Tingkatkan Kedisiplinan Prokes Pengunjung

pada hari Kamis, 24 Desember 2020
oleh Wilton P.D. Ama

 

(Alam dan Lingkungan di Kawasan Wisata Goa Gong, Pacitan)

 

Goa Gong merupakan kawasan wisata lindung yang diakui UNESCO sejak 2015. Setiap kawasan lindung pasti menerapkan prosedur pentingnya menjaga kebersihan alam dan lingkungannya. Akan tetapi semua itu kembali pada kesadaran setiap orang untuk melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Etika dalam menjaga kawasan lindung agar tetap nyaman dan bersih penting diterapkan. Memasang tulisan pada papan atau baliho dan menyediakan tempat penampungan sampah merupakan salah satu cara sederhana yang dapat dilakukan. Ditempatkan pada beberapa titik yang mudah dilihat setiap pengunjung. Hal ini seperti yang telah dilakukan di kawasan wisata Goa Gong, Pacitan. Kebersihan merupakan salah satu indikator kesehatan yang penting diterapkan. Hal ini sejalan dengan workshop program Health Problem yang diadakan Stube-HEMAT Yogyakarta yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya kebersihan lingkungan dan menjaga pola hidup sehat.

 

 

 

 

Lingkungan yang bersih akan menstimulasi alam yang indah. Selain lingkungan yang bersih, tumbuhnya beragam jenis tanaman dan pohon akan memberi dampak positif terhadap alam dan lingkungan sekitarnya. Keindahan alam yang hijau akan menstimulasi energi positif bagi setiap orang, khususnya pengunjung yang datang sebagai wisatawan di Goa Gong. Kondisi geografis dan alam yang berbukit dan ditumbuhi beragam jenis tumbuhan menambah asri kawasan ini.

 

 

Dalam masa pandemi Covid-19, salah satu protokol kesehatan yang diterapkan oleh petugas wisata Goa Gong dengan menyediakan sarung tangan bagi setiap pengunjung yang datang, selain cuci tangan dan cek temperatur tubuh. Akan tetapi, jaga jarak antara pengunjung masih belum dapat ditegakkan secara disiplin, meskipun beberapa kali petugas mengingatkannya. Hal ini terjadi karena minimnya kesadaran pengunjung, bahkan di antara mereka bersenda gurau dan menyanyi tanpa mengenakan masker. Hal ini patut mendapat perhatian karena akan menjadi masalah kesehatan yang memberi dampak negatif bagi masyarakat banyak.

 

 

 

Kesadaran diri dan peka terhadap situasi alam dan lingkungan adalah perihal yang mungkin sulit diterapkan bagi setiap orang. Berekreasi dan kunjungan kenali alam memberi kesempatan manusia belajar bahwa lingkungan yang bersih akan memberi energi positif dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Alam tidak dapat bicara seperti layaknya manusia, akan tetapi ia dapat menunjukkan keindahannya sehingga manusia dapat menyadari betapa pentingnya alam dan lingkungan untuk kehidupan. ***


  Bagikan artikel ini

Saling Menopang Ekonomi Selama Pandemi

pada hari Rabu, 23 Desember 2020
oleh Thomas Yulianto

Tidak dapat dipungkiri hampir satu tahun pandemi Covid-19 ini berlangsung di Indonesia. Bahkan di bulan Desember belum ada penurunan angka pasien Covid-19, justru sebaliknya angka menunjukan peningkatan. Kesempatan mengunjungsi desa wisata Goa Gong dan pantai Klayar di daerah Pacitan, Jawa Timur di saat pandemi, memberi kesempatan penulis untuk mengamati bagaimana masyarakat menyikapinya.

 

Goa Gong dan Pantai Klayar termasuk tempat wisata yang diakui UNESCO sejak tahun 2015, sehingga animo pengunjungnya termasuk tinggi. Sejak pandemi merebak, tempat-tempat wisata ditutup sehingga ekonomi para pelaku usaha sekitar kawasan wisata turun drastis, mulai dari retribusi masuk lokasi, parkir, para pedagang, pemandu wisata sampai para pengusaha toilet. Salah satu  pedagang akik di kawasan Goa Gong bercerita bahwa awalnya pendapatan mereka terhitung cukup untuk makan, tetapi saat pandemi pendapatan mereka terjun bebas, bahkan tanpa hasil. Namun tidak ada pilihan lain selain menunggu wisatawan datang lagi dan membeli barang dagangan mereka.

 

Kawasan Pantai Klayar menyuguhkan keindahan pantainya. Banyak masyarakat sekitar bekerja sebagai ojek pantai yang mengangkut penumpang dari pinggir pantai sampai pintu keluar yang cukup jauh dan menanjak. Saat pandemi ini lebih banyak tukang ojek pantai dibandingkan dengan wisatawan yang datang. Jelas bahwa pendapatan mereka sangat berkurang. Seorang tukang ojek pantai bercerita bahwa dirinya belum mendapatkan penumpang satu pun Satu hal yang perlu diacungi jempol yakni mereka tidak menyerah dan yakin bahwa rezeki sudah ada yang mengatur. Sebenarnya bukan hanya mereka yang berada di kawasan pantai ataupun goa yang terdampak pandemi dalam hal ekonomi. Banyak orang yang terdampak secara ekonomi akibat pandemi karena terkena pengurangan karyawan di tempat kerja, tidak memiliki pekerjaan tetap bahkan sampai kepada petani dengan turunnya daya beli masyarakat.

Dengan observasi dan pengamatan lapangan, timbul sebuah refleksi sendiri bagi penulis bahwa perlu empati dan tindakan untuk saling menopang secara ekonomi dengan cara membeli barang dagangan atau menggunakan jasa yang ditawarkan. Mari kita berbagi dengan tidak hanya mempertimbangkan kebutuhan kita semata, namun saling menghidupi satu dengan lainnya, supaya tercapai keseimbangan. “Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan, dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan,” (2 Korintus 8: 15). ***


  Bagikan artikel ini

Menjaga Sesama di Kawasan Wisata

pada hari Selasa, 22 Desember 2020
oleh Trustha Rembaka
(Observasi Terapan Prosedur Kesehatan di Goa Gong, Pacitan)

 

 

Permasalahan kesehatan di Indonesia saat ini tidak lepas dari realita pandemi Covid 19 yang masih terjadi. Pandemi memukul berbagai bidang aktivitas masyarakat, dari pemerintahan, pendidikan, ekonomi, keagamaan, perdagangan termasuk pariwisata. Pemerintah dengan beragam kebijakan mengupayakan setiap bidang kembali berjalan dan masyarakat pun berusaha bangkit dengan memanfaatkan potensi yang mereka miliki. Sejak pertengahan tahun pemerintah mengkampanyekan new normal sebagai respon untuk menjalani hidup dengan pola baru, antara lain penerapan protokol kesehatan secara pribadi, di tempat kerja maupun di tempat umum demi menggerakkan kehidupan masyarakat itu sendiri.

 

 

 

 

 

Berdasar amatan yang dilakukan dalam eksposur atau kunjungan belajar sebagai bagian program Health Problems in Indonesia yang dilakukan di Goa Gong di kabupaten Pacitan, Jawa Timur (19/12/2020) diketahui bahwa goa yang terletak di desa Bomo, kecamatan Punung, kabupaten Pacitan merupakan bagian dari Global Geopark Network yang ditetapkan UNESCO tahun 2015. Kawasan Geopark sendiri membentang di tiga daerah, yaitu kabupaten Gunungkidul (DIY), kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) dan kabupaten Pacitan (Jawa Timur), dan khusus di Pacitan sendiri berupa goa, pantai dan situs arkeologi.

 

 

Mempertimbangkan bahwa goa termasuk dalam kawasan resiko tinggi paparan Covid-19, sehingga wisata di goa Gong menuntut kesiapan dan perlakukan khusus demi keselamatan dan keamanan pengunjung dan pengelola dari paparan Covid-19. Potensi paparan ini karena adanya kumpulan pengunjung dan sentuhan pada pagar dan batuan yang ada di jalur pengunjung dalam goa sehingga pengelola wisata mengupayakan penerapan secara serius protokol kesehatan dengan beberapa kebijakan baru seperti wajib menggunakan sarung tangan, didampingi oleh pemandu wisata, membatasi jumlah pengunjung per kelompok, mengatur jarak masuk per kelompok dan membatasi durasi kunjungan di dalam goa.

 

 

Selain kebijakan di atas pengelola kawasan wisata juga sudah melengkapi area wisata dengan: 1) memasang informasi penerapan protokol kesehatan di kawasan wisata berupa papan peringatan, spanduk dan poster di beberapa sudut kawasan; 2)  Menyiapkan tahapan pemeriksaan kesehatan dari penggunaan sarung tangan untuk pengunjung, mengecek suhu tubuh, penggunaan masker, dan mengatur jumlah anggota per kelompok; 3) Menyediakan fasilitas untuk menjaga kebersihan dan kesehatan, dari tempat cuci tangan dan ketersediaan air yang cukup bahkan hampir di setiap kios yang menjajakan cinderamata menyediakan fasilitas cuci tangan, tempat sampah sesuai jenis sampah dan pembersihan fasilitas secara rutin oleh pengelola; 4) Peran pemandu yang tidak lelah mengingatkan pengunjung untuk menjaga protokol kesehatan selain menjelaskan spot-spot dalam goa dan beragam cerita di dalamnya.

 

 

Temuan-temuan ini menunjukkan kesiapan secara serius oleh pengelola dan pihak-pihak yang terlibat di kawasan wisata Goa Gong dalam menerapkan protokol kesehatan. Hal ini seharusnya diimbangi oleh para pengunjung untuk berperilaku sehat selama kunjungan. Namun demikian pelaksanaan protokol kesehatan di kawasan Goa Gong ini menyisakan masalah baru yang harus dipikirkan secara serius oleh pengelola, yaitu limbah sarung tangan. Betapa tidak, karena dengan kehadiran lima ratus pengunjung per hari akan meninggalkan limbah seribu sarung tangan bekas per hari.

 

 

 

 

Harapannya dengan temuan-temuan ini membuka optimisme masyarakat untuk terus konsisten dalam menerapkan hidup baru berbasis pola hidup bersih dan sehat sehingga kesehatan masyarakat yang lebih baik dapat terwujud dan keberadaan Goa Gong sebagai anugerah Tuhan berupa warisan geologi yang sangat berharga dapat menghadirkan kesejahteraan untuk masyarakat.***


  Bagikan artikel ini

Perempuan Mandiri di Tengah Pandemi

pada hari Senin, 21 Desember 2020
oleh Putri Nirmala Valentina Laoli

Menyusuri Goa Gong di tengah pandemi, bukan hanya mengagumi keindahan stalaktit dan stalakmit, tirai batu yang menjadi marmer, kristal, dan sendang’ (sumber mata air), tetapi juga menghidupkan kembali geliat wisata sebagai mata pencaharian penduduk setempat. Dua puluh lima menit susur goa sambil menggali pergumulan hidup seorang ibu yang berprofesi sebagai tour guide lokal saat pariwisata sedang mati suri.

 

Persoalan pandemi Covid-19 di Indonesia telah mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung berbagai aktivitas masyarakat di berbagai bidang. Salah satu pengaruh yang sangat berdampak yaitu penutupan hampir seluruh sektor pariwisata yang selama ini menjadi sumber pendapatan masyarakat di wilayah tersebut. Demikian pula yang terjadi di tempat wisata Goa Gong di Desa Bomo, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Sebelum dilanda Covid-19, animo pengunjung cukup tinggi sehinga para pramuwisata memiliki kesempatan untuk memandu wisatawan. Dari sinilah mereka memperoleh pendapatan. Namun sejak Maret 2020, Goa Gong ditutup untuk kunjungan wisatawan, oleh karena itu masyarakat yang tadinya memiliki peran atau aktivitas ekonomi di sekitar wisata tersebut lantas tidak dapat bertahan.

 

 

Berdasarkan wawancara dengan salah seorang pemandu wisata, ada 26 orang pramuwisata dengan komposisi perempuan 16 orang dan 8 orang laki-laki. Ibu-ibu yang menjadi pramuwisata di Goa Gong bekerja untuk membantu kestabilan perekonomian keluarga dan mereka mendapat dukungan penuh dari keluarga sehingga bisa konsentrasi dan profesional saat bekerja memandu para wisatawan. Mereka juga melakukannya dengan senang dan semangat karena dapat berinteraksi dengan masyarakat yang berasal dari berbagai daerah bahkan luar negeri.

 

Pemerintah terus berupaya menerapkan solusi-solusi yang dapat menyeimbangkan berjalannya roda perekonomian masyarakat sekaligus dapat meminimalisir penyebaran Covid-19. Hingga diterapkannya model New Normal yang berpandangan bahwa dengan mematuhi protokol kesehatan, masyarakat dapat beraktivitas seperti sedia kala namun dengan batas-batas tertentu seperti kuota kerumunan serta penyediaan fasilitas untuk menjalankan protokol kesehatan. Akses ke tempat-tempat pariwisata mulai dibuka kembali dengan memperketat penerapan protokol kesehatan.

 

Faktanya, kebijakan New Normal tidak dapat serta merta mengembalikan tatanan kehidupan seperti semula. Namun membantu secara pelan memulihkan sektor-sektor yang tadinya sempat melemah meskipun membutuhkan waktu. Demikian juga dengan wisata Goa Gong yang sudah mulai dibuka sejak September 2020, meskipun sebatas untuk para pengunjung lokal. Jumlah pengunjung tergolong masih rendah sementara kesediaan tour guide masih sama sebelum Covid-19. Salah seorang ibu  pramuwisata mengatakan bahwa disaat sepi seperti ini dia harus cari kerja tambahan, dia bekerja di tempat pembuatan jamu. “Ya bagaimana lagi ya Mbak, yang penting keluarga sehat dan bisa makan, imbuhnya. Ini merupakan perwujudan perjuangan perempuan agar dapat bertahan hidup meski harus berhadapan dengan ganasnya penyebaran Covid-19. Hidup perempuan pekerja!***


  Bagikan artikel ini

Memperhatikan Ibu dan Bayi, Memperhatikan Kehidupan

pada hari Senin, 14 Desember 2020
oleh Kresensia Risna Efrieno

Pemetaan masalah Kesehatan di Indonesia

Masalah kesehatan masih menjadi keprihatinan di Indonesia, bahkan bisa dikatakan rentan, karena dari hal yang sepele bisa mengancam nyawa manusia jika tidak ditangani dengan baik, apalagi di daerah terpencil dan terbatas layanan kesehatannya. Beragam masalah kesehatan ini muncul dari beragam kondisi geografis Indonesia, termasuk kabupaten Manggarai, propinsi Nusa Tenggara Timur tempat saya tinggal.

 

Salah satu masalah yang menjadi perhatian saya adalah kematian ibu dan bayi. Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai tahun 2018 menyatakan bahwa salah satu masalah adalah kematian Ibu dan Bayi, serta gizi buruk. Beberapa kendala mengatasi masalah tersebut mencakup SDM tenaga kesehatan terbatas, kondisi geografis wilayah, budaya, distribusi tenaga kesehatan belum merata, pelaksanaan SOP di faskes tingkat pertama (FKTP) belum optimal, anggaran kesehatan dan terbatasnya alat kesehatan yang berkualitas. SDM bidang kesehatan terbatas mulai dari kuantitas, kualitas, jenis dan distribusi tenaga dokter umum, tenaga ahli gizi, apoteker, analisis kesehatan, dll. Keterbatasan ini menghambat pelayanan kesehatan bahkan tenaga kesehatan yang ada kewalahan karena menjalankan beberapa tugas bersamaan sehingga pekerjaan terbengkalai atau keterlambatan penanganan pasien.

Langkah apa yang harus dilakukan? Penanganan baik dimulai dengan memetakan faktor yang berkaitan dengan masalah tersebut, khususnya di Manggarai. Pertama, peningkatan SDM kesehatan melalui pendidikan dan pelatihan teknis dalam bidang kesehatan termasuk pemerataan tenaga kesehatan di Manggarai, terutama daerah yang terpencil dan sulit terjangkau demi ketersediaan layanan pertama untuk pasien terutama ibu hamil dan melahirkan.

Ini tidak mudah dan perlu intervensi pemerintah karena tidak setiap orang siap berada di daerah terpencil, ada usaha Pemerintah meningkatkan kesehatan melalui program Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan serta daerah Bermasalah Kesehatan, yang terdiri dari tenaga profesional dokter, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium medis, tenaga gizi dan tenaga kefarmasian. Tahun 2017 Manggarai mendapat dua puluh dua tenaga kesehatan dari Nusantara Sehat dan didistribusikan di 4 puskesmas: Wae Kajong, Reo, Bea Mese dan Iteng yang terdiri dari dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, apoteker, sanitarian dan tenaga gizi berdasar kebutuhan puskesmas (kupang.tribunnews.com/2017/09/07/22-tenaga-kesehatan-tim-nusantara-sehat-bertugas-di-kabupaten-manggarai). Lalu, mengapa kematian ibu dan bayi masih rentan terjadi? Faktor lain yang berkaitan erat adalah keluarga sebagai lingkaran pertama dari ibu dan calon bayi, yang mengkondisikan, mengupayakan keselamatan  dan keamaan dan menjamin ketersediaan kebutuhan ibu dan calon bayi dari saat mengandung, melahirkan dan pasca melahirkan. Namun kondisi keluarga itu sendiri sangat beragam, tingkat pendidikan dan kesadaran diri, bagaimana mencukupi kebutuhan hidup ditambah faktor budaya dan geografis. Di sinilah perlu edukasi kesehatan untuk keluarga, tidak saja ibu yang mengadung dan suaminya, tapi juga keluarga besar.

Gereja bisa dilibatkan dalam peningkatan kualitas kesehatan. Apakah gereja sudah memperhatikan dan terlibat dalam penanganan masalah kesehatan warga dan masyarakat? Gereja adalah wadah yang bertanggungjawab dalam pelayanan, perlu berperan dalam kesehatan misalnya bisa melalui kotbah tentang kesehatan berdasarkan ajaran agama dan Alkitab, sosialisasi tentang kesehatan karena ini juga sebagai upaya menjaga dan merawat diri sebagai makhluk Tuhan yang mulia dan berakal budi. Alternatif lain bisa berupa pemantauan kesehatan jemaat secara rutin dan usaha peningkatan gizi jemaat. Sehingga gereja tidak hanya ibadah saja tetapi lebih dari itu sebagai wujud cinta kasih utuh dari Gereja terhadap umatnya.

 

Masalah kesehatan menjadi tangung jawab bersama, pemerintah melalui bidang kesehatan, kesadaran individu yang bergerak di kesehatan, perilaku individu di keluarga dan masyarakat dan institusi lain yang memberi perhatian terhadap masalah sosial ini. Dari temuan pemasalahan kematian ibu dan bayi di sekitar saya tinggal membuat saya lebih sadar dan memperlengkapi diri dalam mewujudkan kesadaran kesehatan baik diri sendiri, keluarga maupun lingkungan tempat saya tinggal dan terus berpartisipasi untuk Manggarai yang lebih baik.***


  Bagikan artikel ini

RW 19 Nyutran: Kampung Tangguh Covid 19

pada hari Senin, 7 Desember 2020
oleh Trustha Rembaka

 

Terus melonjaknya kasus paparan Covid 19, menjadi sebuah keprihatinan tersendiri masyarakat Yogyakarta khususnya warga RW 19. Covid 19 bahkan sudah sampai di depan mata ada di sekitar masyarakat. Dengan menyadari bahwa penanganan melawan Covid 19 tidak bisa sepenuhnya bergantung pada tenaga kesehatan, tetapi masyarakat juga harus terlibat aktif dalam level pencegahan dan pemberian informasi sebagai langkah penanganan. Kesadaran warga dan semangat terus mencari informasi berkaitan Covid 19 bersambut baik dengan Stube HEMAT Yogyakarta melalui program Health Problems in Indonesia. Stube HEMAT menginisiasi dialog dan edukasi kepada masyarakat, sebagai kontribusi dalam pembangunan masyarakat khususnya bidang kesehatan berkaitan dengan pandemik Covid 19. Dialog secara virtual ini diikuti oleh pengurus RW dan anggota tim Satgas Covid kampung Nyutran RW 19 tentang Desa/Kampung Tangguh Covid 19 bersama Endro Sambodo dari Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD DIY pada hari Minggu (6/12/2020).

 

 

Dalam pembukaan Ariani Narwastujati, Direktur Eksekutif Stube HEMAT sekaligus moderator mengungkapkan bahwa topik ini dipilih untuk menjawab tantangan dan permasalahan yang terjadi sehari-hari dalam masyarakat mewujudkan kampung tangguh Covid 19. Ketua Satgas Covid RW 19, Didiet Raditya Hadi menyambut baik kegiatan ini dan berterima kasih kepada narasumber yang sudah meluangkan waktu dalam dialog virtual yang baru pertama kali dilakukan selama pandemi dan berharap pertemuan ini bermanfaat untuk masyarakat khususnya warga RW 19 untuk tahu hal-hal berkaitan kampung tangguh Covid 19.

 

Endro Sambodo dalam pemaparan materi mengingatkan pentingnya desa/kampung tangguh Covid 19 karena wabah pandemik di wilayah DIY terus meningkat. Ini membutuhkan peran serta masyarakat dari tingkat RT/RW untuk segera memberdayakan diri sehingga masyarakat sigap bertindak apabila wabah mulai masuk ke wilayahnya. Dengan kesigapan masyarakat setempat merespon wabah maka penanganan bisa dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga rantai penularan dapat diputus dan mencegah paparan lebih banyak. Berkaitan dengan Desa/kampung Tangguh Covid 19, Endro mengungkapkan langkah-langkah yang mesti dipenuhi, yaitu: 1) pengurus kampung memiliki sistem komunikasi warga melalui Whatsapp, sms atau aplikasi komunikasi lainnya. 2) peraturan yang harus dilaksanakan untuk keselamatan warga, terutama terkait berkumpulnya warga, acara-acara khusus, adanya pendatang atau pemudik, termasuk kesepakatan sanksi yang disetujui bersama. 3) membuat komunikasi yang cepat apabila terjadi insiden apa pun di wilayahnya. 4) Menunjuk warga atau meminta kesukarelaan warga menjadi penanggung jawab bidang yang dibutuhkan. 5) membentuk bidang komunikasi, kesehatan, operasi, logistik dan keamanan. Catatan penting lainnya adalah mencegah stigma sosial untuk melindungi orang yang terpapar Covid, bahwa terpapar Covid bukanlah aib.

 

 

Endar Hidayati, ketua RW 19 mengungkapkan “Dialog ini bagus sekali untuk membuka wasasan kami sebagai pengurus kampung Nyutran menjadi kampung tangguh Covid, adanya pengetahuan baru ini menjadi referensi kita untuk menyiapkan langkah-langkah tindak lanjut untuk lebih sigap dan sadar menghadapi Covid yang tidak tampak tapi sebenarnya ada.” Harapannya pengalaman dalam dialog edukasi ini menjadi nilai tambah bagi setiap peserta dan bekal baru dalam mewujudkan masyarakat yang tangguh dalam menghadapi pandemi Covid 19. Terus guyub rukun saklawase, Bravo RW 19.***




  Bagikan artikel ini

Anak Muda dan Masalah Psikososial

pada hari Minggu, 6 Desember 2020
oleh Putri N V. Laoli

 

 

Mental health dengan topik ‘Masalah Psikososial Orang Muda’ menjadi bagian pelatihan Health Problems in Indonesia yang diadakan Stube-HEMAT Yogyakarta melalui diskusi virtual pada 5 Desember 2020. Dua puluh peserta mahasiswa beragam latar belakang studi di Yogyakarta dan luar Yogyakarta seperti Sumba, Lampung, Nias, Flores, Bangka, Maluku, dan Cilacap, ini memperkaya diskusi yang mengundang Yosef Andre Beo sebagai narasumber. Andre sangat mengenal Stube HEMAT karena pernah aktif di lembaga ini ketika kuliah di Yogyakarta. Saat ini nara sumber sedang menyelesaikan Magister Keperawatan Jiwa di Universitas Brawijaya Malang.

 

Dalam pemaparannya, nara sumber mengungkapkan bahwa masalah-masalah psikososial dapat dilihat dalam wujud kecemasan, keputusasaan, ketidakberdayaan, merasa terbebani, kesepian, gangguan citra tubuh, dan mengeluh secara terus menerus. Di saat pandemi dengan imbauan physical distancing dan study from home menyebabkan seseorang tidak bisa beraktivitas seperti biasa, dan ini rentan untuk remaja maupun dewasa awal, karena secara psikososial mereka masih labil sehingga rentan memicu depresi dan ganggunan mental, seperti kejadian yang dilansir dari kompas.com 18/10/2020 bahwa seorang siswi SMA di Gowa, Sulawesi Selatan bunuh diri akibat depresi dengan banyaknya tugas-tugas daring dan sulitnya mengakses internet.

