiritual berbagai agama seperti makam Pandanaran, gua Maria Marganingsih dan candi Prambanan sebagai wujud kebersamaan dan mengenal relasi antar iman. Indonesia, tetaplah ber-Bhinneka Tunggal Ika. (TRU)