 

 

Lebih lanjut, perkembangan psikologis seseorang melalui fase (1) usia toddler/golden age (1-3 tahun), fase di mana seseorang belajar mandiri atau berperasaan malu dan ragu-ragu. Di masa ini orang tua dianjurkan untuk tidak terlalu membatasi ruang gerak serta kemandiriannya agar tidak berketergantungan. (2) usia pra sekolah (3-5 tahun), fase dimana rasa ingin tahu dan antusiasme mempelajari hal baru begitu dominan. Jika anak jarang mendapat stimulasi baik maka ia akan merasa bersalah dan gagal, karena di fase ini anak sedang membentuk konsep dirinya. (3) usia sekolah (6-12 tahun) anak belajar berinteraksi dengan teman-temannya maupun gurunya. Jika anak memiliki ruang berekspresi maka ia terampil secara sosial dan akademik untuk merasa percaya diri, namun sebaliknya jika gagal mengembangkan diri, mereka akan merasa inferior atau rendah diri dan tidak bisa melihat sisi baik diri mereka. (4) usia remaja (12-18 tahun) remaja dapat menunjukkan peran dan bergaul dengan mengadopsi nilai kelompok dan lingkungannya dan dapat mengambil keputusannya sendiri. Kejelasan identitas diperoleh apabila ada apresiasi dari orangtua atau lingkungan yang membantunya melalui proses pencarian identitas diri. Ketidakmampuan dalam mengatasi suatu konflik dapat menimbulkan kerancuan peran. (5) usia dewasa (18-40 tahun) ketika seseorang sudah memiliki komitmen dan selektif untuk menjalin suatu hubungan dengan orang lain, namun jika mengalami kegagalan maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam berinteraksi dengan orang, bahkan mengisolasikan diri.

 

Dalam diskusi interaktif ini beberapa peserta menceritakan ulang masa kecilnya dan merefleksikan adanya standar-standar sosial tertentu yang ia alami dan yang tentu berbeda dengan remaja di daerah lain. Standar-standar sosial ini sangat mempengaruhi proses tumbuh kembang mereka baik di dalam keluarga maupun di masyarakat, dan belum tentu mereka mampu bagaimana mengelola situasi stress atau perlakuan yang akan dihadapi di masa mendatang. Beberapa pengalaman yang terungkap antara lain masa kecil yang lebih dekat dengan Ibu dan cenderung suka memberontak, ada yang mengaku lebih nyaman untuk berinteraksi dengan teman laki-laki dibanding dengan teman perempuan, lebih nyaman ketika berpenampilan tomboy, menanggapi secara emosi atas tindakan bullying yang ia alami, ada juga kesaksian hampir mengalami kekerasan seksual dari orang terdekatnya yang membuatnya merasa rendah diri.

Andre mengatakan bahwa mereka yang telah berani menceritakan pengalaman-pengalaman ini membuktikan bahwa adanya keberanian menghadapi masa lalu, berdamai dengan diri sendiri maupun keadaan dan kemauan untuk memperbaiki diri. Inilah poin positif yang sangat luar biasa dimiliki oleh mereka. Beberapa strategi kunci dalam mengatasi masalah psikososial di atas ialah dengan refleksi diri, meningkatkan spiritual, membangun support sistem dan mendapat bantuan tenaga profesional. Sangat bermanfaat jika teman-teman mahasiswa yang sudah memahami hal ini membantu teman sebaya mengurai pengalaman-pengalaman masa lalunya dan membangun optimismenya ke depan.***


  Bagikan artikel ini

Menggagas Solusi Masalah Kesehatan di Nias

pada hari Selasa, 17 November 2020
oleh Putri N.V. Laoli

 

 

Rangkaian pelatihan tentang Masalah Kesehatan di Indonesia yang diadakan oleh Stube HEMAT Yogyakarta benar-benar mendorong saya untuk melihat kembali realitas di kampung halaman saya di Nias, khususnya realitas masalah kesehatan. Memang kenyataan saat ini perhatian masyarakat Indonesia dan dunia masih tersita pada pandemi, namun bukan berarti mengabaikan masalah kesehatan yang lain. Ini terbukti dengan salah satu bagian pelatihan yang memandu peserta melihat kembali permasalahan kesehatan di kampung halaman.

 

Permasalahan kesehatan yang saya amati di kabupaten Nias antara lain kualitas jamban sehat, sarana air bersih dan lantai rumah masih tanah. Berdasarkan data BPS Sumatera Utara 2019, tentang distribusi rumah tangga terhadap penggunaan fasilitas tempat buang air besar dikategorikan sebagai berikut: sendiri 42,15%, bersama 5,12%, MCK umum 0,26%, tidak menggunakan 0,22%, dan tidak ada 52,25% (terbanyak di provinsi Sumatera Utara). Data ini menunjukan bahwa lebih dari 50% rumah tangga di kabupaten Nias tidak memiliki jamban sehat dan layak. Di sisi lain, sumber air minum rumah tangga sangat beragam, dari pompa 1,53%, sumur terlindung 13,60%, sumur tak terlindung 32,22% (terbanyak di provinsi Sumatera Utara), mata air terlindung 7,77%, mata air tak terlindung 32,54% (terbanyak di provinsi Sumatera Utara), air permukaan 1,72%, dan air hujan 7,82%. Sedangkan distribusi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak, yaitu 29,15% (terendah di povinsi Sumatera Utara, meskipun meningkat antara 2014-2018). Berkaitan rumah tangga berlantai tanah, di kabupaten Nias ada 16,30% rumah tangga, yang terbanyak di provinsi Sumatera Utara.

 

 

Realita di atas umum ditemui di desa-desa yang minim akses jalan raya, lampu penerangan, teknologi informasi dan fasilitas umum lainnya. Selain itu penduduk di desa-desa tersebut adalah warga ekonomi pra sejahtera yang hanya mampu membangun rumah kayu dan beralaskan tanah, sehingga wajar kalau sebagian besar rumah mereka belum mempunyai jamban layak maupun air bersih. Bukan berarti penduduk tidak mempedulikan manfaat memiliki jamban dan air higienis tetapi mereka masih memprioritaskan usaha untuk memenuhi kebutuhan primer keluarga, sehingga kebutuhan fasilitas jamban layak masih berada di nomer sekian, dan menggunakan ladang, parit-parit atau sungai yang berada di belakang rumah. Berkait ketersediaan air, keluarga yang belum memiliki kamar mandi permanen biasanya menggali sumur atau tampungan air yang dipagari tenda atau terpal dengan bambu sebagai penyangga dan biasanya tidak beratap. Tak jarang air berwarna kuning kecoklatan  tetap digunakan untuk mandi, mencuci perabot rumah tangga dan pakaian.

Bagi saya yang kuliah di Ilmu Pemerintahan dengan melihat permasalahan kesehatan ini saya belajar menemukan alternatif-alternatif atas permasalahan yang terjadi di kampung halaman saya, misalnya pemerintah daerah ‘membuka mata’ dan dituntut lebih berperan, misalnya dengan membuka akses terhadap sumber air bersih melalui PDAM meskipun bertahap. Sedangkan berkait ketersediaan jamban dan peningkatan kualitas lantai rumah, pemerintah desa bisa melakukan inisiatif sebagai wujud ‘sense of crisis kebutuhan dasar masyarakat dengan menggalakkan pembangunan jamban rumah tangga yang dimasukkan dalam pembangunan desa untuk meningkatkan kekuatan sosial masyarakat dan peningkatan kualitas hidup.***


  Bagikan artikel ini

Masalah-Masalah Kesehatan di Kampung Halaman

pada hari Rabu, 4 November 2020
oleh Putri N.V. Laoli

Pandemi yang melanda dunia termasuk Indonesia sepanjang tahun ini menjadi cambuk masyarakat memikirkan kembali pola hidup sehat dan lingkungan bersih. Pemerintah sebenarnya sejak lama menghimbau namun kebiasaan baru ini benar-benar terasa penting sejak wabah melanda. Sebagai bagian dari masyarkat, mahasiswa pun tak lepas dari situasi ini, untuk bersungguh-sungguh menerapkan pola hidup bersih dalam hidup keseharian.

 

 

Stube HEMAT Yogyakarta sebagai lembaga pendampingan mahasiswa dari berbagai daerah yang sedang kuliah di Yogyakarta mendorong mahasiswa memperhatikan kesehatan tidak saja ketika di perantauan untuk kuliah, tetapi juga mengamati persoalan kesehatan di daerah asalnya, mempelajari dan menemukan gagasan nyata untuk meretas permasalahan lokal bersama masyarakat setempat. Dalam pertemuan sebelumnya peserta membentuk kelompok sesuai asal daerah dan melakukan pemetaan masalah kesehatan didampingi tim Stube-HEMAT Yogyakarta, selanjutnya mereka memaparkan hasilnya melalui presentasi virtual pada 3 November 2020 bersama praktisi kesehatan Sukendri Siswanto, S.Pd., M.Kes., kepala Divisi Kesehatan Primer CD Bethesda.



 

Hasil pemetaan kelompok kawasan Sumatera khususnya kelompok Nias Utara menemukan rawa-rawa dan rumah yang beralaskan tanah, sehingga rawan penyakit kulit, demam berdarah dan diare. Pelayanan dan fasilitas kesehatan masih perlu ditingkatkan, di samping itu ada kebiasaan yang kurang sehat dengan makan langsung tanpa cuci tangan. Kelompok Lampung Tengah mengungkap demam berdarah sebagai masalah kesehatan dominan karena kawasan sering tergenang air dan masyarakat jarang membersihkan lingkungan kecuali saat gotong royong. Selanjutnya kelompok Mentawai mengidentifikasi masalah gizi buruk, sanitasi dan kurangnya air bersih.

 

Kawasan Nusa Tenggara khususnya kelompok Sumba mendeteksi demam berdarah, malaria, dan diare yang cenderung terjadi di tahun ini, sementara kelompok Manggarai menemukan angka kematian ibu dan bayi masih tinggi dan ketersediaan jamban belum merata di setiap rumah. Menyangkut gizi buruk dan stunting ada baiknya melakukan pencegahan selain pengobatan dengan memanfaatkan pangan lokal yang mendukung kebutuhan keluarga. Karena kandungan nutrisinya bagus, daun kelor bisa dimanfaatkan untuk peningkatan gizi sekaligus nutrisi ibu hamil. Alternatif yang bisa dilakukan yaitu menanam sayuran di pekarangan rumah, menggerakkan kader posyandu untuk memantau kesehatan ibu-ibu, dukungan sosial bagi ibu dan calon bayi.

 

Kelompok Konawe, Sulawesi Tenggara menemukan sakit tenggorokan, paru-paru, serta batuk berkepanjangan masih terjadi. Salah satu jurnal kesehatan mengungkapkan bahwa penyakit seperti itu disebabkan salah satunya karena kondisi rumah yang kurang mendukung, kurangnya sirkulasi udara maupun sinar matahari. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat yang tidak memiliki latar belakang medis melihat kondisi sekitar untuk memastikan lingkungan terjaga, serta warga sadar menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat? Jika lingkungan rentan TBC dengan gejala batuk berkepanjangan, berkeringat di malam hari, penurunan berat badan maka tindakan yang bisa dilakukan adalah memotivasi orang dengan gejala tersebut memeriksakan diri ke layanan kesehatan dan memastikan mendapatkan layanan pengobatan.

 

Persoalan kesehatan di kepulauan Aru dengan yang tipikal rumah penduduk berupa rumah panggung dan berada di atas kawasan rawa dan pasang surut laut terungkap dengan kurangnya kesadaran masyarakat setempat membuang sampah pada tempat khusus, jadi mereka cenderung membuang begitu saja di bawah rumah karena berpikir akan hanyut saat air pasang. Tetapi kenyataanya, sampah hanya berpindah tempat sehingga ketika surut sampah akan mengendap dan menjadi tidak sehat serta pusat sarang nyamuk.

 

Dari kelompok Jawa Tengah khususnya Brebes dan Cilacap menemukan Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang dilahirkan masih tinggi. Salah satu penyebabnya adalah masih rendahnya kesadaran kesehatan ibu dan keluarga, belum meratanya imunisasi yang diterima ibu, bayi dan anak-anak di wilayah setempat yang dipicu lemahnya kemampuan ekonomi, kawasan lingkungan kumuh, dan pemahaman yang salah terkait imunisasi. Penyakit yang terjadi adalah thypus karena sanitasi buruk, pengolahan makanan yang tidak bersih dan lemahnya perilaku cuci tangan. Ini bisa diatasi dengan memperbaiki sanitasi rumah tangga, pengolahan bahan makanan dengan air mengalir dan menggunakan perabot yang bersih.

 

Temuan-temuan tersebut di atas bisa dikelompokkan ke dalam tiga jenis, pertama, penyakit menular seperti diare, TBC, malaria dan demam berdarah. Kedua, penyakit yang tidak menular seperti kolestrol, asam urat, hipertensi, dan asam lambung. Ketiga, kekurangan gizi di kalangan ibu dan anak serta stunting, yang masing-masing membutuhkan penanganan terpadu oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat non medis.

Melalui pemetaan masalah kesehatan di kampung halaman para mahasiswa diajak mengasah kepekaan dan kemampuan analisis serta menumbuhkan empati terhadap realita di sekitarnya. Bahkan menemukan solusi alternatif sebagai jawaban atas masalah kesehatan yang terjadi di Indonesia.***


  Bagikan artikel ini

Covid 19 dan Ketangguhan Perawat

pada hari Sabtu, 31 Oktober 2020
oleh Wilton Paskalis

Topik perbincangan tentang kesehatan menjadi ‘hot news’ saat ini karena pandemik masih merajalela dan angka orang yang terpapar dan kematian masih naik turun. Ini menjadi permasalahan utama kesehatan di berbagai negara termasuk Indonesia sehingga berbagai pihak dikerahkan untuk mengatasi pandemi. Otoritas pemerintah, lembaga pemeritah maupun swasta dan masyarakat mengambil peran masing-masing untuk menghambat sebaran virus sebagai upaya membantu tenaga medis menangani pasien yang terinfeksi.

 

Kesadaraan terhadap situasi yang didasari pemahaman yang benar tentang Covid 19 penting dimiliki oleh setiap orang, termasuk para mahasiswa, sehingga mereka bisa mengambil sikap yang benar ketika merespon berita-berita seputar pandemik dan menerapkan prosedur kesehatan sekaligus mampu mengedukasi orang-orang di sekitarnya. Stube-HEMAT Yogyakarta sebagai lembaga pengembangan sumber daya manusia khususnya mahasiswa melalui program ‘Health Problems In Indonesia’ membuka dialog online antara mahasiswa dengan tenaga medis yang merawat pasien terkonfirmasi Covid-19 di salah satu rumah sakit di Jakarta.

 

Kegiatan sharing yang diadakan pada hari Sabtu (31/10/2020) melalui Meet, Stube-HEMAT Yogyakarta mengundang Imelda Dewi Susanti, S,Kep. Ners, yang berpengalaman sebagai perawat di daerah asalnya, Kalimantan Barat, dan sebagai peserta program Nusantara Sehat. Sewaktu masih studi di Jogja, Imelda aktif mengikuti kegiatan-kegiatan Stube HEMAT Yogyakarta termasuk menjadi salah satu peserta program Exploring Sumba dengan melakukan pemberdayaan masyarakat di Sumba. Imelda menceritakan bahwa is bergabung menjadi perawat Covid-19 setelah menyelesaikan program Nusantara Sehat dimana ia ditempatkan di pedalaman kabupaten Poso. Keterpanggilannya menjadi perawat pasien Covid-19 muncul ketika melihat langsung pasien yang terkonfimasi positif Covid-19 dan temannya yang perawat juga terpapar virus ini. Bersamaan itu ada program Nusantara Sehat Darurat Covid, sehingga ia memutuskan bergabung meski ada keraguan apakah keluarganya mendukung, namun panggilan dan pengabdian seorang perawat menguatkannya untuk mendaftar dan diterima dengan penempatan di Jakarta.

 

 

Perbincangan ini mengungkap dinamika dan pergumulan yang dihadapi ketika bekerja menangani pasien Covid-19. Imelda mengungkapkan bahwa secara mendasar tugasnya tidak jauh beda dengan perawat yang merawat pasien, tetapi perbedaannya adalah penggunaan alat pelindung diri (APD), SOP Covid-19 dan manajemen kesehatan diri yang menuntut selalu dalam kondisi prima. Ia menceritakan saat ia menangani pasien Covid-19 dengan penyakit penyerta, sehingga butuh perhatian ekstra, dimana tindakan medis dilakukan untuk mengobati penyakitnya dan asupan vitamin untuk meningkatkan imunitas. Di sini keluarga pasien tidak bisa menunggu, jadi perawatlah yang menjaga, sehingga perawat tidak hanya merawat, memberikan obat dan memantau, tetapi menemani, mendengarkan cerita mereka sebagai terapi meredakan pikiran yang cemas. Jika kondisi psikologis cemas dan takut akan mempengaruhi kondisi fisik dan organ tubuh lainnya. Penanganan pasien terkonfirmasi Covid-19 dirawat di ruangan dan dipantau intensif sesuai prosedur penanganannya, sedangkan pasien tanpa gejala dan melakukan isolasi mandiri dilakukan berbeda, karena mereka bisa beraktivitas di luar ruangan seperti berolahraga, berjemur di waktu pagi hari, dan diberi vitamin untuk meningkatkan imunitasnya.

 

Memang Covid-19 belum ada antivirusnya, namun tidak perlu direspon berlebihan melainkan prosedur kesehatan dilakukan dengan baik, termasuk menjaga kesehatan diri dengan pola hidup sehat dan bersih, berpikiran positif dan optimis. Dialog ini memunculkan rasa haru dan mencerahkan wawasan mahasiswa bagaimana bersikap di tengah pandemik, tidak dengan panik maupun menanggapi berita-berita yang belum jelas sumbernya, tetapi bijak mencerna informasi yang diterima sekaligus memulai dari diri sendiri dan mengajak orang-orang di sekeliling untuk mengikuti protokol kesehatan.***




  Bagikan artikel ini

Mendekatkan Mahasiswa pada Masalah Kesehatan  

pada hari Rabu, 28 Oktober 2020
oleh Thomas Yulianto

Oleh: Thomas Yulianto

Indonesia rentan dalam penanganan masalah kesehatan karena beragam situasi seperti terbatasnya fasilitas kesehatan, tenaga medis yang kompeten, buruknya pemahaman kesehatan dan kedisiplinan hidup sehat masyarakat yang masih rendah, sementara potensi orang yang bisa terinfeksi penyakit melebihi kemampuan untuk mengatasinya. Saat ini dengan kasus Covid-19 yang terjadi menjadi sinyal merah bagi kita semua dan orang-orang harusnya lebih sadar pentingnya kesehatan bagi dirinya dan orang lain dan ini membuat kita belajar bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri dan terbukti bahwa infeksi terjadi secara global sebagai pandemik.

 

Tantangan kesehatan di Indonesia mesti direspon tidak saja oleh mereka yang bekerja di bidang kesehatan tetapi setiap orang bertanggungjawab didalamnya, termasuk mahasiswa, sehingga Stube HEMAT Yogyakarta merancang program Masalah Kesehatan di Indonesia untuk membantu mahasiswa memahami masalah kesehatan di Indonesia dengan mendapatkan informasi yang memadai terkait permasalahan kesehatan tersebut dan memiliki wawasan dan pengetahuan bagaimana mengatasinya. Pelatihan diadakan secara online pada hari Selasa, 27 Oktober 2020 sehingga bisa diikuti oleh mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, dengan tema Realita Masalah Kesehatan di Indonesia bersama narasumber Sukendri Siswanto, S.Pd. M.Kes, kepala Divisi Kesehatan Primer CD Bethesda. Tercatat ada beberapa peserta mahasiswa berasal dari wilayah Sumatera, Jawa, NTT, Maluku dan Sulawesi.

 

 

Dalam diskusi tersebut, Sukendri memulai dengan memunculkan pertanyaan, mengapa kesehatan orang zaman dulu nampak lebih baik dari masa sekarang? Padahal kondisi masyarakat, pengetahuan dan fasilitas kesehatan saat ini lebih lengkap dibanding dulu. Ya memang ada beragam faktor yang mempengaruhi kesehatan, seorang ahli kesehatan bernama H.L Blum menyebutkan bahwa status kesehatan masyarakat atau individu dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu Lingkungan, Perilaku, Pelayanan Kesehatan dan Genetik (Keturunan). Empat faktor ini menjadi tantangan di Indonesia terlebih secara geografis berupa kepulauan sehingga terkadang sebaran fasilitas kesehatan belum merata di setiap kecamatan, misalnya layanan Puskesmas maupun dokter umum. Tantangan lainnya adalah perlu peningkatan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat, misalnya ketersediaan air bersih, fasilitas kloset dan sanitasi rumah tangga. Topik bahasan lain berupa pentingnya kecukupan gizi dan nutrisi, termasuk ASI eksklusif untuk bayi, maupun makanan pelengkap ASI demi menunjang pertumbuhannya.

 

 

Perbincangan dalam diskusi ini membuka mata mahasiswa tentang realita masalah kesehatan di Indonesia, meskipun baru di permukaan saja, sehingga sebagai langkah lanjut, mahasiswa dimasukkan dalam kelompok sesuai daerah asal mereka dan selanjutnya mereka akan melakukan pemetaan masalah kesehatan yang terjadi di daerah asal mereka masing-masing. Dari temuan dalam pemetaan ini mahasiswa akan didampingi untuk menganalisa masalah kesehatan yang terjadi sekaligus memunculkan gagasan atau tindakan yang bisa dilakukan sebagai respon terhadap masalah tersebut.***




  Bagikan artikel ini

Satgas Covid-19 BPBD DIY: Bersama Melawan Pandemi

pada hari Senin, 26 Oktober 2020
oleh Sarlota Wantaar

 

 

 

Penanggulangan Covid 19 mau tidak mau membutuhkan tekad satu hati seluruh lapisan masyarakat untuk melawan bersama dengan segala konsekuensinya dalam tatanan New Normal, tatanan hidup baru. Stube HEMAT Yogyakarta sebagai lembaga pendampingan mahasiswa di Yogyakarta dalam program Masalah Kesehatan di Indonesia melaksanakan diskusi bersama BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) DIY yang bertanggungjawab sebagai Posko Dukungan Operasi Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Daerah Istimewa Yogyakarta di Pendopo Wisma Pojok Indah, Condongcatur pada tanggal 24 Oktober 2020. Dua puluh peserta mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia yang kuliah di Yogyakarta hadir dalam diskusi ini. Dalam pembukaan Pdt. Bambang Sumbodo, board in charge Stube HEMAT mengungkapkan bahwa pandemik Covid-19 berdampak negatif, tetapi positifnya adalah manusia dipaksa kembali ke alam karena alam menanti kita, manusia dan alam memiliki hubungan yang erat seperti hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Ini menggugah kesadaran individu dan bersama tentang kesehatan bagaimana berperilaku bersih dan sehat karena kesehatan menjadi kebutuhan setiap orang baik dari sisi rohani dan jasmani.

 

 

Materi tentang Adaptasi Kebiasaan Baru sebagai respon pandemik dipaparkan oleh Endro Sambogo dari Team Reaksi Cepat BPBD DIY. Ia menjelaskan tentang bagaimana hidup normal baru dalam kondisi pandemik. Perlahan aktivitas masyarakat bergeliat tetapi tidak bisa seperti sebelum pandemik, ini artinya sekarang masyarakat harus memiliki perilaku hidup baru, lingkungan baru dan pola pikir baru. Tatanan, kebiasaan dan perilaku yang baru berbasis pada adaptasi untuk membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat inilah yang disebut new normal. Cara yang dilakukan adalah rutin cuci tangan pakai sabun, pakai masker saat keluar rumah, jaga jarak aman dan menghindari kerumunan. Untuk merealisasikan skenario new normal, saat ini pemerintah telah menggandeng pihak-pihak terkait termasuk tokoh masyarakat, para ahli dan para pakar untuk merumuskan protokol atau SOP untuk memastikan masyarakat dapat beraktivitas kembali, tetapi tetap aman dari COVID-19. Protokol ini bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga pendidikan dan keagamaan, bergantung pada aspek epidemologi dari masing-masing daerah, sehingga penambahan kasus positif bisa ditekan.

 

Endro menjelaskan situasi ‘pelayatan’ (berkunjung saat ada orang meninggal), bahwa sesungguhnya kondisi berbahaya atau beresiko itu bukan jenazah tetapi dari interaksi anggota keluarga dan para pelayat, serta kerumunan orang dalam pemakaman tersebut. Kondisi rentan juga terjadi ketika orang yang terpapar virus memiliki penyakit penyerta, seperti hipertensi, jantung, asma, paru-paru dan beberapa penyakit lainnya. Saat ini kewaspadaan perlu ditingkatkan karena keberadaan orang tanpa gejala (OTG), yakni orang yang sudah terpapar virus tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala sakit karena ia memiliki imunitas yang kuat dan merasa baik-baik saja. OTG akan menjangkiti orang lain yang lemah imunnya, sehingga mau tidak mau semua orang harus memakai masker, mencuci tangan, jaga jarak dan menghindari kerumunan harus dilakukan secara disiplin.

 

Kesempatan dialog dengan pihak yang terlibat langsung dalam penanganan Covid 19 di lingkup DIY menggugah peserta mengungkapkan rasa penasaran mereka tentang orang yang terpapar virus tetapi tidak menunjukkan gejala sakit. Ada juga orang yang memiliki kecemasan berlebihan terpapar virus sehingga orang tersebut bertindak diluar kewajaran. Endro mengungkapkan bahwa Covid 19 adalah virus flu yang mudah menjangkiti manusia dan virusnya juga terus bermutasi sehingga Covid 19 belum ada anti virusnya. Ketika seseorang terpapar virus ini tetapi kondisi imunitasnya kuat, tidak akan sakit, tetapi bisa menularkan ke orang lain. Jadi, ia mesti sadar untuk menerapkan perilaku bersih dan sehat demi melindungi orang lain. Terkait tindakan di luar kewajaran, hal ini karena pemahaman orang belum lengkap tentang pandemik ini, bahwa virus ini tidak secara fatal mengakibatkan kematian, tetapi adanya penyakit bawaan yang memperburuk kondisinya sehingga terjadi komplikasi, selain itu pemberitaan media  berpengaruh dalam membangun ‘image’ tentang kasus Covid 19 ini.

 

 

Di akhir acara, Endro mengingatkan peserta bahwa kita sebagai anak muda dan mahasiswa yang sudah mendapat pengetahuan lebih tentang pandemik Covid 19, harus menerapkan kebiasaan baru, perilaku hidup bersih dan sehat, sekaligus memberikan edukasi yang benar tentang Covid 19 ini kepada orang-orang terdekat, bisa di lingkungan kos, di kampus maupun di keluarga masing-masing sehingga sebaran Covid 19 bisa ditekan dan masyarakat bisa beraktivitas dengan nyaman. ***

 

 


  Bagikan artikel ini

Sapaan Pagi 2: Para Aktivis Muda Pulau Sumba

pada hari Selasa, 20 Oktober 2020
oleh Admin Stube

 

Perjalanan mengunjungi para multiplikator di dua pulau yakni pulau Alor dan Sumba memberikan kesan bagi pengurus yang berkesempatan bertemu dengan mereka. Berikut adalah catatan dan kesan dari Pdt. (Emiritus) Bambang Sumbodo, S.Th., M.Min setelah melihat lapangan dan bertemu langsung.

 

 

 

Elisabeth Uru Ndaya, telah menempuh studi S1 bahasa Inggris di Yogyakarta. Ayahnya seorang Guru Injil (pembantu Pendeta) GKS (Gereja Kristen di Sumba), di sebuah gereja kecil di Tanatuku, Makamenggit, sekitar 50 km dari Waingapu. Setelah selesai studi di Yogya, ia pulang ke kampung halaman untuk menghimpun para ibu dan nona Sumba membuat kerajinan tenun Sumba. Usaha menghimpun dan memberdayakan para perempuan tidak mudah, banyak halangan dan tantangan salah satunya dari suami yang melarang istrinya untuk tidak ikut pelatihan. Pendekatan Elis luar biasa terhadap suami yang melarang istrinya, bahkan ia melibatkan gereja dalam hal ini pendeta. Akhirnya semua merelakan istri ikut aktivitas perempuan Stube HEMAT di kampungnya.

 

 

Sekarang para perempuan telah belajar membuat tenun Sumba juga pewarnaan dari tumbuh-tumbuhan dan mereka telah punya pusat latihan tenun Sumba. Ada seorang ibu yang sudah memiliki galeri dan yang menggembirakan sudah menghasilkan uang untuk menunjang perekonomian rumah tangga. Waktu para ibu latihananak-anak yang masih kecil ikut juga dan memang repot tetapi secara tidak langsung mereka mengajari anak-anak bagaimana membuat tenunan Sumba, khususnya anak-anak perempuan untuk mencintai tenun Sumba yang sudah mulai pudar.

 

 

 

 

Elis juga seorang guru Bahasa Inggris sehingga ia terpanggil mendirikan sanggar Bahasa Inggris untuk anak-anak, dan semua dilakukan penuh dengan dedikasi. Pelatihan tenun Sumba sekitar 20 kaum ibu dan para nona. Kiranya Tuhan memberkati para ibu  memperkuat keluarganya juga gereja karena para ibu dan para nona inilah pewarta kabar baik. Selamat berjuang Elis selamat menghadapi tantangan. Imanuel.

 

 

 

 
 

 

 

Yulius Rihi Anawaru, seorang sarjana kehutanan dari kampus di Yogyakarta. Kami banyak berdiskusi tentang Sumba dan anak-anak mudanya. Penghijauan dengan menanam seribu pohon sudah dilakukan Yulius di kampungnya. Selanjutnya ia mendapatkan berkat Tuhan, bersama sama bergotong-royong membeli kapal untuk budi daya rumput laut di pantai Warabadi, Sumba Timur. Yulius mengajak Andreas untuk mengawasi dan menunggui kapal dan merawat rumput laut, dari hasil rumput laut bisa membiayai anak-anaknya kuliah. Puji Tuhan, hasilnya sangat lumayan. Anak-anak dan remaja juga diajak ke tengah laut untuk dikenalkan laut dan budi daya rumput laut.

 

 

 

 

 

 

Apriyanto Hangga, menempuh studi Ilmu Pemerintahan di Akademi Pembangunan Masyarakat Desa  di Yogyakarta. Sejak kuliah di Yogyakarta, dia seorang aktifis mahasiswa dan saat ini menggerakan masyarakat di Mbinudita, kira-kira 120 km dari Waingapu, Sumba Timur membangun kembali sekolah dasar paralel yang pada tahun 2019 roboh diterjang angin besar. Melalui media sosial, Yanto berhasil menggalang sponsor untuk membangun gedung SD dan menggerakkan masyarakat bergotong-royong. Saat ini pekerja bangunan utama dari Nganjuk Jawa Timur. Lokasi gedung berada di atas bukit dan di antara desa yang satu dengan yang lain. Sekolah paralel ini mendekatkan sekolah dengan anak-anak yang jaraknya sekitar 4 sampai 6 km yang ditempuh dengan jalan kaki. Dengan berdirinya sekolah paralel ini anak-anak menjadi lebih dekat, sekitar 2-3 km. Direncanakan akhir tahun sekolah ini selesai, sehingga akhir pandemi ini bisa digunakanSolusi saat ini guru mendatangi siswa satu persatu dari rumah ke rumahApriyanto juga beternak babi, tetapi karena virus yang menyerang babi di Sumba, ribuan babi di Sumba mati termasuk ternak Apriyanto dan kelompoknya. Bersama Stube HEMAT, Apriyanto dan beberapa mahasiswa berdiskusi dan belajar bagaimana menanggulangi virus ini

 

 

 

 

 

Frans Fredi Kalikit Bara, dulu Frans adalah calon Romo, tetapi tidak jadi karena orang tuanya minta agar membatalkan demi melanjutkan garis keturunan. Sekarang baru menyusun skripsi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kristen di Wangapu, Sumba TimurFrans pernah diundang ke Yogyakarta untuk mengikuti pelatihan di Stube HEMAT Yogyakarta seperti pelatihan produk kreatif, jurnalistik, pertanian organik, dan pelatihan lahan pasirSudah hampir 5 tahun, ia mengembangkan tanaman cabai, tomat, semangka, sawi, kol, dengan hasil yang sangat lumayan. Sampai saat ini kebutuhan pertanian Sumba, masih mendatangkan dari luar pulau Sumba, sehingga ia membentuk kelompok petani muda untuk mengembangkan pertanian organik. Anak-anak muda ini adalah aset bangsa di bidang pangan, lumbung beras dan hasil pertanian yang lain.

 


  Bagikan artikel ini

Perkembangan Teknologi dan Perubahan Masyarakat

pada hari Kamis, 24 September 2020
oleh Fransiska Lawa Mali (mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa)
 

 

 

 
  

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memiliki dampak yang luar biasa terhadap kehidupan baik positif maupun negatif. Ini dirasakan juga oleh masyarakat Desa Debululik Kecamatan Lamaknen Selatan Kabupaten Belu Propinsi NTT, sebuah desa yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Sebelum ada internet dan komputer, masyarakat menggunakan mesin ketik jika ingin mengetik surat-surat penting, dan saat mesin ketik rusak maka mereka harus ke kota untuk mengetik surat-surat penting tersebut. Hal ini membutuhkan waktu yang lama karena dari desa ke kota perlu waktu dua jam perjalanan pulang pergi, dan ini berarti mengambil waktu aktivitas lain untuk melakukan perjalanan. Jika ada orang tua yang ingin memberi kabar kepada anak-anak mereka yang bersekolah di luar kota maka mereka hanya bisa berkabar melalui surat dan mengirim surat lewat kantor pos karena belum ada jaringan komunikasi dan internet. Jadi, ada jeda waktu yang dibutuhkan untuk tersampaikannya pesan antara orang tua dan sang anak. Seandainya anak yang bersekolah di kota kehabisan uang makan sehari-hari di kota atau ada kebutuhan mendesak maka berita itu juga membutuhkan waktu beberapa hari agar sampai kepada orang tuanya, sebab proses pengiriman surat lewat kantor pos membutuhkan waktu pengiriman. Bagi anak-anak usia SMP dan SMA mereka biasa sekolah di Atambua, sedangkan mahasiswa sebagian besar di Yogyakarta, dan sebagian lainnya tersebar di Kefamenanu, Kupang, Bali, Jakarta dan Malang.

Saat ini berbeda dengan dulu, jika ingin mengetik atau saling bertukar kabar dengan anak-anak yang menempuh pendidikan di luar kota, mereka bisa langsung lakukan dari rumah masing-masing karena ada jaringan komunikasi yang memadai, bahkan orang tua dan anak bisa berkomunikasi lebih cepat dengan Whatsapp dan Facebook. Bagi masyarakat yang tidak memiliki internet atau ingin mengetik surat-surat penting tetapi belum memiliki laptop atau komputer, mereka bisa datang ke kantor desa karena sudah disediakan laptop dan wifi secara gratis.

 

Masyarakat sekarang juga memanfaatkan dunia maya sebagai sarana untuk mencari uang. Mereka melakukan bisnis dari rumah dan memanfaatkan media sosial untuk menjual pulsa listrik, tiket pesawat dan berjualan lainnya secara online. Ketika jaringan komunikasi dan internet belum masuk, orang-orang mesti membawa hasil panen atau hasil kerja mereka ke pasar atau menunggu pengepul yang akan datang ke desa mereka.

Di masa pandemi ini sebagian orang tua meminta anak-anak mereka yang menempuh pendidikan di luar kota untuk pulang ke kampung halaman dengan alasan keselamatan dan beragam alasan lainnya, sehingga sebagian mahasiswa, siswa SMA dan SMP yang sekolah di kota akhirnya kembali ke rumah, meski sebagian mahasiswa memilih tetap tinggal di kota karena berada di semester akhir dan tersedianya jaringan komunikasi. Desa saya merupakan desa dengan jumlah pelajar terbanyak di kecamatan Lamaknen Selatan karena masyarakat di sana berlomba-lomba menyekolahkan anak mereka. Meskipun mereka pulang ke kampung halaman mereka tetap bisa mengikuti belajar selama pandemik karena pembelajaran dilakukan secara online.

 

Internet juga memiliki dampak negatif di mana sebagian anak-anak menipu orang tua mereka dengan alasan kebutuhan sekolah dan alasan lainnya padahal pada kenyataannya mereka menipu demi membeli pulsa bukan untuk belajar. Tidak hanya itu saja, banyak remaja menghabiskan waktu istirahat dengan bermain games online, padahal mereka bisa menggunakannya untuk membantu orang tua mengerjakan kebun atau kerla lainnya. Dunia maya sangat mempengaruhi gaya fashion remaja sehingga mereka berlomba-lomba membeli baju-baju terbaru, walaupun baju yang mereka beli adalah tiruan atau kw. 

 

Perlu disadari semua bahwa internet memiliki manfaat positif dan dampak negatif terhadap kehidupan bermasyarakat. Semua itu tergantung bagaimana penggunaannya. Ini menjadi bekal pembelajaran bagi saya ketika kembali ke kampung halaman setelah selesai kuliah di Yogyakarta. Saya bisa memanfaatkan perkembangan teknologi dengan baik, dan membantu masyarakat khususnya anak-anak di kampung untuk cerdas menggunakan internet, khususnya untuk belajar. 

 

 

  Bagikan artikel ini

Strategi Belajar Mahasiswa Saat Pandemi

pada hari Selasa, 22 September 2020
oleh Yuli Triyani (Mahasiswa STAK Marturia Yogyakarta)

 

 

 

Berbicara mengenai teknologi, pasti sudah tidak asing lagi di kalangan mahasiswa, terlebih di era ini mahasiswa dituntut untuk bisa menggunakan teknologi, baik untuk mengerjakan tugas kuliah maupun pekerjaan lainnya yang menuntut penggunaan smartphone, laptop, proyektor dan perangkat lainnya. Pandemik Covid-19 yang terjadi secara global, mengubah pola hidup setiap orang termasuk dalam perkuliahan yang saya alami di Yogyakarta, Indonesia.

 

 

Perkuliahan yang biasanya dilakukan dengan tatap muka, menulis di papan, diskusi dan presentasi kelompok, dan menggunakan proyektor, seketika berubah menjadi virtual education untuk mengantisipasi merebaknya infeksi Covid-19. Terlihat mudah mengikuti kuliah dari kos, menyalakan smartphone dan mengikuti kuliah, namun kenyataannya tidak mudah, bahkan terkadang tidak membuahkan hasil baik. Ada beragam persoalan yang dihadapi para mahasiswa dibalik perubahan pola belajar dengan memanfatkan keunggulan teknologi dalam menyampaikan materi dan interaksi secara online menggunakan aplikasi Google meet, Zoom meeting, YouTube dan lainnya.

 

 

Nampaknya mudah kuliah semacam ini tetapi tidak sedikit mahasiswa yang mengeluh dengan perubahan pola belajar seperti ini karena mereka mesti menyesuaikan diri dengan pola baru dalam belajar secara online, menghadapi beragam masalah dari jaringan yang tidak stabil bahkan tidak ada jaringan, beberapa mahasiswa belum mempunyai smartphone maupun laptop, jadi harus pergi ke warnet untuk dapat mengikuti perkuliahan online, dan yang paling sering dikeluhkan mahasiswa adalah keterbatasan alokasi uang untuk membeli paket internet karena aplikasi untuk kuliah online menguras kuota paket internet. Bayangkan jika satu kali kuliah online untuk setiap mata kuliah menghabiskan 1 Gb paket internet, dan sehari ada tiga mata kuliah, berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk membeli paket internet satu bulan? Sebagian ada yang terbantu karena ada fasilitas wifi, tetapi bagaimana dengan yang tidak?

 

 

Ini menjadi tantangan baru bagi saya yang datang dari Lampung ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah. Saya harus tinggal di rumah kos dan mesti cerdas mengatur keuangan dengan membatasi pengeluaran atau apa yang bisa dikerjasamakan dengan teman. Namun bukan mahasiswa namanya jika tidak menemukan solusi, saya dan teman-teman merespon dengan berkumpul bersama di kos saat kuliah online, satu telepon genggam atau laptop dipakai bersama, dan bergantian tethering dengan teman, misalnya hari ini menggunakan telepon genggam Eri, besoknya  menggunakan milik Yuli, dan lusa milik teman lain. Bisa juga dengan pergi ke kampus memanfaatkan wifi. Saya dan teman-teman menikmati ini, setidaknya bisa menghemat pemakaian paket internet. Selain itu, ada kesulitan lain ketika menayangkan materi presentasi karena belum terbiasa dengan aplikasinya yang sering digunakan dalam kuliah.

 

 

Pengalaman ini menyadarkan saya bahwa belajar teknologi tidak hanya pada saat perkuliahan atau pandemik saja, mengingat teknologi akan terus berkembang jadi saya harus terus meningkatkan kemampuan diri agar bisa menyesuaikan dengan tuntutan dunia kerja nantinya dengan teknologi tinggi. Salah satu alternatif yaitu dengan mengikuti kegiatan di Stube HEMAT Yogyakarta dengan program Cyber Awareness yang membekali saya dengan motivasi baru untuk belajar banyak hal baik teknologi maupun keterampilan lainnya yang bermanfaat dan dapat saya bagikan nantinya ketika kembali ke daerah asal saya.

 


  Bagikan artikel ini

Logika Hidup di Dunia Maya

pada hari Senin, 21 September 2020
oleh Putri N.V. Laoli

Pesatnya perkembangan teknologi saat ini beriringan dengan keterbukaan informasi tanpa batas. Hingga tahun 2007, arus informasi dengan beragam topik dari berbagai situs web di dunia maya dapat diakses dengan bebas oleh siapa pun. Tidak dapat dipungkiri hal ini seperti pisau bermata dua, berdampak positif sekaligus negatif dalam hidup sehari-hari. Akhirnya pemerintah mengeluarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai kontrol atas kebebasan masyarakat dalam mengakses internet. Undang-undang itu sendiri mengandung unsur nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.

 

 

Regulasi ini mendapat pro kontra dari berbagai elemen masyarakat karena dalam beberapa kasus UU ITE telah menjerat pelaku atau korban ke dalam jeruji besi, terlepas dari beragam tafsiran atas UU tersebut. Kemudian, pemerintah melakukan revisi UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE. Sampai tahun 2020 kasus pencemaran nama baik lebih dominan, selain kasus lainnya, seperti kebocoran data pengguna media sosial hingga praktek jual beli data pribadi. UU ini memang tidak berlaku otomatis ketika seseorang melanggar, tetapi dari pengaduan pihak yang dirugikan atas tindakan orang lain dan putusan ditentukan berdasarkan hukum yang berlaku.

 

Ini menjadi warning bagi setiap orang agar bijak ketika menjelajah dunia maya, terlebih anak muda mahasiswa di era teknologi maju dan tidak bisa lepas dari interaksi dunia maya. Mereka mesti sadar dimana mereka berada dan tahu apa yang mereka lakukan memiliki konsekuensi. Ini menjadi titik tolak Stube-HEMAT Yogyakarta melalui program Cyber Awarenes, membahas UU ITE, keamanan data, jejak digital dan konsep pemikiran dasar hidup dalam era digital, di Sekretariat Stube-HEMAT Yogyakarta (19/9/2020). Tiga belas mahasiswa dari beragam kampus dan asal daerah hadir dalam workshop yang dipandu oleh Putri Nirmala V. Laoli. Ia mengawali dengan memaparkan topik-topik yang dibahas sebelumnya, antara lain tantangan dan peluang baru di era cyber, membuat dan mengelola konten di media sosial sampai bagaimana mendapat benefit.

 

Pembahasan utama disampaikan oleh Dema Tobing, M.Kom, praktisi teknologi informasi, dari pengajar TI, programer  dan gamer, yang memaparkan logika hidup di dunia maya. Berkaitan dengan UU ITE, ia menekankan pada Informasi dan Transaksi Elektronik, secara sederhana ketika seseorang berkirim pesan dengan temannya, ia sudah melakukan transaksi elektronik. Hal ini menyangkut peringatan akan bahaya penyalahgunaan pemanfaatan maupun penyebaran informasi di dunia maya.

 

Pernahkah memikirkan tentang ‘jejak digital? Ya, jejak digital ialah jejak data ketika seseorang menggunakan internet, baik dari situs yang dikunjungi, email yang dikirim maupun informasi lain yang ‘disetor ke berbagai situs online. Setiap orang, dari public figure sampai orang biasa, asal pernah terhubung ke internet pasti memiliki jejak digital, yang mana ada dua jenis, yaitu aktif dan pasif. Jejak aktif adalah data atau informasi yang kita unggah berupa foto, video, update status yang dipublikasi ke dunia maya lewat akun sosial media atau blog. Sedang jejak pasif adalah data yang kita tinggalkan tanpa sadar ketika berselancar di dunia maya, mengakses situs tertentu, bahkan sekedar me-like postingan di media sosial, server menyimpan alamat internet service provider (ISP) yang dipakai pengunjung. Jadi, pihak lain dapat melihat aktivitas seseorang dalam dunia maya yang ditandai dengan munculnya iklan-iklan di smartphone-nya. Apabila sering mengunjungi situs berita online, film-film anak maupun dewasa, bidang olahraga, kuliner, kecantikan dan sebagainya, maka iklan-iklan yang muncul berkaitan dengan topik situs tersebut, yang mana ini merupakan hasil dari sistem itu sendiri dengan algoritma yang ada mengiklankan yang dibutuhkan oleh pengunjung.

Dari pengalaman dan temuan-temuan ini maka setiap orang khususnya anak muda dan mahasiswa perlu waspada saat mengakses dunia maya, berhati-hati  melakukan input data pribadi di media sosial, karena baik buruk jejak digital kita tergantung pada kemampuan literasi atau ‘melek dunia digital kita, supaya bisa memilah dan memanfaatkan teknologi informasi dengan baik dan produktif.


  Bagikan artikel ini

Mengolah Konten yang Memiliki Kekuatan (Mempengaruhi dan Menggerakkan)

pada hari Senin, 14 September 2020
oleh Wilton P.D. Ama

 

Media digital telah berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin banyak diakses oleh masyarakat. Terlebih saat situasi pandemik dimana interaksi sosial secara langsung menurun drastis karena adanya pembatasan interaksi untuk menahan sebaran virus. Penggunaan media digital melonjak drastis karena beragam aktivitas dialihkan dari rumah, seperti belajar dari rumah, bekerja dari rumah, juga transaksi, semua menggunakan perangkat elektronik. Namun demikian pemanfaatan teknologi digital di Indonesia belum bisa dimanfaatkan secara merata karena beragam kondisi, dari jaringan komunikasi yang belum menjangkau setiap wilayah, keterbatasan pengetahuan dan kemampuan seseorang mengoperasikan perangkat digital dan belum meratanya kepemilikan perangkat digital di masyarakat meskipun populasi telepon genggam lebih banyak daripada populasi penduduk.

 

 

Realita ini diungkap dalam Workshop Stube HEMAT Yogyakarta sebagai bagian program Cyber Awareness pada 12 September 2020 tentang Media Digital, Konten dan Komunikasi, yang mengupas strategi memanfaatkan media digital, mengolah konten supaya memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang. Dr. Leonard C. Epafras, M.Th, seorang peneliti dan dosen teologi UKDW Yogyakarta dan ICRS dalam paparannya mengungkapkan bahwa interaksi masyarakat akan bergeser memanfaatkan media digital seiring perkembangan teknologi dan mereka dari generasi Z dan generasi milenial muda memiliki presentase lebih tinggi dibandingkan genereasi boomer dan generasi X dalam pemanfaatan media digital seperti website, media sosial, video digital, gambar, audio dan aplikasi lainnya. Lebih lagi, kesenjangan digital masih terdapat di beberapa daerah di Indonesia karena keterbatasan infrastruktur dan jangkauan sinyal (sebagian besar terkonsentrasi di pulau Jawa), ketersediaan perangkat, polarisasi pasar tenaga kerja dimana nantinya sebagian pekerjaan manusia akan hilang digantikan mesin. Kesenjangan ini dapat berefek pada perkembangan nilai ekonomi, sosial dan budaya serta berdampak pada teknologi informasi dan komunikasi bahkan lingkungan sosial pun ditentukan oleh sistem digital dengan algoritma tertentu sehingga bisa mempengaruhi perkembangan modernisasi.

 

 

 

Mempertimbangkan bahwa orang-orang dari generasi Z dan milenial muda mendominasi penggunakan media digital, penggunaan telepon genggam lebih banyak dibandingkan PC, cenderung menyaksikan video dan gambar bergerak dan memanfaatkan media sosial seperti Youtube, WhatsApp, Facebook dan Instagram, maka dalam pembuatan konten digital agar memiliki ‘kekuatan’ untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang, mau tidak mau harus: (1) mengenali siapa dan dimana orang atau sekelompok orang yang menjadi target dari suatu konten; (2) bahwa sajian perlu dikemas secara audio visual dan penting untuk memasukkan unsur cerita, bahkan dramatisasi diperlukan untuk memperkuat cerita; (3) menghindari konten dengan waktu dan durasi yang panjang; (4) memanfaatkan unsur personalitas maupun institusi sehingga memuncukan keterhubungan atau connectedness. Terkadang konten yang berkualitas diperhadapkan dengan logika viral yang terkadang malah berlawanan, karena konten yang menjadi viral lebih cenderung pada isu yang kontroversial, tidak lazim, remeh tapi lucu dan unik.

Jadi, untuk mengolah konten yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang memang tidak mudah dan kuncinya adalah perlu terus belajar, evaluasi dan inovasi. Tidak sekedar menjadi viral tetapi memiliki kontribusi positif artinya membawa kebaikan dan mengispirasi orang lain bahkan masyarakat. Mari anak muda dan mahasiswsa, mulai mengolah konten yang berkualitas, dan teroboslah tantangannya.


  Bagikan artikel ini

Gereja: Memanfaatkan teknologi dalam pelayanan (Pelatihan Multimedia di GKJ Paliyan Gunungkidul)

pada hari Senin, 7 September 2020
oleh Trustha Rembaka

 

 

Kemampuan memanfaatkan alat berteknologi tinggi dan dunia cyber menjadi kunci perkembangan dan eksistensi seseorang, komunitas dan masyarakat, sehingga upaya peningkatan kapasitas perlu terus dilakukan dan berdampak pada kualitas hidup manusia. Namun realita kesenjangan (gap) penguasaan teknologi masih terjadi karena beragam latar belakang, seperti  pendidikan, usia, ekonomi dan budaya, dan teknologi pun terus berkembang dan mengubah pola hidup masyarakat. Mereka yang tidak siap akan tertinggal bahkan terlibas. Merebaknya pandemik juga mempercepat perubahan pola hidup masyarakat di dunia, dari cara hidup, interaksi antar orang di rumah dan masyarakat, sektor pendidikan, aktivitas ekonomi, kegiatan keagamaan dan sektor lainnya yang ‘memaksa’ mereka ‘eksodus’ dari interaksi langsung menjadi berbasis teknologi seperti internet untuk berinteraksi, berkomunikasi dan bertransaksi. Gereja-gereja pun menghadapi situasi ini dimana kegiatan yang bersifat massal ditiadakan untuk membatasi sebaran virus dan gereja dituntut memodifikasi bentuk pelayanan menjadi online untuk ibadah minggu, sekolah minggu dan kegiatan lainnya.

 

 

Situasi ini menjadi concern Stube HEMAT Yogyakarta sebagai lembaga pengembangan sumberdaya manusia, melalui program Cyber Awareness Stube HEMAT Yogyakarta memfasilitasi mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam memanfaatkan teknologi dan menyentuh kelompok-kelompok masyarakat yang terbatas atau bahkan buta teknologi dengan melibatkan praktisi yang berkompeten di bidangnya, sehingga harapannya gap pengusaaan teknologi bisa terjembatani dan bahkan mampu melakukan improvisasi kreatif lainnya. Dalam kegiatan ini Stube HEMAT Yogyakarta bekerjasama dengan team Multimedia GKJ Mergangsan melakukan pendampingan dan pelatihan Multimedia di GKJ Paliyan Gunungkidul (5/9/2020).

 

 

Dalam pendampingan ini Trustha Rembaka, koordinator Stube HEMAT Yogyakarta mengawali dengan memperkenalkan Stube HEMAT dan kegiatannya untuk mahasiswa dan kerjasama dengan gereja-gereja di Yogyakarta. Selanjutnya team Multimedia GKJ Mergangsan menggali pengalaman GKJ Paliyan dalam ibadah online khususnya menyiapkan video rekaman ibadah dan video kegiatan lainnya. Pembuatan video mengandalkan anak muda dengan menggunakan gawai untuk merekam gambar dan audio serta mengeditnya. Dari hasilnya mereka belum puas karena tampilan visual masih monoton dan audio terganggu gema. Selanjutnya Richard Panggabean, anggota team Multimedia GKJ Mergangsan memaparkan tahapan pembuatan video, dari pra produksi, produksi dan pasca produksi. Untuk ibadah minggu, pra produksi berkaitan dengan liturgi, isi khotbah dan lagu-lagu, personel yang terlibat, peralatan pendukung dan tempat. Tahapan produksi berkait dengan proses perekaman gambar maupun suara dari alat musik pengiring, singer dan kontrol kondusivitas lingkungan sekitar selama rekaman. Pascaproduksi terkait dengan mengolah rekaman sampai proses mengunggah video dan evaluasi.

 

Proses pengambilan gambar untuk video ibadah minggu menjadi wahana praktek majelis gereja, team musik dan anak muda GKJ Paliyan. Majelis mempraktekkan teknik komunikasi publik dengan mengucapkan teks liturgi dengan jelas dan fokus mata pada kamera, team musik mengemas lagu dengan irama dan nada yang sesuai, pendeta menyampaikan pesan khotbah ringkas namun berkesan dan team multimedia mengambil gambar dengan angle yang menarik dan merekam audio melalui mixer untuk meminimalisir gema. Tahapan rekaman dari votum ibadah sampai doa berkat berjalan dengan lancar selama kurang lebih 30 menit.

 

 

Pengalaman belajar ini memberikan kesan mendalam bagi peserta maupun pendamping. Majelis gereja mengungkapkan rasa terima kasih mendapat kesempatan belajar multimedia, khususnya membuat video untuk pelayanan gereja. Sejujurnya disampaikan bahwa  mereka merasa tegang karena ini pertama kali direkam video, bahkan akan diunggah di YouTube. Kemudian Daniel D. Nugraha, dari team Multimedia GKJ Mergangsan mengungkapkan rasa haru atas semangat anak muda, majelis dan pendeta GKJ Paliyan yang sangat bersemangat membuat rekaman pelayanan gereja meski dengan alat-alat rekam yang terbatas.

Kegiatan pendampingan ini menghadirkan rasa kebersamaan, saling memperhatikan dan menjadi energi tambahan untuk terus bersemangat dalam keterbatasan dengan keyakinan pasti ada jalan keluar. Tetaplah bersemangat dalam belajar, berbagi dan melakukan pelayanan untuk kemuliaan Tuhan.


  Bagikan artikel ini

Mendalami Teknik Pengambilan Gambar Oleh Trustha Rembaka  

pada hari Senin, 31 Agustus 2020
oleh adminstube
 

 

 

 
Pernahkah membayangkan bagaimana proses pembuatan sebuah film atau video? Tentu membutuhkan waktu yang panjang dan persiapan yang tidak singkat, apalagi jika mencermati bagian 'credit' yang berisi daftar nama orang-orang yang terlibat dalam pembuatannya, bagaimana caranya mengumpulkan orang-orang tersebut dan berkerjasama untuk membuat sebuah video. Salah satu bagian dalam pembuatan video adalah perekaman gambar dimana adegan demi adegan akan diperankan dan direkam menggunakan kamera dengan beragam jenis dan keunggulan teknologi yang dimiliki seiring perkembangan zaman yang semakin maju.
 

 

Perkembangan zaman yang menuju pada era global berbasis teknologi menuntut setiap orang untuk proaktif beradaptasi dengan perkembangan zaman. Berkaitan dengan teknologi digital, seseorang mesti memiliki beragam keterampilan khususnya dalam menggunakan produk-produk teknologi tinggi demi bisa mengakses berbagai media baik media informasi maupun sosial. Apalagi trend sekarang media sosial berbasis video begitu menyita perhatian orang dan mereka berlomba-lomba mengunggah video selain untuk dokumentasi juga potensial untuk bisa 'monetizing'.

 

Terlepas dari itu sebenarnya aktivitas merekam bukan hal baru karena sering dilakukan orang dewasa sampai ke anak-anak, dari acara formal sampai acara yang iseng-iseng saja. Bahkan sebenarnya setiap orang sudah menggenggam alat rekam yang ‘tertanam’ di gadget, namun tidak setiap orang paham bagaimana memaksimalkan fungsi yang ada untuk membuat hasil yang berkualitas. Dari poin ini Stube HEMAT Yogyakarta berinisiatif mengadakan pelatihan mahasiswa untuk menjawab kebutuhan mereka memproduksi video dengan memaksimalkan alat rekam dan teknik pengambilan gambar melalui gadget yang mereka miliki dalam Workshop #3 pada hari Sabtu, 29 Agustus 2020 di sekretariat Stube HEMAT Yogyakarta yang diikuti sembilan mahasiswa.

 

Dalam workshop sebagai kegiatan program Cyber Awareness, Stube bekerjasama dengan team Multimedia GKJ Mergangsan yang berpengalaman membuat video pendek dan memfasilitasi ibadah gereja secara online maupun streaming. Richard Panggabean, dari team Multimedia mengungkapkan bahwa teknik pengambilan gambar menjadi penting dalam pembuatan video karena setiap tampilan gambar itu memiliki makna tersendiri. Ia memaparkan teknik dasar pengambilan gambar berdasar sudut (angle) dan jarak (shoot), berdasar angle ada (1) Frog angle dan low angle (dari bawah) bermakna mengunggulkan atau membesarkan; (2) Eyes angle dilakukan sejajar dengan obyek; (3) High angle dan bird angle merupakan pengambilan gambar dari atas, yang memberi kesan kecil atau luasan jangkauan; (4) Over shoulder, biasanya untuk merekam percakapan antar obyek. Kemudian, berdasar jarak (shoot) terdiri dari Close Up, Medium dan Long, yang memiliki karakteristik masing-masing. Close up shoot dipakai untuk menegaskan ekspresi atau detil obyek, Medium shoot untuk menggambarkan obyek sedangkan Long shoot dipakai untuk menampilkan lingkungan sekitar obyek.

Pemaparan teknik dasar pengambilan gambar ini memberi pencerahan bagi para peserta, tidak lagi asal rekam, melainkan memiliki perencanaan dan pesan dari tampilan video yang dibuat. Teknologi alat rekam memang terus berkembang, tetapi yang utama adalah sumber daya manusianya untuk menghasilkan video yang baik  dengan terus mengupgrade diri. Jadi, mari manfaatkan teknologi, dan tingkatkan skills perekaman video untuk menghasilkan karya yang bermanfaat.


  Bagikan artikel ini

Semakin Kompetitif dengan Skills Editing Video Oleh Thomas Yulianto

pada hari Senin, 24 Agustus 2020
oleh adminstube
 
 
Dunia semakin berkembang menjadi serba digital dan berbasis dunia cyber sehingga mahasiswa dituntut mengikuti perkembangan zaman, salah satunya adalah keterampilan membuat video. Pemanfaatan video bukan hal baru bagi mahasiswa, apalagi adanya pandemik Covid-19 mengubah sistem perkuliahan menjadi online dan video. Ironisnya, tidak semua mahasiswa mengenal dan menguasai teknik pembuatan video karena beragam penyebab, seperti tidak memiliki alat rekam dan belum pernah memakai aplikasi yang ada.

 

Situasi ini mendorong Stube HEMAT Yogyakarta merespon pergumulan ini dengan One Day Workshop #2 pada hari Sabtu 22 Agustus 2020 di Sekretariat Stube HEMAT Yogyakarta sebagai bagian kegiatan program Cyber Awareness. Kegiatan ini menjawab kebutuhan mahasiswa dalam skills editing video, baik peserta yang sudah pernah melakukan editing video maupun peserta yang belum pernah melakukan editing sama sekali. Para peserta berharap bisa melakukan proses editing ini untuk menunjang keterampilan dirinya di waktu ke depan. Peserta Workshop #2 merupakan mahasiswa dari beragam wilayah di Indonesia dan berbagai kampus di Yogyakarta, seperti Eri Kristian, Yuli Triyani dan Daniel Prasdika, ketiganya berasal dari Lampung dan saat ini sedang menempuh studi di STAK Marturia Yogyakarta; Sarlota Wantaar dari Maluku Tenggara, studi di Pendidikan Fisika di UST, Irene Zalukhu dan Putri Laoli keduanya dari Nias dan sedang menempuh studi di APMD; Nona Mariani dari Adonara mahasiswi Pendidikan Biologi di Universitas Sanata Dharma, serta Satri dari Sumba Timur, mahasiswi Teologi di STAK Marturia.

Trustha Rembaka, koordinator Stube HEMAT Yogyakarta membuka acara dengan memutar beberapa video yang dihasilkan oleh aktivis Stube pada pelatihan sebelumnya. “Nikah atau Kuliah”, karya Linda dari Bengkulu dan “Jaga Jarak Tidak Berarti Menjauh” karya Satri dari Sumba, dan video edisi 75 tahun kemerdekaan Indonesia tentang Stube HEMAT Yogyakarta dan kiprah Multiplikator di berbagai wilayah di Indonesia. Ini membangkitkan semangat peserta untuk belajar dan menghasilkan video lainnya.

Dalam proses editing video, peserta dibagi menjadi tiga kelompok yang didampingi oleh Trustha, Thomas dan David sesuai dengan minat mereka terhadap aplikasi yang hendak dipelajari. Selain mendalami aplikasi editing video, mereka juga berusaha mengenal alat rekam, baik kamera maupun smartphone, juga alat pendukung lainnya seperti tripod, speaker dan microphone. Di akhir proses, peserta menghasilkan video pendek bertema bebas sebagai hasil workshop hari ini. Beberapa peserta mengungkapkan kesulitan adaptasi menggunakan aplikasi, sebagian lain masih belajar mengenal fungsi-fungsi aplikasi dan sebagian sudah relatif lancar mengedit video.

Ada share pengalaman, dari Nona Mariani yang ingin mendalami skills editing video yang berkaitan Biologi sesuai latar belakang studinya, yang bisa digunakan ketika presentasi suatu materi kuliah, sementara Daniel Prasdika mengungkapkan perlunya wawasan luas dan memiliki gambaran utuh untuk video yang akan dibuat. Berbeda dengan yang lain, Irene Zalukhu menyampaikan bahwa perlu kesabaran dan waktu tidak singkat untuk menghasilkan video yang berkualitas, tapi proses ini menyenangkan. Secara umum peserta yang belum tahu editing menjadi lebih tahu, dan mereka yang sudah tahu menjadi semakin tahu bagaimana mengedit video yang baik dan berkomitmen untuk membagi keterampilan olah video kepada teman-teman lainnya.

Workshop ini bukan titik akhir, tetapi titik pijak untuk melatih keterampilan diri dan menghasilkan karya video yang lebih baik lagi. Ayo para mahasiswa bekali diri dengan beragam keterampilan berbasis teknologi untuk merespon perkembangan teknologi dan berkompetisi di era digital.


  Bagikan artikel ini

Untaian Titik STUBE HEMAT Untuk Indonesia Maju 2020-2023

pada hari Senin, 17 Agustus 2020
oleh adminstube

Bersyukur atas 75 tahun kemerdekaan Indonesia dan menuju 27 tahun Kerja dan Pelayanan Stube HEMAT di Indonesia, merapatkan barisan alumni untuk Indonesia MAJU dan Berdaya Saing di Dunia Global.

 


  Bagikan artikel ini

‘Melek’ Dunia Cyber: Membidik Peluang dan Tantangan Oleh Irene Zalukhu

pada hari Sabtu, 15 Agustus 2020
oleh adminstube

Teknologi informasi berkembang seiring dengan kemajuan zaman dan sebagian orang bisa menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi. Dunia cyber merupakan kecanggihan media elektronik dalam jaringan teknologi yang memberikan kemudahan bagi siapapun dan berpengaruh besar dalam kehidupan. Didorong dengan kemajuan teknologi, terutama internet, tersedia ruang publik (baca: media sosial) yang lebih luas. Namun, sekalipun teknologi sudah semakin maju ada saja masyarakat yang ‘gagap’ teknologi bahkan tidak tahu bagaimana memanfaatkan kemajuan teknologi.

Berangkat dari itu Stube-HEMAT Yogyakarta yang ‘concern’ pada pengembangan sumber daya manusia, khususnya mahasiswa, membuka ruang belajar ‘melek teknologi melalui One Day Workshop: Cyber Awareness bertema ‘Melek’ Dunia Cyber: Peluang dan tantangan pada hari Jumat 14 Agustus 2020 di Ruang Pertemuan GKJ Mergangsan, Yogyakarta bekerjasama dengan tim Multimedia GKJ Mergangsan. Sepuluh mahasiswa dari berbagai kampus mengikuti pelatihan yang mengundang praktisi yang kompeten di bidangnya. Dalam pembukaan Pdt. Em. Bambang Sumbodo, M.Min, board Stube HEMAT mengungkapkan dari Kolose 1:16 “karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia”. Demikian juga kemajuan teknologi apa pun harus diperuntukkan untuk memuliakan nama Tuhan dalam kehidupan. Selanjutnya Ariani Narwastujati, selaku direktur eksekutif memaparkan pengenalan Stube HEMAT lewat video pendek tentang ‘Stube HEMAT menuju usia 27 tahun berkiprah di Indonesia’ bersamaan dengan peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-75. Video tersebut menggambarkan dinamika perkembangan Stube HEMAT yang saat ini tersebar dalam 8 titik pelayanan di seluruh Indonesia yang dijalankan oleh para alumni yang tergabung dalam multiplikator Stube HEMAT.

 

Di bagian materi, Daniel Duta Nugraha dan tim Multimedia GKJ Mergangsan mengungkap bagaimana kondisi gereja dan jemaat di awal pandemik dimana ibadah di gereja dialihkan ke rumah masing-masing sebagai antisipasi sebaran virus Corona. Mau tidak mau gereja harus memanfaatkan teknologi untuk melayani ibadah secara online. Mereka menghadapi kesulitan dan keterbatasan teknologi tetapi berbekal kemauan dan pengorbanan tenaga, pikiran, waktu dan dana mereka berhasil mengatasi dan menemukan kreativitas dalam mengemas video ibadah, live streaming dan video-video renungan lainnya. Pandemik Corona juga memukul ekonomi jemaat, jadi gereja bergerak untuk mempromosikan usaha jemaat dengan membuat ‘market place’ online melalui WA group yang menjual makanan dan produk lainnya dengan nama Gandeng Gendong yang dikelola oleh Drs. Bambang P. Hediono, MBA, majelis GKJ Mergangsan dan didukung oleh Komisi Komunikasi Massa (KOKOMAS).
Pemateri selanjutnya, Yohanes Andri Wardhana, praktisi teknologi informasi, memaparkan topik tentang Memanfaatkan Cyber untuk Pengembangan Diri: Memperluas jaringan, Mempromosikan produk dan jasa dan Menambah income alternatif. Ia memfasilitasi peserta untuk memetakan dunia cyber dan melihat peluang dan tantangan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Ia juga mengupas hal-hal penting dari dunia cyber, dari pengenalan, kemajuan teknologi dan apa yang harus dilakukan generasi muda saat ini untuk bersiap diri menyambut peluang pekerjaan di dunia cyber.

Kegiatan ini membuka wawasan tentang kemajuan teknologi dan tuntutannya seperti diungkap oleh salah satu peserta David, “dari workshop ini saya mendapat bekal bagaimana melihat kebutuhan ke depan, sehingga tahu skill apa yang harus ditambah supaya bisa kompetitif. Selain itu harapannya ada kegiatan Stube berupa praktek“.

Kunci ‘melek’ dunia cyber berada di tangan kita, tinggal bagaimana kita bersikap, mau bergerak atau diam dan dilibas oleh teknologi yang berkembang dengan cepat. Mahasiswa, ayo kembangkan dan bekali diri dengan skills berbasis teknologi sekaligus merespon permasalahan sosial berupa gap penguasan teknologi di masyarakat melalui ‘transfer’ pengetahuan kepada orang lain.***


  Bagikan artikel ini

Program Stube-HEMAT Yogyakarta   dan Program Multiplikasi Stube HEMAT di Sumba, Bengkulu, Alor, Raja Ampat dan Lampung  

pada hari Rabu, 1 Juli 2020
oleh adminstube
Dengan tema
Student Empowerment:
Multiplying Empowerment through
Stube HEMAT Multiplicators
Periode Juli 2020 – Juni 2023
 
Stube-HEMAT Yogyakarta sebagai sentral dengan jangkauan lima wilayah,
yaitu Sumba, Bengkulu, Alor, Raja Ampat dan Lampung
 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


  Bagikan artikel ini

Menyampaikan Pesan dengan Video  

pada hari Senin, 8 Juni 2020
oleh adminstube
 
 

 

Komunikasi menjadi kebutuhan manusia untuk berinteraksi dengan manusia lainnya dan seiring zaman yang berkembang komunikasi semakin dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan dan pekerjaan sehingga berkembang menjadi beragam cara dan bentuk, bahkan melampaui batasan ruang dan waktu. Kemampuan komunikasi yang baik akan membantu seseorang mengungkapkan gagasan, kegelisahan dan pemikiran. Dari pemikiran ini Stube-HEMAT Yogyakarta memfasilitasi mahasiswa dengan pelatihan Communication Skills online yang melatih mahasiswa memiliki keterampilan berkomunikasi untuk mengungkapkan ide-ide mereka dan menyampaikannya melalui video. Ada duapuluh tiga mahasiswa dari berbagai daerah dan program studi mengikuti pelatihan ini dan menghasilkan duapuluh satu video dalam tiga kategori:
 
Kategori Masalah Sosial
1. 4S - Sumba Syantik Susah Sinyal, oleh Apronia, https://youtu.be/r-d2VrnDGIQ
2. Nebeng di teman, oleh Elin, https://youtu.be/jfHHYsPPcJg
3. Pilih Nikah atau Kuliah, oleh Linda, https://youtu.be/NkA5CutSQNw
4. Permasalahan di Gunung Kidul, oleh Adnan, https://youtu.be/3OdG5Xl_pQw
5. Di antara Rindu & Corona, oleh Jemri, https://youtu.be/0cGwh8IUJZg


Kategori Covid-19
1. Efek Karantina, oleh Natra https://youtu.be/6i-IFlCbmwg
2. Ose Pahlawan Karena Seng Pulang Kampung, oleh Marcho & Lambert, https://youtu.be/OoUudEZKLUM
3. Puao Terkini Covid 19, oleh Sindy, https://youtu.be/WvrRGPTb8Ic
4. Jaga Jarak Bukan Berarti Menjauh, oleh Satry, https://youtu.be/tcfrLKAMmeQ
5. Dicium Aspal Baru Tau Rasa, oleh Aldo, https://youtu.be/7Gg8uSVM-nI
6. Mahasiswa Sumba Waspada Covid, oleh Trisno, https://youtu.be/ngjE93tHHbc
7. Dampak Covid-19 Dalam Industri Pariwisata, oleh Ine, https://youtu.be/bCmSVN_UFRo
8. Salah Kaprah Pemahaman Istilah-Istilah Dalam Covid-19, oleh Nia Oy, https://youtu.be/oqq6rlPR2eM
9. Covid-19 Bukanlah Penghalang, oleh Alen, https://youtu.be/hSPzUYJOu_Y
10. Corona Sumba, oleh Deriatus Awa, https://youtu.be/ul8sngloxQo
11. Haruskah Mudik Saat Pandemi Covid 19?, oleh Irene, https://youtu.be/fL6nrXjmt_A


Kategori Bebas
1. Top 3 lagu di rumah saja, oleh Wanti https://youtu.be/rwPDVJ1kb6E
2. Perubahan karena COVID, oleh Wulan, https://youtu.be/M8B8-82_3Ng
3. Tips Mengatasi Stress di Rumah Aja, oleh Gilang & Lusi, https://youtu.be/ltJH9EnJTYc
4. Desa Pluneng Melewati Cobaan Covid-19, oleh Aistia, https://youtu.be/adoZLDEcvuI
5. Ketaatan Di Tengah-tengah Covid 19, oleh Rivaldo, https://youtu.be/Wj3nOp2R05c


 
Proses pelatihan dan pendampingan untuk mengasah kemampuan berkomunikasi sampai pada pembuatan video meninggalkan kesan kuat bagi peserta, seperti yang diungkap oleh Ellyn atau Aprilian Sari Tamu Ina, “saya sangat senang ikut pelatihan ini karena bermanfaat dan belajar banyak hal tentang communication skills, belajar bersama dan berkenalan dengan teman baru. Yang paling berkesan ketika membuat video prosesnya menantang dan berkali-kali ‘take’ video karena kesalahan kecil dan itu lucu sekali. Pelatihan ini memberi manfaat saya lebih percaya diri berbicara di depan umum dan tidak rasa takut lagi”

Penasaran dengan video lainnya? Silahkan klik tautan-tautan yang ada dalam daftar judul video di atas. (TRU).
 

  Bagikan artikel ini

Mengambil Kesempatan Belajar dan Mengedukasi Refleksi Peserta Communication Skills Tahun 2020 gelombang 4  

pada hari Rabu, 3 Juni 2020
oleh adminstube


 

Perjumpaan saya dengan Stube-HEMAT di Bengkulu berlangsung spontan, ketika itu seorang rekan kuliah menawarkan saya untuk mengikuti diskusi bertema "51 Tahun Bengkulu: Perkembangan dan Kemajuannya dalam Bidang Ekonomi" yang diadakan oleh Program Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu. Ini menarik perhatian saya sebagai mahasiswa yang kuliah ekonomi. Dari diskusi tersebut ditemukan berbagai realita masalah ekonomi yang terjadi di Bengkulu dan salah satu yang saya ungkapkan di sana adalah perekonomian penduduk asli yang tidak semakmur pendatang karena mereka cenderung ingin mendapat uang cepat dengan menjual tanah kepada pendatang, sehingga lama kelamaan mereka kehilangan lahan kerja. Ini menjadi awal keterlibatan saya dengan Program Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu.
 

 

 

Saya Linda Titiwijayanti, dari kecamatan Argamakmur, kabupaten Bengkulu Utara dan saat ini kuliah di fakultas Ekonomi program studi Akuntansi di Universitas Negeri Bengkulu. Selain kuliah dan bertani, saya berteman akrab dengan buku dan pena, lebih suka mendengar, berdiskusi dan mengungkapkan gagasan melalui tulisan daripada berorasi menyampaikan ide di jalan. Bukankah dengan tulisan, kita tetap bisa berdemokrasi dan mengungkapkan aspirasi?

 

 

 

Saat ini saya aktif menjadi kontributor tulisan di Redaksi Simple-B.online yang diasuh oleh Yohanes Dian Alpasa, S.Si dan Yedija Manullang, yang lebih dahulu bergabung dengan Stube-HEMAT. Kegiatan terbaru yang saya ikuti yaitu program Comunication Skills Stube-HEMAT Yogyakarta yang berlangsung selama delapan hari pembimbingan dalam kelompok kecil bersama dua teman dari Gunungkidul dan Klaten yang dilatih oleh Trustha Rembaka dan Putri Laoli. Saya menemukan teknik berkomunikasi yang baik mulai dari cara bicara, ‘eye contact’, dramatisasi dan juga strategi membangun percaya diri dan promosi. Di bagian akhir pelatihan, masing-masing  peserta membuat sebuah video sebagai buah pelatihan Comunication Skills. Dalam pelatihan saya baru menyadari bahwa ternyata lebih sulit berbicara di depan kamera daripada berbicara langsung di depan audiens, karena saya sendiri lebih percaya diri jika tanpa kamera. Namun dari materi dan praktek pelatihan saya bisa mengatasi ketakutan saya akan kamera.

 


 

Video saya mengangkat masalah tingginya angka pernikahan dini di Bengkulu yang menempati urutan ke sepuluh di Indonesia berdasar data BPS Nasional tahun 2018. Dengan menikah dini, mereka mengesampingkan pendidikan yang sangat penting guna meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Kesulitan yang saya hadapi dalam proses pembuatan video ini yaitu mencari waktu yang tepat, karena saya juga harus melakukan pekerjaan rumah, membantu orang tua bekerja di kebun sayur, sementara saya juga harus memperbaiki naskah beberapa kali. Bahkan saya harus mensiasati waktu luang dan tenaga untuk merekam video, yakni menjelang senja. Namun pada akhirnya saya puas dengan hasilnya. Silahkan tonton di link https://youtu.be/NkA5CutSQNw

 


 

Dari postingan video tersebut, saya menerima respon baik dari teman-teman yang menyaksikannya. Mereka terhibur dan buat saya yang paling penting mereka teredukasi. Adalah hal yang berkesan bagi saya bisa menyampaikan pesan positif baik melalui video maupun tulisan. Tunggu video saya saya selanjutnya. Terima kasih Stube-HEMAT. Semangat berkarya bagi kita semua! (Linda Titiwijayanti).


  Bagikan artikel ini

Online Training: Berkomunikasi Menyatukan Ide   Pendampingan Pelatihan Communication Skills (2)  

pada hari Selasa, 2 Juni 2020
oleh adminstube
Online training memberi tantangan tersendiri. Saat berkomunikasi dengan peserta jarak jauh yang berbeda zona waktu dan latar belakang budaya, berulang kali harus mengatakan hal yang sama, karena jaringan tersendat, hidup-mati, dan mengulang untuk memastikan apakah maksud yang disampaikan sudah pas. Ditambah lagi menyatukan ide untuk dilahirkan dalam satu produk video, benar-benar menguras ide-ide kreatif yang dimiliki. Rata-rata peserta masih pemula dan belum memiliki pengalaman memproduksi video.

 

 

 

Wilton Paskalis. Hal utama dalam Communication Skills adalah berbicara di depan umum dan ini menjadi tolok ukur yang harus dicapai seseorang dalam pelatihan ini. Saya menemukan karakter bicara peserta yang berbeda-beda dan unik. Ini menujukkan kekhasan yang menggambarkan asal-usul peserta dari beragam daerah di Indonesia, jadi penyesuaian diri mutlak harus dilakukan oleh pendamping maupun peserta, kemudian saling mengisi dan membangun keterhubungan sehingga pelatihan dapat berjalan dengan baik. Saya merasa senang ketika menemukan tips berkomunikasi yang baik dan bahkan nilai-nilai tanggung jawab, kerjasama, disiplin, profesional dan kesabaran. Saya percaya ini semua bukan suatu kebetulan tetapi bagian dari roda kehidupan.

 



 

Thomas Yulianto. Saya bersyukur bisa menjadi berkat bagi peserta pelatihan Communication Skills Stube-HEMAT Yogyakarta, sehingga mereka yang awalnya masih takut dalam berkomunikasi bisa mengalahkan rasa takutnya, bahkan percaya diri untuk berkomunikasi. Masing-masing peserta memiliki pengalaman pribadi dan saya belajar hal yang baik dari pengalaman mereka dengan beragam latar belakang dari Aceh sampai Kupang. Harus diakui bahwa ada peserta yang kurang antusias mengikuti tahapan pelatihan karena berbagai alasan dan peserta sulit dihubungi karena jaringan komunikasi yang tidak stabil, kegiatan kampus dan lainnya. Saya belajar banyak hal, antara lain sabar mendampingi peserta dengan beragam karakter orang, tetap produktif di tengah Pandemi Covid-19. Intinya, dengan belajar di mana pun, kapan pun dan kepada siapa pun, maka kita akan berhasil dan menjadi orang yang berdampak positif.

 



 

Erik Poae. Hal pertama yang saya pikirkan saat mendampingi peserta pelatihan Communication Skills adalah tantangan untuk lebih percaya diri dibandingkan peserta. Memang saya pernah mengikuti pelatihan dengan topik yang sama beberapa tahun lalu tetapi sebagai peserta secara langsung, bukan online. Dengan bekal pengalaman ini saya lebih mantap menjadi pendamping. Setiap tahapan berlangsung 6-8 hari, berinteraksi bersama mahasiswa dari berbagai daerah di Indoensia dengan beragam karakternya. Proses ini juga membentuk saya menjadi trainer yang baik dengan belajar menyesuaikan diri dalam segala kondisi yang ada. Terkadang rasa tidak percaya diri muncul karena saya berpikir mereka memiliki kepandaian lebih. Selama proses berjalan, saya senang karena terbukti apa yang saya pelajari menjadi hal baru bagi mereka. Ini membuat saya makin mengerti bahwa kita tidak boleh takut mencoba hal-hal baru terutama untuk mengasah soft-skills dan hard-skills kita.

 


Pengalaman-pengalaman ini menjadi pembelajaran bersama, apakah sebagai pendamping maupun peserta. Dengan tekad untuk melakukan yang terbaik di setiap kesempatan yang ada tentu menghasilkan pengaruh positif demi peningkatan kualitas sumber daya manusia. (TRU).


  Bagikan artikel ini

Online Training:
Merespon Pandemi Covid-19 Pendampingan Pelatihan Communication Skills (1)

pada hari Selasa, 2 Juni 2020
oleh adminstube
 

 

 

 

 

Pelatihan Communication Skills Stube-HEMAT Yogyakarta berlangsung di tengah pandemi Covid-19 dengan menerapkan pelatihan online untuk mengurangi interaksi fisik sesuai dengan protokol kesehatan WHO. Metode online membuka kesempatan mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia menjadi peserta. Pelatihan Communication Skills dilakukan secara bertahap hingga 4 gelombang sesuai antusias peserta. Akhirnya, dua puluh tiga mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia ikut ambil bagian dalam pelatihan ini dan menghasilkan dua puluh satu video pendek edukasi dengan beragam topik. Berikut adalah pengalaman para pendamping pelatihan.

 

 

 

Trustha Rembaka. Pelatihan Communication Skills Stube-HEMAT Yogyakarta secara online menjadi strategi taktis merespon pandemi Covid-19. Adapun tantangan yang pertama berkaitan dengan keterampilan komunikasi itu sendiri tidak cukup dipahami saja, tetapi juga perlu dipraktekkan. Kedua, teknik online berkaitan erat dengan ketersediaan jaringan komunikasi baik di lokasi pelatih maupun peserta. Kenyataan dalam pendampingan tidak berbeda dengan perkiraan awal, yakni perlu interaksi tatap muka untuk transfer pengetahuan berupa praktek berbicara dan memperbaiki teknik berbicara. Selain itu juga meyakinkan kepercayaan diri peserta melakukan terobosan untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi mereka. Hal yang sangat berkesan adalah perjuangan peserta mengatasi hambatan ketiadaan jaringan listrik dan akses internet. Yang bersangkutan harus berjalan kaki pagi sejauh 4 km pulang pergi untuk mengisi energi ‘charge’ handphone di tempat jaringan listrik terdekat, dan menjelang sore naik bukit untuk mendapatkan sinyal untuk berkomunikasi dengan videocall. Betapa hebatnya mereka berjuang untuk meningkatkan kualitas diri. Selain itu, pelatihan ini mendorong peserta ‘melompati’ hambatan diri. Awalnya mereka menganggap diri mereka tidak bisa berbicara di depan publik tetapi melalui pelatihan ini mereka dilatih berbicara dan bahkan menghasilkan video.

 


 

 

Sarloce Apang. Pemanfaatkan media sosial WhatsApp dan Facebook berupa kelas online kepada mahasiswa menjadi hal pertama yang dilakukan dalam pelatihan Communication Skill Stube-HEMAT Yogyakarta. Materi pengambilan video di lapangan menjadi tantangan tersendiri, karena tidak setiap peserta paham teknik pengambilan video. Namun demikian, saya juga belajar membuat materi yang mudah dipahami oleh pemula dan mengarahkan peserta membuat narasi yang detail sehingga mudah dipahami saat membaca. Selanjutnya akses internet yang belum merata di daerah menjadi kendala tersendiri, namun peserta tetap semangat melakukan videocall atau aktif di media sosial. Saya selalu menanti hasil rekaman video yang mereka kirimkan dan puas dengan hasilnya. Bagi mahasiswa yang memiliki akses internet bagus, pelatihan ini memantik mereka berkreasi dan produktif walau kuliah dari rumah. Saya pun secara tidak langsung terus meng’upgrade’ kemampuan diri saya.

 



 

 

Putri Laoli.  Ketika pandemi Covid 19 melanda, saya berpikir tidak bisa bekerja seperti biasa, tapi nyatanya melalui WhatsApp group program Communication Skills secara online bersama team Stube-HEMAT Yogyakarta dapat terlaksana. Bahkan pelatihan ini mendapat respon tidak hanya mahasiswa di Yogyakarta, tetapi juga dari Malang, Klaten dan bahkan dari luar Jawa seperti Kepulauan Aru, Sorong, Kupang, Halmahera, Sumba dan Bengkulu. Selain membahas keterampilan berkomunikasi, pelatihan ini juga menghasilkan video pendek edukatif tentang Covid19 dan realita sosial di sekitar peserta tinggal. Ada nilai-nilai kehidupan yang saya temukan dan refleksikan yakni ketika situasi sulit menghimpit, maka seseorang harus cerdas menyesuaikan diri dengan keadaan dan mendorong daya kreatif memanfaatkan potensi lain yang tidak terpikirkan sebelumnya. Ini butuh rasa percaya diri untuk mencoba sesuatu yang baru dengan bertanggungjawab sekaligus mentransfer pengetahuan dan sikap positif kepada orang lain. Jadi, dalam keadaan sulit apapun, jika pantang menyerah maka kita akan menjadi pemenang! (TRU).

 

 


  Bagikan artikel ini

Jiwa Dan Komunikasi:
Sebuah Refleksi Kontemplasi Refleksi peserta Communication SkillsTahun 2020 gelombang 3

pada hari Rabu, 20 Mei 2020
oleh adminstube
Jiwa Dan Komunikasi:
Sebuah Refleksi Kontemplasi

 

Refleksi peserta Communication Skills

 

Tahun 2020 gelombang 3

 

 

 

 

 

 

Pada bulan Februari 2018, untuk pertama kalinya saya pergi ke psikolog setelah mencoba mengumpulkan keberanian dalam diri saya. Singkatnya setelah saya mendapat beberapa kali konsultasi, saya didiagnosa mempunyai gejala psikosomatis. Saya bahkan tidak hafal ejaan yang benar, tidak mengerti dengan segala artikel dokter tentang gejala tersebut yang terpampang pada laman browser saya. Yang saya pahami, apa yang menjadi beban pikiran saya, akan berimplikasi pada reaksi tubuh. Saya mengalami seperti pusing, mual, keringat dingin, panas hingga (maaf) muntah. Sebagai manusia biasa, berbagai reaksi penolakan bermunculan pada saat itu. Saya mulai menghubung-hubungkan hal-hal regresif selama ini akibat dari stress saya tersebut, termasuk di antaranya kebutuhan yang paling mendasar; berkomunikasi.

 

“Pantas selama ini cara ngomong saya jelek, banyak missing, ae...,ae..., nya.”

 

“Dalam kepala saya ngomongnya A, keluarnya Z. Jauh banget!”

 


 

Hampir setiap hari perkuliahan ada presentasi, berbicara di depan kelas, namun tidak sejalan dengan kondisi saya pada saat itu. Berbicara tinggal berbicara, tapi tidak bagi saya. Harus beberapa jam sebelumnya menyiapkan kondisi untuk benar-benar siap penuh. Satu hal yang saya sadari, bahwa berkomunikasi secara ‘asal berbicara’ dengan berkomunikasi sebagai keahlian adalah hal yang berbeda. Siapapun bisa saja ‘asal berbicara’ untuk memenuhi kebutuhan komunikasinya. Gossipmongers, salah satunya. Namun keahlian untuk berkomunikasi yang didasari atas tujuan tertentu, prosesnya tidak instan. Namun siapapun dapat mempelajarinya. Kalau mau!

 


 

Keahlian komunikasi untuk tujuan tertentu seperti public speaking yang memenuhi kebutuhan berelasi secara profesional, sudah harus menjadi kesadaran bersama. Situs laman pengembangan diri profesional muda, Glints Indonesia, menempatkan nomor dua kemampuan komunikasi yang baik dan nomor tujuh kemampuan public speaking dalam sepuluh kemampuan yang harus dimiliki oleh profesional muda. Melihat pentingnya kemampuan tersebut, membangun kesadaran untuk mau belajar, ditempa melalui berbagai platform yang aksesibel, sudah seharusnya bukan jadi alasan untuk nggak bisa ‘pinter ngomong’, ya.

 


 

Berbicara mengenai platfom, selama pandemi ini beragam platform belajar secara digital yang aksesibel. Saya mengikuti beberapa di antaranya untuk mengisi waktu luang termasuk pelatihan Communication Skills dari Stube-HEMAT Yogyakarta. Sebuah kesempatan yang baik dimana pada saat pandemi, intensitas berkomunikasi secara langsung sangat terbatas. Tak ayal, secara tidak sadar kemampuan kita berkomunikasi pun mengalami downgrade. Saya bersyukur mengikuti mentoring ini. Materi yang diberikan pun dengan metode diskusi dua arah. Kami bisa saling berpendapat, saling bertukar masukan bersama mentor. Bahkan dalam kesempatan ini, saya bisa memberi ide saya terkait kesehatan jiwa berangkat dari isu yang saya alami sendiri, terlebih saat pandemi seperti ini. Bagaimana pun, saya menjadi belajar menghargai saat isu yang sangat dekat dalam kehidupan saya boleh dipakai untuk disebarluaskan, yang bisa disaksikan di link
https://youtu.be/ltJH9EnJTYc

 

 

 

Lantas, selain sebagai mental health survivor sekaligus pembelajar komunikasi, dalam mentoring ini menyampaikan pesan secara tersirat bahwa belajar komunikasi itu tidak terbatas hanya secara keilmuan formal saja. Merespon kebutuhan pengembangan diri yang ‘menuntut’ setiap individu harus berjalan dinamis diperlengkapi, terlatih dengan keahlian yang menunjang. Sudah tidak dalam lingkup formal saja, bahkan dalam pekerjaan-pekerjaan akar rumput seperti komunitas pun merespon kepentingan ini sehingga mewadahinya sebagai tempat belajar. Sebuah apresiasi untuk Stube-HEMAT Yogyakarta karena menumbuhkan kesadaran ini. Apresiasi yang sama untuk segala wadah pesan-pesan kebaikan boleh mudah diakses termasuk kesempatan untuk saling menguatkan pesan kesehatan jiwa yang menjadi perhatian saya. Mengelevasi pengetahuan tentang komunikasi yang dapat diaplikasikan untuk dan oleh segala lini.

 

 

 

Sudah saatnya, kesadaran berkomunikasi tidak dihitung secara kuantitas saintifik saja. Komunikasi di dalamnya memuat sebagai keahlian dalam bernegosiasi, berbicara di depan publik, berdiskusi, berdinamika seharusnya menjadi budaya yang senantiasa dinamis. Bahkan melalui komunikasi individu bisa dapat berkembang citranya. Semua memiliki akses untuk belajar. (Gilang Herdyan S)

 

 

*) Gilang Herdyan Prastomo Suseno, adalah mahasiswa Public Relation UPN Veteran Yogyakarta, berasal dari Boyolali Jawa Tengah, selain di Stube-HEMAT, Gilang aktif di Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC).


  Bagikan artikel ini

Melawan Keterbatasan demi Kemajuan Refleksi peserta Communication Skills Tahun 2020 gelombang 3

pada hari Selasa, 19 Mei 2020
oleh adminstube
 

 

 

 

 

 

 

Saya Apronia Dai Duka, dari desa Praibokul kecamatan Matawai La Pawu kabupaten Sumba Timur. Saat ini sedang menempuh pendidikan D3 Keperawatan di Waingapu Sumba Timur. Bisa kuliah adalah kesempatan yang sangat berharga dan berkat Tuhan karena ketika masih SMA saya tidak pernah berpikir untuk bisa melanjutkan di keperawatan, di tengah kekuatiran saya tidak mungkin lolos di antara calon mahasiswa yang ikut tes pasti pintar-pintar, sedangkan kemampuan saya terbatas. Selain itu, orang tua saya tidak mampu secara ekonomi karena untuk kebutuhan sehari-hari pun terbatas. Kenyataannya dengan kesungguhan hati, kemauan belajar dan dukungan orang tua akhirnya bisa kuliah sampai ke jenjang akhir saat ini.

 

 

 

 

 

 

 

Perjuangan belum selesai, bahkan akhir-akhir ini bersamaan dengan merebaknya Covid-19 di belahan wilayah dunia termasuk di Sumba Timur, memunculkan berbagai situasi baru, seperti sosial (social distancing), pembatasan fisik (physical distancing) dan beraktivitas dari rumah (work/study from home). Bagi sebagian orang peraturan yang mengharuskan kerja dan belajar dari rumah itu tidak menjadi masalah bagi mereka yang suka di rumah, tetapi sebagian orang lainnya menganggap itu hal yang membosankan apalagi kalau terjadi dalam waktu lama. Kegiatan perkuliahan pun dilakukan secara online, jadi saya memilih kembali ke kampung halaman meskipun saya menyadari ada tantangan besar dengan kuliah online ini. Betapa tidak, di kampung saya belum ada listrik jadi saya harus berjalan kaki kira-kira 4 km pulang pergi untuk ‘charge’ HP saya, memang capek juga setiap hari. Belum lagi saya harus naik bukit, berpanas-panas di terik matahari demi tersambung jaringan internet tetapi setidaknya saya bisa membantu orang tua bekerja di kebun, namun ternyata aturan di kampung sama seperti di kota, dihimbau untuk di rumah saja.

 

 

Akhirnya saya membaca informasi kegiatan Stube-HEMAT Yogyakarta mengadakan pelatihan secara online, jadi saya tertarik untuk mendaftar mengikuti pelatihan Communication Skills dan akhirnya saya terpilih dan senangnya luar biasa. Sulitnya naik bukit untuk mendapat sinyal internet malah menjadi ide dalam video saya di pelatihan ini. Saya beberapa kali mengikuti pelatihan Stube-HEMAT Sumba, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda, yaitu dilakukan secara online, melihat masalah sosial yang ada di sekitar saya dan membuat video. Hasil video saya bisa ditonton melalui link https://youtu.be/r-d2VrnDGIQ

 

 

 

 

 

 

 

 

Pelatihan ini benar-benar menantang karena harus menyesuaikan perbedaan waktu di Sumba dan Jawa (karena ada peserta di satu kelompok yang tinggal di Malang, Jawa Timur), pagi sampai siang pergi ke kecamatan untuk charge hp dan siang sampai sore naik ke bukit panas-panas untuk videocall online, tapi saya senang menjalaninya. Stube Hemat membuka kesempatan saya bertemu dengan orang-orang yang memotivasi dan mendapat pengalaman pengetahuan sekaligus berbagi cerita tentang daerah masing-masing, awalnya saya belum percaya diri ketika berbicara, berubah menjadi berani untuk berbicara dan tidak ragu mengungkapkan masalah kesenjangan yang ada di sekitar kampung halaman saya, seperti kondisi jalan yang rusak, kesulitan mendapat air bersih, belum ada listrik dan tidak terjangkau jaringan komunikasi. Ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan masyarakat Sumba Timur untuk meningkatkan kemajuan daerah.

 

 

 

 

 

 


Menjadi sukses adalah impian setiap orang namun tak sedikit orang ingin sukses dengan cara yang mudah dan instan. Saya setuju dengan pernyataan bahwa sukses itu butuh proses bukan banyak protes. Ya, untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan memang butuh perjuangan dan perjuangan itu tidak mudah. Bagi saya, sukses itu tidak mengenal tempat dan waktu. Kapan dan di mana saja saya berada ketika saya punya niat untuk belajar dan terus belajar pasti saya bisa. Terima kasih Stube Hemat. (Apronia Dai Duka).


  Bagikan artikel ini

Menjadi Lebih Dari Yang Saat Ini  Refleksi peserta pelatihan Communication Skills

pada hari Senin, 18 Mei 2020
oleh adminstube
 

 

 

 

Awalnya saya belum mengenal apa itu Stube-HEMAT Yogyakarta ketika Kristiani Pedi, penggerak komunitas Ana Tana di mana saya aktif di dalamnya, bercerita tentang pengalamannya mengikuti kegiatan di Stube-HEMAT Yogyakarta. Kemudian ia menginformasikan kepada saya pelatihan Communication Skills yang diadakan Stube-HEMAT Yogyakarta. Saya langsung ok, karena saya sedang mencari kegiatan positif yang dapat mengisi waktu luang saya, selain kuliah online, selama karantina mandiri untuk mengurangi penyebaran Covid-19, daripada rebahan, lebih baik mengupayakan sesuatu yang positif, iya kan?

 


 

 

Saya, Rexine Yeralvany Riwu, berasal dari Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur yang sedang belajar Destinasi Wisata di Diploma Kepariwisataan Universitas Merdeka Malang. Dalam benak saya pulau Sumba atau yang sering disebut The Hidden Paradise merupakan pulau yang kaya akan potensi alam dan budayanya, telah berkembang menjadi salah satu daerah tujuan wisata yang wajib dikunjungi wisatawan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara. Keunikan Sumba inilah yang membuat saya tertarik untuk bekerja dalam bidang kepariwisataan. Selain masih minimnya pekerja pariwisata, mengembangkan kesejahteraan masyarakat melalui industri pariwisata menjadi impian saya. Saya memilih Malang, khususnya Universitas Merdeka Malang tempat saya menempuh pendidikan karena memiliki sarana dan prasarana belajar yang memadai, juga suasana kotanya yang asri sehingga terkesan aman bagi seorang perantau seperti saya.



Pelatihan Communication Skills dari Stube HEMAT sudah mengasah kemampuan berbicara, bahkan di akhir pelatihan ini saya ditantang untuk menghasilkan video pendek yang menghibur (parodi) namun tetap mengedukasi berkaitan Covid-19 atau realitas sosial. Ini sesuatu yang baru dan tentunya merupakan tantangan yang sulit bagi saya karena saya sendiri adalah tipe orang yang serius dan “takut kamera”, saya tidak pandai berakting lucu. Setelah melalui pemikiran dan diskusi yang cukup matang, saya berhasil mengkonsepkan video parodi mengenai Covid-19 dan realitas sosial sekaligus dengan mengusung tema “Dampak Covid-19 dalam Industri Pariwisata”, sebuah video parodi edukasi yang modern dengan konsep yang disukai remaja-remaja milenial. Proses pembuatan video merupakan tantangan yang sesungguhnya bagi saya. Sangat sulit, bahkan saya hampir menyerah. Untungnya, saya terus menerima asupan semangat dari pembimbing saya, Trustha Rembaka dan Putri Laoli, ini hal sederhana namun sebenarnya sangat membantu. Akhirnya saya berhasil membuat video pendek dengan empat adegan sekaligus, tidak sempurna memang, namun membawa perubahan yang sangat besar bagi saya. Terkadang musuh terbesar adalah diri sendiri, dan saya semakin bersemangat mengalahkan sesuatu yang saya anggap “saya tidak mampu”. Berkat ide dan masukan pendamping dan modifikasi ide, lahirlah adegan-adegan untuk video tersebut. Setelah melalui proses editing yang cukup melelahkan, video akhirnya selesai dan diupload di YouTube Channel Stube-HEMAT Yogyakarta.
 

 

 

Pengalaman adalah guru terbaik, saya menemukan sesuatu yang berharga dari pengalaman saya sebagai peserta pelatihan Communication Skills: If you only do what you can do, you’ll never be more than you are now  (jika kamu hanya melakukan apa yang dapat kamu lakukan, kamu tidak akan pernah menjadi lebih baik dari kamu saat ini). Sesuatu yang dulunya saya anggap saya tidak mampu, ternyata dapat saya selesaikan dengan baik. Terima kasih, Stube-HEMAT. (Rexine Yeralvany Riwu).


  Bagikan artikel ini

Meninggalkan Zona Nyaman untuk Berkembang   Refleksi peserta Communication Skills Tahun 2020 gelombang 2

pada hari Senin, 4 Mei 2020
oleh adminstube
 

 

 

 

 

 

 

Awalnya saya tidak mengenal apa itu Stube HEMAT Yogyakarta, bahkan ketika teman-teman di kampus banyak bercerita tentang Stube HEMAT dan kegiatannya. Saya abaikan saja dan berpikir, “Ah, buat apa ikut.” Pada akhirnya saya bertemu langsung dengan Trustha Rembaka dan berbincang banyak tentang kuliah dan pengembangan diri termasuk informasi tentang di Stube HEMAT Yogyakarta, namun yang sangat berkesan adalah Trustha bukan dari Sumba tapi begitu mengenal Sumba daerah asal saya, bahkan dari ceritanya beberapa teman saya di Sumba pun telah mengikuti kegiatan di Stube-HEMAT Sumba. Bagi saya, Sumba merupakan pulau yang menyimpan kekayaan alam yang unik, tidak hanya keindahan alamnya tapi memiliki keunikan lain, seperti adat istiadat, bahasa, religi, dan pesona yang menarik perhatian wisatawan untuk mengunjungi Sumba. Namun dalam perbincangan kami ada wawasan baru yang saya temukan dan ini membuat saya berminat mengikuti kegiatan Stube-HEMAT.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Saya Satridurisa Rambu Kahi, desa Lailara, kecamatan Katala Hamu Lingu, Kabupaten Sumba Timur dan saat ini sedang menempuh pendidikan teologi kependetaan di STAK Marturia Yogyakarta. Tinggal di kota Yogyakarta begitu menyenangkan karena kota ini bersejarah dan istimewa. Ya, walaupun jaraknya sangat jauh dari Sumba, tapi saya belajar untuk menyesuaikan diri, jauh dari orang tua dan sanak saudara, dari situlah saya memotivasi diri semangat belajar. Seorang yang berasal dari daerah yang jauh sangat tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, apalagi perbedaan bahasa, logatnya, bahkan menyapa orang lain. Itu membutuhkan keterampilan dalam menyesuaikan diri .

 

 

Pelatihan Communication Skills ini kegiatan kedua dari Stube Hemat Yogyakarta yang saya ikuti setelah diskusi Multikultur. Pelatihan ini memotivasi dan membentuk diri saya memiliki cara berbicara yang baik bahkan ide kreatif, seperti tujuan pelatihan ini mengasah kemampuan berbicara di depan umum, memiliki teknik public speaking yang baik dan mempelajari syarat public speaking, mampu menggunakan bahasa Verbal (perkataan) dan Non Verbal (gerakan). Di akhir pelatihan saya ditantang untuk membuat video pendek yang menghibur serta berhubungan dengan Pandemi Covid-19. Awalnya saya merasa gelisah dan merasa tidak bisa, membuat dan mengedit video. Saya merasa diri saya sangat terbatas, khawatir dan grogi karena ini pertama kalinya saya membuat video, tetapi saya berpikir kapan lagi ada kesempatan ini dan ide pun ditemukan dengan bimbingan dan motivasi dari pendamping, Erik Poae dan Thomas Yulianto. Akhirnya, saya berhasil membuat video pendek “Jaga Jarak, Bukan Berarti Menjauh”, yang berisi mengenai perubahan-perubahan yang ditemui ketika pandemi covid-19. Video tersebut bisa dilihat di YouTube Channel Stube HEMAT Yogyakarta dengan link https://youtu.be/tcfrLKAMmeQ

 

 

 

 

 

 

Proses ini tidaklah mudah bagi saya, namun dengan adanya pendampingan Communication Skills, dan dukungan teman-teman di asrama, saya belajar bahwa untuk mulai mengembangkan diri itu harus keluar dari ‘zona nyaman’ seperti menghilangkan rasa tidak percaya diri, mengalahkan rasa malas dan selalu belajar dari pengalaman. Ini benar-benar membentuk diri saya bahwa sesuatu diperoleh dari kemauan untuk belajar dan berusaha, nanti ketika pulang di Sumba saya berharap bisa menjadi orang yang lebih baik. Lakukanlah semuanya dengan sukacita, maka kamu akan memperolehnya. Terima kasih Stube HEMAT. (Satridurisa Rambu Kahi)

 


  Bagikan artikel ini

Mengurangi Hambatan Komunikasi dan Salah Persepsi Refleksi peserta Communication Skills Tahun 2020 gelombang 1    

pada hari Kamis, 30 April 2020
oleh adminstube
 

 

 

 

 

Bagi saya, Rivaldo Arinanda Padaka, Communication Skills menarik untuk dipelajari karena membantu seseorang mengasah kemampuan mengungkapkan sesuatu untuk mewujudkan tujuan tertentu, atau berbicara demi mencapai prestasi yang baik disesuaikan harapan-harapan yang diinginkan. Ketakutan saya dalam komunikasi ini adalah menyampaikan sesuatu yang salah, tidak percaya diri berdiri di depan kamera, dan malu berbicara di depan banyak orang.

 

 

 

 

 

 

Pada kesempatan ini saya mengikuti training Communication Skills Stube Hemat Yogyakarta yang bermanfaat untuk pengembangan diri, setelah pelatihan Multikultur yang saya ikuti bulan Maret lalu. Dalam pendampingan Communication Skills ini saya menemukan banyak hal yang harus diperbaiki dalam komunikasi seperti verbal grafitti, yang harus dihilangkan. Bagi saya Public Speaking yang baik adalah penyampaian berbicara yang sistematis dan membuat orang lain tidak bosan mendengarkan dan mampu meyakinkan orang lain dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.

 

 

 

 

 

 

Selanjutnya saya merancang video sebagai alat menyampaikan informasi kepada orang lain guna kebaikan bersama dengan mengurangi penyebaran virus Covid-19 di masyarakat, dengan berpartisipasi bersama-sama demi menjaga kesehatan. Dalan pelatihan dan pembuatan vidio ini saya didampingi oleh Erik Poae dan Thomas Yulianto dari team Stube Hemat Yogyakarta secara online selama satu minggu dan sesuai latar belakang saya Teologia kependetaan. Hasilnya adalah video pendek renungan berjudul “Ketaatan Di Tengah-tengah Covid-19” yang diunggah di YouTube Stube-HEMAT Yogyakarta melalui link https://youtu.be/Wj3nOp2R05c

 

 

 

 

 

 

 

 

Pelatihan ini bermanfaat membentuk cara komunikasi yang benar yang disampaikan kepada publik berkait pandemi dan masyarakat taat pada anjuran pemerintah demi mengatasi penyebaran Covid-19. Ini menjadi tanggungjawab bersama demi kebaikan masyarakat. Terlebih di masa pandemi ini, ada kebutuhan perlunya orang yang memiliki kemampuan berbicara untuk menyampaikan suatu pesan dengan baik dan mudah dipahami.

 

 

 

Mulai saat ini, saya belajar memperbaiki kemampuan komunikasi melalui berbagai media komunikasi, mengurangi hambatan komunikasi dalam diri dan mengurangi faktor kesalahan persepsi (salah pengertian) yang disebabkan cara berkomunikasi yang kurang jelas atau kurang memahami bagaimana menyampaikan suatu pesan terlebih ketika sudah bekerja dalam dunia pelayanan. Terima kasih Stube Hemat. (Rivaldo Arinanda Padaka)


  Bagikan artikel ini

    Menantang Diri Mengasah Jurus Komunikasi   Refleksi peserta Communication Skills   Tahun 2020 gelombang 1  

pada hari Rabu, 29 April 2020
oleh adminstube
 

 

 

 

 

Saya Irene Berta Meida Zalukhu, akrab dipanggil Iren, berasal dari Nias, Sumatera Utara. Saat ini saya sedang menempuh kuliah di kampus STPMD “APMD” Yogyakarta jurusan Ilmu Pemerintahan. Awalnya, saya ingin membuka pikiran mengapa saya mendapatkan pengalaman menarik ini. Kata orang, pengalaman merupakan guru terbaik yang mampu mengajari kita banyak hal. Pengalaman juga dianggap sebagai sesuatu yang bernilai. Ya, seperti kalimat yang sering terucap “Untuk mencari dan memperoleh pengalaman”, hingga saya menemukan pengalaman baru saat mengikuti training online yang dilaksanakan oleh Stube-HEMAT Yogyakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Awalnya saya mengenal lembaga ini dari kakak yang juga dari Nias dan tinggal di Yogyakarta. Pertama kali saya mengikuti pelatihan lintas iman dan budaya selama tiga hari dan mendapat wawasan baru bersama teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari Timor Leste dan India. Mulai saat itu saya aktif di dalamnya termasuk menampilkan tarian daerah saat konferensi internasional. Ini kebanggaan bisa berpartisipasi di dalamnya.

 

 

 

 

 

 

Saat memasuki masa Pandemi Covid-19, dimana situasi di luar sana tidak kondusif, perkuliahan dilakukan secara online dan saya menghabiskan hari hanya di kost. Hingga akhirnya saya menemukan kesempatan baru, mengikuti pelatihan Communication Skills Stube-HEMAT Yogyakarta. Ini menyenangkan sekaligus menantang karena mendapat materi dan topik menarik tentang Public Speaking yang sebelumnya saya tidak ketahui. Ternyata banyak hal yang awalnya saya anggap sepele yakni kebiasaan verbal grafity, penjedaan saat berbicara dengan e..hmm...dll. Saya belajar dan menantang diri sendiri menjadi lebih baik, melalui sebuah video seputar pandemi Covid-19 yaitu tentang haruskah mahasiswa mudik saat pandemi. Ini muncul dari kekhawatiran keluarga dan sanak saudara saya di Nias, karena banyak mahasiswa dari luar daerah kembali ke Nias. Jadi, saya berusaha mencari informasi ini dari beberapa mahasiswa termasuk memberanikan diri saya mencari tanggapan dari anggota DPRD kabupaten Nias Utara. Saat saya mulai mencari informasi pendukung video, ternyata mereka menanggapi dengan senang hati. Tahap take video menjadi bagian yang menantang karena ini pertama kalinya saya tampil melalui video dan menerapkan materi training yang dipelajari sebelumnya, kemudian mengedit sampai finalisasi video meski berkali-kali revisi. Pada akhirnya video diunggah di channel YouTube Stube-HEMAT Yogyakarta dengan link

 

 


 

Saya puas dengan apa yang saya lakukan, bukan kemampuan saya semata, tapi berkat Tuhan yang memampukan dan teman-teman yang mendukung. Saya juga belajar dan memperoleh pengalaman baru, sekaligus menginspirasi teman-teman lain melakukan kegiatan produktif saat pandemi. Lebih lagi, keluarga, teman-teman, dosen, dan Stube-HEMAT memberikan apresiasi dalam berbagai bentuk dan dorongan untuk mengembangkan potensi.

 

 

 

Guru terbaik dalam hidup adalah pengalaman, saya tidak takut untuk memulai mengasah diri dan terus melakukan sepanjang itu baik untuk dilakukan. Yakin bahwa ada orang baik yang selalu mendukung dan mengapresiasi apa yang kita lakukan jika membawa manfaat baik untuk orang lain. (Irene Zalukhu).

 

 


  Bagikan artikel ini

Mengedukasi Meski Sedang Pandemi Refleksi Peserta Communication Skills Tahun 2020 gelombang 1

pada hari Selasa, 28 April 2020
oleh adminstube

 

 

Saat ini Indonesia sedang mengalami situasi yang tidak mengenakkan, yaitu menghadapi Pandemi Covid-19. Wabah ini melumpuhkan berbagai lini kehidupan masyarakat seperti bidang pendidikan, ekonomi, sosial dan lainnya. Pemerintah Indonesia sendiri menerapkan beragam kebijakan dan strategi untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona, salah satunya adalah regulasi kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas dari rumah seperti bekerja ataupun sekolah dari rumah.

 

 

 

Dunia pendidikan menjadi salah satu yang terdampak situasi ini, tak terkecuali perguruan tinggi di mana proses perkuliahan mahasiswa yang semula bertemu secara tatap muka berubah menjadi daring atau online, dan ini berarti mahasiswa seluruh Indonesia ‘dirumahkan’. Bagi sebagian mahasiswa, kuliah dengan sistem daring cukup baik karena mereka bisa mengikuti kuliah hanya dengan menggunakan gadget tanpa perlu pergi ke kampus, namun sebagian mahasiswa menganggap ini sungguh membosankan dan sebagian lagi mengalami kesulitan karena berada di kawasan yang tidak terjangkau jaringan komunikasi maupun terkendala biaya untuk membeli paket data komunikasi. Saya sendiri termasuk kelompok kedua yaitu mahasiswa yang mengalami kebosananan dengan kuliah daring, jadi saya berusaha mencari berbagai hal yang bisa mengatasi rasa bosan dan berusaha melakukan kegiatan-kegiatan yang menunjang agar saya tetap produktif seperti membaca buku, menonton film, mendengarkan musik dan bermain sosial media.

 

 

 

Saat sedang asyik menjelajah dunia maya dan linimasa Facebook, saya melihat sebuah postingan dari Stube-HEMAT Yogyakarta yang mempublikasi pelatihan Comunication Skills. Sontak saya langsung tertarik untuk mendaftarkan diri karena saya tahu kalau Stube-HEMAT mengadakan kegiatan itu selalu inspiratif dan bisa menemukan pengalaman baru. Puji Tuhan saya berhasil lolos seleksi dan menjadi salah satu dari 3 peserta gelombang pertama program pelatihan ini. Saya didampingi oleh dua mentor yang baik dan menyenangkan yaitu Trustha Rembaka dan Putri Laoli, dari team Stube-HEMAT Yogyakarta.

 

 

 

Hari pertama dimulai dari proses perkenalan antara peserta dan mentor sekaligus menjelaskan alur program yang akan dilakukan selama proses pelatihan. Fokus pembahasan dalam pelatihan ini adalah perbaikan teknik komunikasi dengan menghasilkan sesuatu yang bisa mengedukasi masyarakat terkait Covid-19. Hari-hari berikutnya saya mempelajari teknik berkomunikasi yang baik, tips berbicara di depan kamera dan sistematika penulisan narasi dan masih banyak lagi, hingga akhirnya saya bersama mentor menghasilkan sebuah video edukasi yang berjudul “Salah Kaprah Pemahaman Istilah Terkait Covid-19” yang menjelaskan istilah-istilah yang muncul berkaitan pandemi Corona, seperti apa itu ODP, PDP, lockdown dan istilah lainnya. Dengan judul ini secara tidak langsung menantang saya untuk mencari sumber yang valid dan bisa dipertanggunjawabkan karena berkaitan dengan informasi dan edukasi publik sehingga saya mencari sumber dari kementerian kesehatan dan media nasional yang kredibel. Silahkan tonton videonya di link https://youtu.be/oqq6rlPR2eM

 

 

 

Video ini membuat saya berproses dalam berbagai dinamika selama  yang mengubah kesadaran, ketrampilan dan kepercayaan diri saya. Awalnya saya mengira teknik komunikasi saya sudah cukup baik, namun ternyata hal tersebut salah karena kesalahan-kesalahan dasar tanpa sadari, seperti verbal grafity, body language serta fokus mata di depan kamera. Selain itu, saya mendapat keterampilan baru dalam membuat video seperti teknik pengambilan gambar, penentuan backsound, animasi, transisi, penentuan tema dan masih banyak lagi. Pelatihan ini menyadarkan saya bahwa hal-hal yang kita anggap remeh dan tidak terpikirkan sebelumnya ternyata sangat penting dipelajari dan berpengaruh terhadap diri sendiri dan masyarakat. Saya pun menemukan ketertarikan untuk membuat video-video berikutnya dengan beragam topik.

 


 

Terima kasih kepada Stube-HEMAT Yogyakarta yang telah menjadi wadah bagi mahasiswa dan mencerahkan, khususnya saya terbantu dalam mengembangkan potensi yang saya miliki sehingga dapat berguna bagi orang banyak. Harapan saya ke depan semoga banyak anak muda tertarik dengan pelatihan-pelatihan serupa dan Stube-HEMAT selalu menjadi wadah terdepan yang dapat menampung, melatih dan mempromosikan potensi mahasiswa untuk Indonesia. (Antonia Maria Oy).

 

 


  Bagikan artikel ini

Anak Rantau di Masa Pandemi Covid-19  

pada hari Rabu, 8 April 2020
oleh adminstube
 

 

 

Virus Corona merupakan virus yang mematikan dan menular dari manusia ke manusia lainnya. Virus yang muncul sejak bulan Desember 2019, tepatnya di Wuhan, China hingga saat ini menyebar luas ke berbagai penjuru negara termasuk Indonesia dan daerah sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan obat (vaksin) sebagai penangkal virus tersebut dan masih dalam proses uji coba. Virus yang mematikan tersebut sudah membunuh ribuan jiwa.  Sungguh, sangat menakutkan.

 

 

Munculnya virus corona secara signifikan merubah proses hidup dan kehidupan. Pemerintah, tim kesehatan, serta masyarakat merupakan elemen penting untuk bekerja sama melawan pendemi virus corona yang semakin meluas. Pemerintah membuat peraturan untuk meliburkan kantor-kampus dan menggantinya dengan bekerja atau kuliah dari rumah (stay at home). Secara khusus di Daerah Istimewa Yogyakarta, seluruh kampus diliburkan dan diganti kuliah online sejak awal Maret 2020.

 

 

 

Kota Jogja sebagai kota pelajar dengan ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru nusantara ada di kota ini, dijuluki sebagai Indonesia mini. Melawan pandemi Covid-19 saat ini, Jogja sekejap menjadi hening, tak ada lalu lalang di jalanan dan di tempat-tempat keramaian. Jumlah orang dan kendaraan menjadi turun sangat drastis di tempat-tempat umum dan aktivitas hanya dapat dilakukan di rumah dan kos. Gang-gang kecil-pun saat ini ditutup, termasuk beberapa toko-toko dan warung makan perlahan sudah mulai tutup. Mahasiswa rantau yang ada di Jogja yang pada umumnya mengkonsumsi makanan siap saji, mulai menerapkan hidup sehat dengan mengkonsumsi hasil masakan sendiri.

 

 

 

Semua berharap pandemi Covid-19 segera berlalu, sehingga keresahan yang sedang terjadi dapat segera berakhir. Semua orang berharap bahwa para ahli, dokter, tenaga medis dan peneliti secepatnya menemukan vaksin penangkal virus corona yang masih terus mewabah dan memakan korban jiwa. Dengan mengikuti arahan pemerintah dan para medis untuk tetap malakukan aktivitas di rumah (stay at home), menjaga pola hidup sehat dan bersih, tentunya kita sudah membantu menghentikan mata rantai penyebaran virus corona. Ayo bersatu dan bergotong-royong melawan Covid-19. (WIN)

 


  Bagikan artikel ini

Melawan Hoax di Tengah Pandemi Covid-19  

pada hari Rabu, 1 April 2020
oleh adminstube

 

Saat semua pemimpin dunia berpikir keras untuk menangani pandemi Corona, virus yang mulai muncul di Wuhan, China, beberapa negara telah melakukan lockdown, contohnya Italia, Spanyol, Amerika dan beberapa negara lain di Eropa, India dan juga Australia. Indonesia sendiri sejak muncul pasien positif covid-19 pada 2 Maret 2020 banyak opini bermunculan di media sosial agar Jakarta juga melakukan lockdown supaya virus ini tidak dibawa ke desa-desa. Banyak sekali pertentangan terkait lockdown di Jakarta, keputusan awal yang diambil pemerintah adalah ‘Work from Home’ atau WFH untuk beberapa instansi pemerintah dan juga swasta, serta sekolah diliburkan.  Keputusan pemerintah melakukan WFH berujung pada terjadinya lonjakan pemudik karena tetap tinggal di Ibu Kota bukan pilihan yang tepat, mengingat bulan puasa sebentar lagi dan mereka tidak bekerja, tidak digaji dan tidak ada biaya hidup. Saat ini pemerintah sudah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai langkah mengurangi meluasnya infeksi virus yang sudah menjadikan Jakarta zona merah Covid 19.

 


 

Berbeda dengan Jakarta, di kampung saya Halmahera Timur dan hampir semua wilayah Maluku Utara, masyarakat terlihat “santuy” atau santai pada awalnya, karena mereka beranggapan virus ini tidak akan sampai kesana. Pada tanggal 23 Maret 2020 pemerintah mengumumkan 1 pasien positif Covid-19 dari Maluku Utara. Kekuatiran dan kegaduhan baru dimulai, berbagai macam informasi hoax bertebaran. Bahkan informasi ibadah dari rumah saja tidak disambut baik oleh pemuka agama dan masyarakat bahkan mereka beranggapan pemerintah melarang mereka untuk beribadah.

 

 

 

Kegaduhan memuncak saat beredar pesan berantai disertai sebuah video yang diunggah di media sosial facebook pada tanggal 25 Maret 2020, “Seorang bayi baru lahir langsung bisa berbicara kalau merebus telur ayam dan dimakan pada pukul 24.00 WIT akan membunuh virus Covid-19 dan juga membuat seseorang terhindar dari virus ini”. Sontak berita ini menghebohkan masyarakat dan mereka beramai-ramai ‘menggedor’ beberapa toko sembako pukul 22.00 sampai 02.00 dini hari untuk membeli telur. Hal ini mengindikasikan kalau masyarakat sangat takut dan kuatir, sehingga berita apa saja mengenai Covid-19, ditelan mentah-mentah, sehingga mudah sekali menjadi korban informasi palsu. Tentu saja berita Hoax memiliki ciri-ciri beritanya berlebihan, membuat kepanikan dan ketakutan, menimbulkan kebencian atau rasa marah, selain itu sumber berita tidak bisa dipertanggungjawabkan. Masyarakat awam perlu mendapat edukasi mengenai berita-berita hoax.

 

Sejauh ini beberapa langkah sudah diambil pemerintah daerah Halmahera Timur dengan menggelontorkan anggaran 3,4 M untuk tanggap darurat Covid-19. Selain itu pihak kesehatan juga telah melakukan sosialisasi serta mulai mendata masyarakat yang melakukan perjalanan 1-2 minggu terakhir ke luar daerah terutama yang berasal dari daerah zona merah. Tugas kita semua adalah memberi informasi yang valid dengan mensosialisasikan hal-hal benar tentang virus ini di WA group, FB group, serta di media sosial lainnya, juga tentang hal-hal positif yang terjadi saat  pandemi. Jaga kesehatan dengan makan teratur, istirahat cukup serta selalu konsumsi vitamin C setiap hari. Mari lawan Covid 19 dengan membiasakan hidup bersih dan sehat! (SAP).


  Bagikan artikel ini

Prasangka Menjadi Cinta Melalui Dialog

pada hari Jumat, 20 Maret 2020
oleh adminstube

 

 

Dengan cinta tentu prasangka tidak akan ada bukan? Atau prasangka hadir karena tiadanya cinta? Keduanya mungkin terjadi dan sedang menjadi perenungan saya, Siti Muliana, yang lahir dan besar di Konawe, Sulawesi Tenggara. Saat ini saya sedang menempuh program sarjana pada program studi ilmu al-Qur’an dan tafsir di STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta. Ketika berbicara tentang toleransi dan termasuk hubungan antar agama, saya mengenal topik ini ketika bersekolah di Yogyakarta sejak 2014 silam. Bagaimanapun, selama masa tumbuh berkembang hingga saat remaja di Sulawesi Tenggara saya tidak pernah sekalipun berinteraksi dengan kelompok masyarakat yang berbeda etnis maupun agama. Namun demikian, dalam pengamatan saya hingga saat ini, masyarakat di daerah asal saya sebagian masih eksklusif terhadap agama lain.

 

 

 

 

Saya menemukan perspektif baru ketika tinggal dan bersekolah di Yogyakarta di pondok pesantren Sunan Pandanaran, walaupun kehidupan sehari-hari berinteraksi dengan sesama yang beragama Islam, namun tidak membuat kami bersikap eksklusif terhadap agama lain, malah sejak dulu hingga kini, pondok pesantren tempat saya tinggal terbuka dan sering menerima kunjungan tamu dalam maupun luar negeri dengan beragam kepercayaannya. KH. Mu’tashim Billah sebagai pimpinan pondok pesantren selalu mengingatkan kami santri-santrinya, “Siapapun yang bertamu ke pondok, harus dilayani dengan baik sampai merasa di rumah.Begitulah pesan beliau, bahkan saat acara puncak haul Gus Dur pada 27 Februari 2020 yang dihadiri oleh tokoh lintas agama, Kyai Tashim sendiri menyambut tamu-tamu dan memastikan mereka mendapat layanan yang baik. Ini teladan yang Kyai tunjukkan dengan sikap pluralisnya dan mesti diadopsi oleh para santrinya.

 

 

 

 

 

 

Perlahan saya semakin tertarik dengan isu-isu toleransi dan kemanusiaan serta hubungannya dengan kebangsaan, sehingga saya bergabung dengan komunitas Gusdurian pada 2018. Ini merupakan wujud kekaguman saya terhadap Gus Dur yang mengedepankan dialog dan menghindari kekerasan sebagai salah satu pendekatan untuk menemukan titik temu perdamaian Papua dan Aceh, konflik berdarah antar etnis dan agama yang terjadi antara 1998-2000, namun tidak semua berhasil karena berbagai kepentingan politik yang masih mencengkeram kuat dan mendominasi. Dari komunitas Gusdurian ini saya pertama kali mengenal Stube-HEMAT Yogyakarta ketika berpartisipasi dalam pelatihan Multikultur dan Dialog Antar Agama yang diadakan Stube-HEMAT Yogyakarta dengan tajuk Bersama Merangkai Indonesia pada 6-8 Maret 2020 di Wisma Pojok Indah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Di pelatihan ini saya mendapati bahwa Stube-HEMAT Yogyakarta memberi sumbangsih pada usaha perdamaian melalui pelatihan yang mengedepankan dialog disertai kunjungan ke tempat ibadah umat beragama, sebagai respon atas fenomena keberagaman saat ini yang menggaung di media sosial tanpa terjadi tatap muka sehingga seringkali memunculkan prasangka. Tidak dapat dipungkiri, melalui sharing pengalaman dari sahabat baru yang mengikuti pelatihan ini terungkap prasangka-prasangka yang ada sebelum pelatihan dan dialog terjadi, bahkan masih ada dendam dan trauma masa lalu, belum lagi, politik identitas marak terjadi beberapa tahun lalu. Sikap eksklusif, mengeneralisasi dan truth claim di masyarakat konservatif semakin menunjukkan eksistensinya di media sosial. Kelompok eksklusif sendiri merupakan kelompok yang mengklaim kebenaran hanya miliki mereka (truth claim) dan menolak keyakinan kelompok lain. Realitas tersebut tentu bisa dihilangkan dan disingkirkan melalui pertemuan dan dialog sebagaimana dilakukan oleh Stube-HEMAT Yogyakarta agar saling terbuka dan mengenal satu dengan yang lain. Selain itu, mari memupuk cinta melalui temu dan dialog. Saya mengapresiasi setinggi-tingginya kepada Stube-HEMAT Yogyakarta.

 

 

 

 

 

 

Di akhir pelatihan, peserta baik individu atau kelompok memiliki rencana tindak lanjut pasca pelatihan tersebut. Saya bergabung dalam kelompok yang merancang membuat film pendek bertema keberagaman. Sedangkan secara individu, saya berencana memberikan materi yang saya dapat di pelatihan kepada anak-anak usia remaja yang di bawah ampuan saya di pondok pesantren, khususnya terkait keberagaman. Harapannya, covid-19 yang memaksa kita untuk tetap di rumah dan melakukan social distancing bisa reda dan kami bisa melanjutkan kedua rencana tindak lanjut tersebut demi menyemai sikap toleran dan menghargai keberagaman. (Siti Muliana).

 

 

 

 

 


  Bagikan artikel ini

  Pygmalion Effect    

pada hari Kamis, 19 Maret 2020
oleh adminstube
Selalu teringat kata-kata ini, ‘perempuan yang menginspirasi dan pemberani’ yang muncul dalam doa yang terucap dari mulut Ayah ke langit agar terus terwujud. Mutiara itu perhiasan, dia akan dijaga keindahannya, tapi tergantung siapa pemiliknya’ ungkapnya. Saya selalu percaya dan membawa dalam doa sampai saya mewujudkannya. Sebagai anak kedua dari 3 bersaudara dan perempuan satu-satunya membuat saya berjuang hidup mandiri. Lulus SMK tahun 2017 sebagai lulusan terbaik serta diterima di kampus seni impian, Institut Seni Indonesia Yogyakarta jurusan Desain Interior adalah hadiah besar yang saya dapatkan setelah perjuangan panjang dan mendapat beasiswa Educlinic pada tahun 2016-2017 dengan tanggung jawab besar untuk berkontribusi di masyarakat. Saya suka belajar hal-hal baru sehingga suka bertanya sewaktu di SMK dan akhirnya sering menjadi utusan seminar daerah dan nasional maupun diskusi publik lainnya.

 

 

 

Seperti ada Pygmalion Effect yang selalu saya lihat ke depan bahwa apa yang saya lakukan adalah doa terbaik dan versi terbaik dari sebuah harapan panjang yang membutuhkan perjuangan dan kerja keras. Pygmalion Effect sendiri adalah istilah tentang ekspektasi yang disematkan kepada seseorang, maka ia akan semakin meningkat kualitasnya dan mencapai ekspektasi tersebut. Ini merupakan bentuk self-fulfilling prophecy, baik secara langsung atau tidak langsung yang mendorong terwujudnya prophecy tersebut. Ini mendorong saya berani mengambil risiko dan tantangan sehingga tumbuh berkali-kali lipat lebih cepat, sebuah lompatan pencapaian yang harusnya terjadi beberapa tahun ke depan tapi terwujud dalam beberapa tahun terakhir. Tantangan lainnya adalah bukan sekedar berani mengambil risiko, tapi juga mampu mengukur resiko yang dihadapi dengan bijak. Mungkin dengan kepintaran seseorang dapat merubah banyak hal tapi perlu jiwa yang bijak untuk mampu mengubah dirinya sendiri.

 


 

Cerita setahun ke belakang, saya mendapat amanah sebagai Presiden Young On Top Yogyakarta. Rasanya masih seperti "am I good enough?" karena banyak orang-orang seumur, lebih senior yang berasal dari kampus yang secara akademis jauh lebih bagus. Apalagi branding YOT Yogyakarta juga harus dijaga, saya dengan background kampus seni seperti memilih keluar dari zona nyaman dan harus belajar extra, dari jarang membaca berita menjadi langganan news, dari jarang membaca buku jadi sering menyambangi perpustakaan dan beli buku. Tujuannya sederhana, supaya bisa nyambung’ ketika berbincang dengan anggota dan flexibel di berbagai topik, agar bisa memberikan valuable feedback kepada mereka. Ternyata, pemimpin sesungguhnya bukan seberapa cerdas ia tampil atau bagaimana pesonanya hadir, tapi tentang makna perilaku setiap manusia dengan keunikan masing-masing. Pemimpin yang mau belajar dan mendengarkan, bertanggung jawab dan berani mengambil risiko. Jawaban ada pada diri kita, be bold with yourself.

 


 

Terlebih ketika aku memilih aktif di Stube-HEMAT Yogyakarta, kegiatan dan value yang diberikan sangat positif. Mendorong berbagai pihak untuk terlibat aktif, dan memberi kesempatan individu baru untuk tumbuh, bahkan karenanya saya berani membuat ‘lompatan besar’ dari Jawa menuju Sumba dalam Exploring Sumba dimana saya benar-benar belajar banyak hal meskipun berbeda agama dan budaya, aku tidak terasing maupun terpisah, malah merasakan perhatian tulus dan bisa saling belajar dan bertoleransi. Juga dalam pelatihan Multikultur beberapa waktu lalu, tantangan lebih ketika menjadi volunteer dengan konsekuensi harus bersiap diri lebih awal sebelum acara berlangsung, kemudian saat berdiskusi dengan teman-teman berbeda agama dan berkunjung ke Vihara Karangdjati, ternyata ada banyak hal yang harus dipahami lebih dalam dan meluruskan asumsi, jangan sampai membuat justifikasi untuk pihak lain. Waktu itu ada yang bertanya kepada saya, "Mengapa Mutiara belajar agama lain?" Jawaban saya sederhana, dengan mempelajari agama berbeda tidak berarti kita meyakininya juga, itu malah semakin menguatkan apa yang telah kita yakini. Belajar memahami berarti memberi ruang saling menghargai dan berbagi kasih dengan banyak orang.

 

 

 

 

Stube menjadi sebuah ekosistem yang dapat membantu kita tumbuh dan membentuk aktualisasi diri dengan baik. Jangan lupa untuk terus memiliki keinginan kuat untuk belajar banyak hal karena dengan mau belajar, kita dapat menemukan banyak kesempatan. Pilihlah ekosistem yang baik untuk tumbuh menjadi pribadi yang baik pula, lihat bagaimana orang-orang di dalamnya memberi feedback positif. Dari situ akan bertemu orang-orang yang ternyata punya kemiripan visi dan misi. Mereka tidak akan bilang ’wes to koe rasah neko-neko (Sudahlah, kamu tidak perlu macam-macam), tapi mengatakan Bagus, ayoo lanjut lagi’. Dari pemenang nobel atau award, apabila bertemu mereka, mereka seperti padi berisi tapi tetap merunduk. (Mutiara Srikandi).


  Bagikan artikel ini

Merespon Keingintahuan

pada hari Rabu, 18 Maret 2020
oleh adminstube
Perjumpaan saya dengan Stube-HEMAT berlanjut lagi di Yogyakarta setelah sekian lama vakum dari kegiatan di Stube-HEMAT Sumba. Saat ini saya mengikuti kegiatan Stube-HEMAT, tidak lagi di Sumba melainkan di Stube-HEMAT Yogyakarta. Saya Yustiwati Angu Bima, biasa dipanggil Yusti, berasal dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), seorang dari suku Sabu yang lahir dan besar di pulau Sumba termasuk bersekolah dari SD sampai menyelesaikan kuliah di pulau yang sama. Awalnya saya mengenal Stube-HEMAT Sumba saat kuliah Teologi Kependetaan di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kristen Sumba (STT GKS) di Lewa Sumba Timur, ketika itu dalam pelatihan kerajinan tangan dan pelatihan jurnalistik yang mana manfaat dari pelatihan-pelatihan Stube tersebut terus saya kembangkan dalam studi dan keseharian saya.

 

 

Saat ini saya kuliah Pascasarjana Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, dengan mayor studi Biblika dan minor studi Peace Building. Saat ini saya sedang menyelesaikan thesis dan sebuah penelitian pribadi di salah satu gereja di pulau Sumba terkait dengan teori generasi dan dampaknya terhadap peace-building pada kaum muda. Aktivitas lainnya adalah mentor full-time di asrama Fakultas Teologi  UKDW dan penulis opini di buset-online.com, salah satu majalah online Indonesia di Australia. Dalam menjalani studi S2 ini saya terus mengasah kemampuan menulis, yang membuat saya berdaya saing dalam kualitas akademik dengan teman-teman lain yang meraih gelar sarjana dari kampus-kampus ternama. Selain dari beasiswa saya mendapatkan tambahan uang saku untuk menopang kebutuhan studi ini dengan bekerja dan salah satunya menjadi penulis.

 


 

Dalam pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta yang saya ikuti dari 6-8 Maret 2020 di Wisma Pojok Indah dengan tajuk “Bersama Merangkai Indonesia” saya mengklasifikasikan pelatihan ini sebagai kegiatan inter-religius karena menghadirkan peserta dan narasumber yang memiliki latar belakang daerah dan agama yang berbeda dan ini bersesuaian dengan studi peace building yang sedang saya dalami. Bahkan di salah satu sesi kegiatan yang berupa eksposur ke rumah ibadah, saya memilih Klenteng Poncowinatan untuk lebih mengenal penganut Konghucu di Klenteng Poncowinatan, selain rasa penasaran untuk mengunjunginya. Kenyataan yang terjadi di masa lalu diketahui bahwa peristiwa diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dan kepercayaan Konghucu tidak lepas dari sejarah Indonesia pada masa akhir Orde Baru. Namun sejak 1999 Konghucu diakui negara sebagai agama bukan lagi kepercayaan, maka sejak itu penganut Konghucu leluasa dalam beribadah.

 

 

 



Dalam konteks peace building, Klenteng Poncowinatan merupakan contoh yang baik untuk diteladani, selain tempat ibadah Konghucu, Budha dan Taois, Klenteng juga terbuka untuk semua umat agama untuk berdoa kepada Tuhan Allah atau Sang Pencipta maupun belajar tentang sejarah Klenteng dan penganut Konghucu. Saya juga menemukan pengetahuan baru bahwa Konghucu yang sangat kental dengan identitas Tionghoa juga mengalami akulturasi, seperti altar utamanya adalah untuk dewa Kongco Kwan Tie Koen, biasanya dewa altar utama setiap Klenteng berbeda-beda sesuai letak geografis Klenteng tersebut. Dewa Kongco Kwan Tie Koen sendiri adalah dewa atau penjaga Pantai Selatan, jadi penamaan dan pemaknaan terhadap dewa altar utama adalah upaya kontektualisasi teologi Konghucu ke dalam budaya Jawa. Selain itu, upacara hari-hari besar Konghucu sering dilaksanakan dalam konteks Jawa bahkan nama-nama Dewa atau Dewi di setiap altar ditulis menggunakan aksara Jawa. Jadi sebagai seorang teolog, saya menyimpulkan bahwa bukan hanya Hindu, Kristen dan Islam yang berhasil dalam akulturasi teologinya, Konghucu dan bahkan Buddha melakukan hal yang sama sebagai suatu upaya mendaratkan pengajaran agama ke dalam keberagaman di Indonesia.


 

Di akhir pelatihan, sebagai rangkaian internalisasi dan transfer pengetahuan, para peserta didorong untuk merancang aktivitas lanjutan berkaitan dengan Multikultur dan dialog antar agama yang dilakukan oleh peserta baik pribadi maupun kelompok. Saya dan beberapa teman mahasiswa dari Sumba Timur membangun komitmen bersama untuk merintis pertemuan anak muda lintas agama di Sumba Timur, khususnya Waingapu, sehingga anak muda di Waingapu dari berbagai latar belakang agama memiliki pengalaman bertemu bersama dan berdialog lintas iman tanpa adanya prasangka.

 

 

Pengalaman-pengalaman yang saya temukan membuat saya mengapresiasi kegiatan yang diadakan Stube-HEMAT Yogyakarta karena menyediakan ruang belajar untuk para mahasiswa dan mereka sangatlah beruntung telah mendapatkan pengetahuan dan pengalaman inter-religius sejak dini sebagai bagian dari peace building. Saya mendorong setiap mahasiswa yang telah terlibat di Stube-HEMAT untuk terus mengembangkan materi yang didapatkan menjadi tindakan etis kehidupan sehari-hari dan memperkuat komitmen melanjutkan kegiatan Stube-HEMAT sebagai respon keingintahuan dalam segala bidang, bukan saja kekayaan materi edukatif tetapi juga karakteristik narasumber dan performa personal dari para peserta. Salam Stube-HEMAT. (Yustiwati Angu Bima).

 


  Bagikan artikel ini

Membongkar Paradigma Lama Mencerahkan Pikiran Baru        

pada hari Selasa, 17 Maret 2020
oleh adminstube
Isu intoleransi marak di Indonesia dan selalu diperbincangkan masyarakat baik dalam obrolan sehari-hari, media sosial, sampai seminar oleh akademisi, organisasi mahasiswa dan praktisi komunitas berkait tema Kebhinnekaan dan Pancasila sebagai penegasan persatuan dan kesatuan bangsa dalam kenyataan bangsa ini yang beragam, wilayah geografis, penduduk, budaya dan agama. Awalnya isu intoleransi menjadi pertanyaan dalam diri saya karena selama di Nias saya hidup dalam lingkungan keluarga, sekolah dan gereja yang interaksinya cukup baik, identik dengan masyarakat Nias atau Ono Nihadan beragama Kristen Protestan maupun Katolik. Karena mayoritas kristiani ini ada satu tradisi unik, yaitu tiada pesta tanpa babi, artinya setiap acara adat seperti pesta pernikahan, kedukaan, syukuran dan penyambutan tamu selalu menyediakan ‘zimbi mbawi sebagai simbol kebersamaan.

 


 

Pada perkembangannya, orang-orang datang dari pulau Sumatera dan Jawa tinggal di Nias karena pekerjaan dan perdagangan. Sebagian dari mereka beragama Islam dan memakai nama marga Nias dan perlahan terbentuk interaksi baru dalam masyarakat Nias yakni suatu kelompok masyarakat yang hidup berdampingan dalam perbedaan. Namun, tidak dapat dipungkiri pada awalnya kurang senang ketika seorang guru beragama lain tidak mau makan makanan selain dari warung makan yang dikelola orang seagamanya, suara speaker masjid yang setiap sore begitu keras terdengar, berita tentang teroris yang dilakukan oknum agama tertentu, termasuk persepsi awal saya terhadap Katholik, Budha, Hindu, Konghucu adalah agama yang menyembah patung. Itulah serpihan-serpihan pengalaman yang terus ada dalam pikiran saya.

 

 

Setelah melanjutkan studi di Yogyakarta untuk kuliah Ilmu Pemerintahan di STPMD “APMD” Yogyakarta, saya tinggal di kost bersama mahasiswa dari berbagai daerah yang berbeda suku dan agama. Perbedaan sangat saya rasakan dan mendorong rasa ingin tahu saya tentang berbagai hal termasuk agama dan sebagian dari mereka memberi respon baik meski sebagian tidak. Di sini saya belajar menghayati kekhasan sendiri sebagai jati diri sekaligus terus beradaptasi dengan sekitar. Namun demikian, pemberitaan politik identitas, terlebih tentang agama, mayoritas dan minoritas, pribumi dan pendatang marak di media sosial. Dari sudut pandang Ilmu Pemerintahan, isu ini menarik perhatian saya untuk ditelisik lebih dalam mengapa terjadi, dengan mengikuti sejumlah diskusi dan seminar dari berbagai lembaga di Yogyakarta termasuk Stube HEMAT Yogyakarta dengan tema Bersama Merangkai Indonesia di mana saya menjadi bagian di dalamnya.

 


 
 

 

 
Dalam kegiatan ini, saya bertemu dengan mahasiswa dari berbagai daerah, berbeda kepercayaan dan kebiasaan hidup, serta memiliki minat bakat masing-masing. Tidak hanya bertemu, tetapi juga tegur sapa, senyum dan pelukan kasih, sampai keberanian mendialogkan lebih dalam tentang keyakinan masing-masing. Tidak ada rasa curiga dan kebencian, yang ada kami saling terbuka mengekspresikan rasa persahabatan dan persaudaraan. Menariknya lagi, saya mendapat kesempatan berkunjung ke tempat ibadah agama lain dan saya memilih Vihara untuk menjawab rasa penasaran saya. Di pelatihan ini saya menemukan penerimaan terhadap keragaman yang memberi semangat baru untuk memahami dan memaknai keindonesiaan sehingga mendorong saya berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa diungkap di sembarang tempat sekaligus menyatakan kasih kepada sesama sebagai wujud nilai-nilai kekristenan. Sebaliknya, saya juga terbuka ketika orang lain ingin tahu lebih dalam tentang suku maupun agama saya. Keterbukaan ini membentuk suatu hubungan manusia yang harmonis dan menerima perbedaan yang ada. Bahkan salah seorang peserta pelatihan mengungkapkan “pada dasarnya, kita mesti memberanikan dan membiasakan diri berada di daerah yang plural, kita bisa hidup berdampingan tanpa merusak keyakinan kita sendiri”

 

 

 

Dari pelatihan ini saya merefleksikan bahwa dalam hidup sehari-hari sikap eksklusif tentang diri sendiri, suku maupun agama bisa muncul bukan secara tiba-tiba, tetapi akumulasi peristiwa-peristiwa sebelumnya dari pengalaman pribadi, lingkungan dan media. Pola pendidikan saat ini belum mampu mengakomodir dan menjadi sarana penyadaran dan penerimaan terhadap keberagaman. Media juga berperan besar dalam membentuk cara pandang masyarakat yang mudah ‘melahap informasi. Mahasiswa perlu ruang untuk berjumpa langsung dengan orang lain yang berbeda karena mahasiswa tidak bisa mendapat informasi dari media saja. Keberanian diri bertemu dan berdialog dalam perbedaan akan membongkar ‘truth claim yang cenderung menghasilkan kecurigaan, sikap eksklusif, stigma dan stereotype, sehingga mahasiswa memiliki pencerahan dan pemikiran baru tentang hidup berdampingan di tengah keberagaman. (Putri Laoli).


  Bagikan artikel ini

Lebih Terbuka dan Percaya Diri Dalam Keberagaman            

pada hari Senin, 16 Maret 2020
oleh adminstube

Saya, Imelda Nasrani Oktafina Sarumaha, berasal dari Pulau Nias, Sumatera Utara dan kuliah di fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Saya mengenal pertama kali dengan Stube-HEMAT Yogyakarta dari teman satu kos, ketika ia mengajak saya mengikuti pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta tentang membatik. Kegiatan berupa kunjungan ke Museum Batik Yogyakarta untuk mengenal sejarah batik, motif batik dan alat-alat yang digunakan untuk membatik. Di akhir kunjungan kami ditantang untuk membuat motif batik sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing. Ini sesuatu yang baru dan menarik untuk saya karena saya penasaran dengan apa yang akan saya buat motifnya tentang daerah saya sendiri, yaitu Nias. Beberapa hari kemudian kegiatan berlanjut ke kampung batik Giriloyo Imogiri, Bantul, di mana kami berlatih bagaimana membatik dari menggambar pola sesuai daerah masing-masing, menuangkan lilin di pola sampai mewarnai kain. Saya membuat motif sesuai dengan khas daerah Nias, yaitu lompat batu.



 

Kegiatan Stube-HEMAT Yogyakarta berikutnya yang saya ikuti adalah pelatihan Parenting Skills di Kopeng, Jawa Tengah. Di pelatihan ini kami belajar mengingat kembali pengalaman masa kecil dan bagaimana cara-orang tua memperlakukan anaknya, perlakuan apa yang kita dapatkan dari orang tua kita waktu masih anak-anak sampai besar dan bekal persiapan peserta ketika menjadi orang tua dan memikirkan pola-pola asuh yang kita dapatkan dari masih anak-anak yang relevan untuk diterapkan di masa depan. Ini membuka pemahaman diri saya dan mengenal bagaimana orang tua terhadap anak-anaknya.

 

 

Saat ini saya mengikuti pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta dalam topik Bersama Merangkai Indonesia, dimana kegiatannya sangat seru, lebih dari ekspektasi saya, saya bisa ketemu orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia, berbagai agama dan beragam jurusan di kampus. Mereka orang-orang yang ingin mewujudkan toleransi dan punya semangat belajar tinggi. Di sini saya bertemu orang-orang yang baru dari berbagai daerah yang kuliah di Yogyakarta. Bahkan kesempatan saya pertama kali berkunjung dan belajar di tempat ibadah Hindu, yaitu Pura Jagadnatha, di Banguntapan Bantul, Yogyakarta.

 


 

 

Tim Stube-HEMAT tepat menghadirkan pembicara yang luar biasa, menyampaikan materi yang sangat bermanfaat bagi saya dan teman-teman yang ikut pelatihan. Selama mengikuti pelatihan tersebut, saya mendapat cara pandang baru agama Kristen yang belum saya dapatkan di sekolah dan kampus. Juga, saya mendapat ilmu tentang Islam, Katholik dan Hindu, selain agama yang saya anut. Selain itu, saya juga menemukan cara berdialog dengan teman agama lain dan pengalaman tentang keberagaman dan toleransi di antara perbedaan yang ada.

 


 

Dari pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta Bersama Merangkai Indonesia, saya mengalami suasana indah bertemu dengan teman-teman yang berbeda suku, adat, budaya dan agama. Saya juga mendapatkan cerita pengalaman tentang agama, suku dan budaya lain dari peserta lainnya, menariknya, saya tidak takut lagi untuk sharing pengalaman saya kepada mereka meskipun kami baru mengenal satu sama lain tetapi sudah bisa menciptakan kekompakan dan kerukunan bersama. Jadi saat ini saya bisa lebih bersikap toleransi kepada orang-orang yang berbeda di sekitar saya terlebih saat di kost atau di kampus. Terima kasih Stube-HEMAT. (Imelda Sarumaha).


  Bagikan artikel ini

Menemukan Rajutan Keragaman di Vihara    

pada hari Minggu, 15 Maret 2020
oleh adminstube
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan budaya, suku, ras, agama, sumberdaya alam melimpah, sumberdaya hayati serta anugerah memiliki Bhinneka Tunggal Ika. Menjadi negara yang besar dan juga kaya tentu tidak lepas dari berbagai persoalan salah satunya intoleransi dimana agama menjadi salah satu alat untuk bisa berkuasa. Saya masih ingat betul kerusuhan tahun 1999/2000 di mana pada saat itu agama dipakai untuk berkuasa dan rakyat harus menanggung penderitaan, seperti tidak bisa sekolah, tidak bisa bermain bahkan hak kami sebagai anak dirampas.

 


 

Persoalan yang sebenarnya hanya sepele tetapi bisa memakan korban jiwa ribuan orang tak bersalah hanya karena agama, dimana yang satu merasa lebih benar dari pada yang lain dan yang lain tidak terima diperlakukan tidak adil oleh lainnya. Intoleransi bukanlah hal sepele, tetapi harus menjadi fokus kita bersama untuk terus merajut tali kasih sesama umat beragama, bergandengan tangan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dari setiap agama dan aliran kepercayaan yang ada bangsa ini.

 

 

Berangkat dari masa lalu yang begitu pahit saya ingin bisa belajar dan bisa mengklarifikasi prasangka saya terhadap umat agama lain agar saya tidak terus berprasangka buruk tentang mereka atau sebaliknya. Kesempatan itu datang dari pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta Multikultur dan Dialog Antar Agama yang diadakan pada 6-8 Maret 2020 di Wisma Pojok Indah dengan tema Bersama Merangkai Indonesia. Pelatihan ini mengungkap kendala dalam berelasi antar umat beragama sekaligus menyediakan ruang untuk kami saling mengenal dan memahami satu sama lain. Saya berkesempatan berdiskusi dengan teman-teman dari berbagai daerah, agama dan juga suku, bahkan saya bisa berkunjung ke Vihara Karangdjati, dan itu pertama kalinya saya memasuki tempat ibadah agama Buddha.

 

 

 

Saya sangat terkesan dengan keramahtamahan mereka menyambut kami dan bagaimana Pak Totok Tejamano, S.Ag, selaku ketua Vihara bercerita tentang nilai-nilai ajaran Buddha serta bagaimana Vihara terbuka untuk masyarakat umum tanpa melihat latar belakang agama, sosial, suku maupun pekerjaan apa pun yang ingin datang bermeditasi. Meditasi sendiri memiliki tujuan agar kita bisa mengelola emosi, membuang energi negatif dan mendatangkan kebahagiaan dalam kehidupan kita. Jika kita bisa bahagia maka kita bisa berpikir lebih baik untuk bisa membangun toleransi antar umat beragama dan bagaimana kerukunan itu tercipta. Ini yang menarik bagi saya ketika Vihara menjadi terbuka untuk siapapun tanpa ada prasangka dan membayangkan situasi yang sama untuk setiap agama sehingga kedamaian terwujud di Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

Terimakasih Stube-HEMAT Yogyakarta telah memberikan saya kesempatan untuk bisa berkunjung ke Vihara, bertemu teman-teman baru dari Aceh sampai Papua, serta saya bisa mengklarifikasi prasangka saya sebelumnya, sekarang saya meyakini bahwa semua agama itu baik. Jika saya menemukan ada seseorang melakukan hal yang tidak baik, bukan berarti agamanya yang tidak baik, tetapi kembali kepada individunya yang belum mampu menghayati ajaran agamanya dan mewujudkan dalam perilaku sehari-hari. (EP)


  Bagikan artikel ini

Partisipasi Mahasiswa Memangkas Prasangka

pada hari Sabtu, 14 Maret 2020
oleh adminstube

 

Pengalaman mengikuti pelatihan Stube-HEMAT merupakan mutiara bagi generasi muda seperti saya, karena bisa berinteraksi langsung mengenal agama yang berbeda, seperti Islam, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Berjumpa dengan orang-orang yang berbeda agama ternyata menyenangkan. Dengan dilandasi keterbukaaan dan persaudaraan, sehingga jauh dari adanya prasangka, jauh dari rasa sungkan maupun takut, menghapus kesan awal bahwa jika membicarakan agama akan diwarnai kekerasan, pertikaian, dan prasangka-prasangka buruk lainnya. Agama harus kembali pada esensinya, masing-masing mengajarkan kasih, kebaikan dan pengampunan, bukan kekerasan dan pertikaian.

 


 

Saat ini penting dibangun dialog sebagai komunikasi yang hidup antar agama yang berbeda, sehingga pemahaman agama tidak hanya tataran konsep melainkan memperjuangkan tatanan moral dan sikap etis dalam hidup bermasyarakat dan mendorong masing-masing agama tidak lagi mengganggap lebih dominan dari yang lain. Kehidupan beragama tidak saja berhenti pada ritus agama saja melainkan sampai pada sikap orang untuk saling menghargai dan mencintai tanah air sebagai wujud rasa nasionalisme, terlebih generasi muda mahasiswa dapat mengembangkan diri dan menjadi teladan dalam membuka interaksi antar umat beragama dan memperkuat tali persaudaraan.

 




 

Dalam kesempatan ini Stube-HEMAT Yogyakarta memberi pengetahuan baru dengan menolong saya, terlebih saya sebagai mahasiswa Teologi untuk tidak salah paham dengan agama lain dan memberi penilaian yang negatif terhadap pemeluk agama lain, sehingga hal in sangat mendorong saya merintis adanya sikap saling pengertian di antara mahasiswa yang berbeda agama sampai mempunyai sikap toleransi yang sangat tinggi dan mampu menghindarkan segala usaha dan tindakan yang merugikan orang lain supaya akhirnya memberi hasil dengan terwujudnya kerukunan antar umat beragama. Saya mempelajari apa yang disampaikan Pdt. Dr. Wahyu Nugroho M.A bahwa masing-masing agama memiliki keunikan tersendiri, sehingga penting juga mengajak pemeluk agama lain untuk mengetahui perbedaan-perbedaan yang ada tanpa meninggalkan komitmen keagamaan kita. Justru dengan perjumpaan itu seseorang memperkaya pengetahuan imannya.

 




 

Pengalaman berkunjung dan mengenal lebih dalam tentang Hindu di Pura Jagadnatha, Banguntapan sangat berkesan buat saya. Saya senang bisa bertanya mengenai konsep keselamatan kepada Pak Budi, ketua Pengempon Pura, yang menyambut kedatangan kami dengan terbuka. Ia memaparkan bahwa keselamatan dalam konsep Hindu berdasarkan karma yang berarti perbuatan, yakni barangsiapa yang berbuat baik ia akan menuai yang baik, dan yang jahat pula akan menuai hukuman. Di dalam kitab Upanisad dikatakan bahwa melakukan baik menjadi baik, melakukan jahat menjadi jahat. Karena semuanya bedasarkan karma. Nasib manusia tergantung pada perbuatannya, yaitu karma, bahkan karma juga mempengaruhi hidup yang telah lalu dan yang akan datang.

 




 

Berbagai pengalaman unik yang saya temukan dalam pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta khususnya dalam berinteraksi dengan pemeluk agama lain perlu dirasakan juga oleh mahasiswa lain, sehingga mereka juga mendapat kesempatan bertemu dengan pemeluk agama yang berbeda demi memangkas prasangka dan mewujudkan relasi baik antar pemeluk agama di Indonesia. (Rivaldo Arinanda Padaka)


  Bagikan artikel ini

    Pendalaman Agama, Kemandirian   dan Kemanfaatan Hidup Di Pondok Pesantren Lintang Songo

pada hari Jumat, 13 Maret 2020
oleh adminstube

 

 

 

Relasi antar agama menjadi topik menarik untuk diperbincangkan karena berkaitan dengan asal usul dan sejarahnya, dinamika ketika bertemu budaya lokal, catatan peristiwa relasi harmonis maupun situasi konflik sampai ‘memanfaatkan’ agama untuk kepentingan tertentu. Namun demikian, pengayaan pengetahuan dan pengalaman interaksi antar agama tetap penting, terlebih oleh mahasiswa sebagai masyarakat terdidik yang nantinya menjadi aktor penggerak masyarakat di daerah dan membangun kesadaran keberagaman Indonesia.

 


 

Pemikiran ini mendorong Stube-HEMAT Yogyakarta dalam rangkaian pelatihan Multikultur dan Dialog Antar Agama di Wisma Pojok Indah, 6-8 Maret 2020 untuk memperkaya pengetahuan dan pengalaman mahasiswa dari berbagai daerah yang kuliah di Yogyakarta dengan eksposur ke berbagai tempat ibadah dan berdialog dengan pemuka agama, salah satunya ke Pondok Pesantren Lintang Songo di Piyungan, Bantul, di mana kelompok yang beranggotakan Topik Hidayatullah, Maritjie Kailey, Rivaldo, Aver Gulo, Lenora Nada, Yonatan Prisitiaji, Natra Marten, Rudi Malo, Sukaningtyas, Wilton dan Trustha berdialog dengan pengasuh dan santri dan mengamati kehidupan mereka. Bapak H. Drs. Heri Kuswanto, M.Si merupakan pendiri dan pengasuh pondok pesantren yang berdiri sejak 2006 dengan nama Islamic Study Center (ISC) Aswaja Lintang Songo, dengan harapan menjadi lembaga pendidikan Islam yang bervisi terwujudnya santri yang berkualitas, mandiri dan bermanfaat bagi masyarakat, santri memiliki pemahaman Islam yang dalam, memiliki keterampilan hidup untuk mandiri dan kepedulian sosial di tengah masyarakat.

 


 

Saat ini ada tujuh puluhan santri dari berbagai daerah dan suku, dari usia anak-anak sampai dewasa, dari pra-sekolah sampai mahasiswa. Sebagai santri mereka bersekolah dan kuliah di lingkungan pesantren maupun di luar, mengaji tauhid, fiqh, akhlak, tarikh, Al Quran dan kitab-kitab lainnya, dan mendalami keterampilan hidup seperti pertanian, peternakan, perikanan, seni budaya dan produksi sabun cuci. Pondok pesantren ini juga menerapkan konsep ‘home-garden’ yaitu memanfaatkan lahan untuk tanaman padi, cabe, sayuran, jeruk, jambu dan mangga, juga memelihara ternak seperti, bebek, kalkun, burung puyuh, kelinci dan kolam ikan. Kemudian cafe sebagai ‘fund-raising’ sekaligus tempat belajar kewirausahaan dari pengolahan makanan sampai tata cara penyajiannya.

 




 

“Kami terbuka dengan berbagai pihak dari dalam dan luar negeri, dan menjadi mitra dialog lintas iman baik tentang ilmu agama maupun keterampilan hidup yang dikembangkan di pondok pesantren ini. Harapan setelah nyantri di tempat ini, mereka memiliki pengetahuan umum dan agama, ketika mereka berkeluarga mereka mandiri secara ekonomi karena bekal keterampilan berwirausaha yang telah dipelajari di sini,” papar Heri Kuswanto.

 


 

Kunjungan ini menjadi pengalaman baru tentang proses pembangunan manusia yang utuh dari sisi spiritual, kemandirian hidup dan keterhubungan dengan alam. Sekarang tidak lagi membahas agama mana yang paling benar tapi hubungan dengan Tuhan nampak dalam hubungan antar manusia dan manusia dengan alam. Hendaknya kita belajar memperlakukan sesama manusia dan memanfaatkan alam dengan baik sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Sang Pencipta. (WIL).

 

 

 

 

 


  Bagikan artikel ini

Pencerahan Hidup di Vihara Karangdjati

pada hari Kamis, 12 Maret 2020
oleh adminstube
 
Perjalanan peserta menuju Vihara Karangdjati dipenuhi rasa antusias sekaligus penasaran karena kegiatan ini, bagian dari pelatihan Multikultur dan Dialog Antar Agama yang diadakan oleh Stube-HEMAT Yogyakarta pada 6-8 Maret 2020, merupakan pengalaman pertama berinteraksi lintas iman secara langsung berkunjung ke Vihara dan berdialog dengan pemeluk agama Buddha. Di Vihara, Supriyanto salah satu staff menyambut peserta dan menyuguhkan makanan tradisional, seperti kacang rebus, keripik singkong dan nagasari. Dalam sesi perkenalan, para peserta berbagi cerita dan mengobrol ringan sambil menyeduh teh hangat beraroma melati. Wanti menceritakan pengalaman di kampung halamannya di Halmahera. Erik Poae juga mengungkap perbedaan situasi di Halmahera yang mayoritas Kristen dan di Jakarta tempat ia kuliah yang mayoritas Islam. Telik, mahasiswa Hindu dari Bali mengungkap kehidupan beragama di desanya terjalin baik justru di kalangan masyarakat biasa daripada antar tokoh agama dan dia berharap ke depan menjadi lebih baik. Tak ketinggalan, Mutiara dari Bandung menceritakan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat Sumba yang berbeda agama dan tradisi dalam program Exploring Sumba. Sementara Budi dari Riau merasa tidak mengalami ataupun melakukan sikap intoleransi.

 
Selanjutnya, Totok Tejamano, S.Ag, ketua Vihara Karangdjati yang juga Pembina Masyarakat Buddha Kota Yogyakarta mengungkapkan rasa senangnya bertemu mahasiswa yang haus untuk belajar hal baru di Vihara Karangdjati. Ia menuturkan sejarah Vihara Karangdjati sebagai vihara tertua di Yogyakarta telah berdiri sejak tahun 1950 dan diresmikan tahun 1962, meski sebenarnya bangunan utama sudah ada sejak jaman Belanda yakni tempat pemerahan susu sapi. Pada masa itu wilayah Karangjati merupakan lahan perkebunan dan setelah Indonesia merdeka lahan ini menjadi milik Romo Among. Di bagian lain, tahun 1958 Bhante Jinaputta menjalankan vassa dan tinggal di Cetiya Buddha Khirti, milik Tjan Tjoen Gie (Gunavarman Boediharjo) di kampung Sayidan, satu-satunya tempat ibadah pemeluk Buddha di Yogyakarta masa itu. Dari kesepakatan antara Tjan Tjoen Gie dan Romo Among, Bhante Jinaputta tinggal di bangunan bekas tempat pemerahan sapi milik Romo Among dan sejak itu kegiatan keagamaan mulai diadakan di situ. Ada delapan tokoh di Vihara Karangdjati yang dikenal dengan sebutan Djojo 8 (joyo wolu) yang aktif di vihara tersebut, antara lain Romo Among, Tjan Tjoen Gie, Soeharto Djojosoempeno, Djoeri Soekisno, Kho Tjie Hong, Tan Hok Lay, Moesihardjono, dan Krismanto. Vihara mulai berkembang dengan pembangunan pagar keliling dan gapura tahun 1962 dan dinyatakan sebagai berdirinya Vihara. Tahun-tahun berikutnya merupakan masa sulit ketika para perintis meninggal dunia termasuk Romo Among di tahun 1993. Vihara Karangdjati mulai menggeliat kembali tahun 1998 secara bertahap merenovasi bangunan pendukung, altar, kanopi dan pagar sisi barat, bahkan bersamaan perayaan Kathina 2550/2006, keluarga Romo Among menghibahkan tanah vihara kepada Sangha Teravada Indonesia. Perkembangan agama Buddha sampai tahap ini merupakan keterlibatan masyarakat yang saling mendukung dan mencerminkan persaudaraan yang mampu menjawab setiap pergumulan.
 
Totok juga memperkenalkan filosofi Jalan Tengah a la Vihara Karangdjati, yaitu Kesusu selak ngopo, alon-alon yo arep ngenteni opo? (mengapa tergesa-gesa, apa yang dikejar? Mengapa pelan-pelan, apa yang ditunggu?) Filosofi ini mengingatkan apapun yang dilakukan seseorang sebaiknya diawali dengan ketenangan dan tidak terburu-buru, berpikir jernih dan keseimbangan dalam menjalankan. Berkaitan sapaan Namo Buddaya digunakan untuk menyapa atau menyatakan ungkapan hati dengan sungguh-sungguh.

Tidak terasa, obrolan kami semakin serius, mendalam, memicu rasa ingin tahu, tapi tetap santai dan sampai pada pertanyaan yang diajukan peserta, “Pak Totok, mohon maaf sebelumnya, saya ingin tahu apakah Buddha itu menyembah patung Siddharta Gautama?” Pak Totok dan Mas Supri tertawa sambil menjawab, Ya, sebagian besar berpikir bahwa ketika kami menghadap dan bersujud di depan patung, kami sedang berdoa meminta-minta. Sebenarnya tidak demikian karena tradisi itu bermakna ungkapan spiritual maupun semangat untuk mencapai kebuddhaan. Bukan saja untuk mengenang Shiddharta Buddha Gautama sebagai guru utama yang menunjukkan jalan kelepasan, tetapi secara spiritual patung tersebut mempunyai sugesti yang kuat untuk mencapai kebudhaan. Lalu apa yang dimaksud Buddha itu sendiri? Buddha bukan sesuatu yang berbentuk atau nama atau seorang manusia, tetapi suatu gelar yang dapat dicapai oleh Shiddarta, yaitu ‘mencapai suatu tujuan’ melalui ‘pencerahan agung. Kata ‘Buddha sendiri berasal dari kata kerja buddhyang artinya bangun, sadar, mengerti dan tercerahkan dari kegelapan atau kesesatan menuju cahaya kebenaran. Patung Buddha juga digunakan oleh para Buddhis sebagai alat untuk berkonsentrasi dan meditasi dalam beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Sang Hyang Adhi Buddha. Jadi, patung Buddha bukanlah Siddharta sebagai manusia tetapi Tathagata atau Afatara, Sang Adi Buddha”, paparnya.

Dalam akhir pertemuan, Totok menyampaikan pesan kepada mahasiswa agar tetap bergandeng tangan menjaga keutuhan bangsa di tengah kondisi sosial masyarakat saat ini. Politik pecah belah sudah lama terjadi di wilayah nusantara ini dengan mengadu domba raja-raja untuk mendapat kekuasaan, saat ini isu beralih pada istilah-istilah keagamaan, kesukuan serta pribumi atau orang asing. Anak muda, mahasiswa perlu menyadari dan waspada hal tersebut dengan tetap Bersama Merangkai Indonesia. (PUT).

  Bagikan artikel ini

Mengenal dan Menghargai Perbedaan   di Klenteng Tjen Ling Kiong   (Poncowinatan)        

pada hari Rabu, 11 Maret 2020
oleh adminstube

 

Keberagaman Indonesia merupakan berkah yang indah jika masyarakat hidup rukun dan damai. Namun keberagaman sendiri bukan tanpa tantangan dan ujian, terbukti dengan adanya peristiwa yang menunjukkan sikap intoleransi di beberapa daerah di negeri ini, ditambah lagi prasangka dari satu pemeluk agama terhadap agama lain dan sebaliknya. Ini menjadi pendorong bagi Stube-HEMAT Yogyakarta untuk mengadakan pelatihan Multikultur dan dialog Antar Agama dengan tema ‘Bersama Merangkai Indonesia’ pada tanggal 6-8 Maret 2020 di Wisma Pojok Indah, Yogyakarta, dimana para mahasiswa peserta pelatihan belajar tentang prasangka yang bisa menghalangi seseorang berelasi antar agama.

 


 

Sesi eksposur ke berbagai tempat ibadah agama lain menjadi sesi yang menarik karena memberi pengalaman langsung peserta pelatihan berinteraksi dengan agama lain, seperti ke Klenteng Poncowinatan, Pura Jagadnatha, Vihara Karangdjati dan Pondok Pesantren Lintang Songo. Setiap peserta bebas memilih tempat ibadah mana yang ingin dikunjungi untuk mendapatkan pengalaman baru.

 


 

Eksposur ke Klenteng Poncowinatan diikuti 11 mahasiswa dan 1 pendamping. Mereka adalah Yustiwati, Fiany Kasedu, Ram Hara, Oktavianus Talo Pake, Hidayat Badjeber, Roni Aropa, Yulius Servas, Marten Momo Ndara, Daniel, Siti Muliana dan Ibu Ariani. Rombongan eksposur ini disambut oleh Bapak Eka Putera, selaku pengurus Klenteng, dengan ramah dan hangat. Perasaan kagum dan penasaran langsung muncul ketika melangkahkan kaki ke dalam bangunan Klenteng dan terungkap dalam pertanyaan-pertanyaan sepanjang diskusi, seperti ‘kapan Klenteng ini dibangun?, ‘seperti apa sejarahnya?’ dan ‘pemeluk agama apa saja yang beribadah di sini?” Selaku narasumber, Pak Eka menceritakan bahwa Klenteng ini disebut Tjen Ling Kiong, dibangun pada tahun 1881 di tanah pemberian Sultan Hamengkubuwono VII, dengan luas kurang lebih 2.000 m2 dan diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono VII. Awalnya klenteng ini menjadi tempat ibadah agama Konghucu, namun seiring waktu klenteng ini menjadi tempat ibadah tiga agama, akhirnya disebut Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD), yaitu Buddha, Konghucu, dan Taoisme.

 


 

Masyarakat Yogyakarta sendiri mengenal adanya mitos garis imajiner Gunung Merapi sampai ke Pantai Selatan, dan Klenteng ini berada dalam rentang garis lurus antara Gunung Merapi, Tugu Jogja, Kraton dan Pantai Selatan. Warna merah dan kuning emas selalu menghiasi Klenteng ini karena pemeluk Konghucu meyakini bahwa warna merah melambangkan kebahagiaan dan kemakmuran sedangkan warna kuning melambangkan keberuntungan dan keceriaan. Setiap agama memiliki keunikan dalam menyembah Tuhan dan sarana yang digunakan, termasuk di klenteng ini, ada sebuah beduk dan lonceng yang digunakan saat hari besar Konghucu, khususnya setiap 26 Agustus dan tahun baru Cina (Imlek), serta ada 19 altar pemujaan dewa-dewa dalam agama Konghucu yang memiliki kekuatan masing-masing, seperti dewa langit yang berkuasa di langit dan dewa dapur yang biasanya berada di belakang. Hal menarik dari Klenteng ini adalah selain untuk ibadah, juga tempat wisata dimana pengunjung yang datang tidak selalu beragama Konghucu, bahkan dikunjungi wisatawan mancanegara.

 


 

Yustiwati Angu Bima, salah satu peserta, mahasiswa Teologia UKDW yang berasal dari Sumba mengungkapkan, “Ini pertama kali saya berkunjung ke Klenteng, padahal saya sering lewat dan penasaran dengan bangunan yang unik ini, tetapi saya tidak berani menjawab rasa penasaran saya. Dari eksposur ini saya mendapat pengalaman dan pengetahuan baru dari Pak Eka yang sudah menjelaskan tentang Klenteng dan dewa-dewa dalam agama Konghucu”.

 

 

Seperti pelangi yang indah karena berbeda warna, bahwa pengalaman akan memperkaya diri kita, dengan mengenal, mengerti, dan menghargai perbedaan yang ada, perbedaan bukan alasan bermusuhan tetapi bersama-sama merangkainya menjadi Indonesia. Semua itu berawal dari diri kita. (Thomas Yulianto).


  Bagikan artikel ini

Merawat Toleransi dan Keterbukaan Jiwa   Eksposur ke Pura Jagadnatha        

pada hari Selasa, 10 Maret 2020
oleh adminstube
Toleransi adalah suatu hal yang sangat dirindukan oleh semua orang terutama di Indonesia. Toleransi merupakan suatu kalimat penghubung yang melahirkan cinta kasih sesama umat beragama, berbeda suku ras dan agama. Tetapi jika kita melihat ke belakang ada berbagai macam permasalahan yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak menyukai terciptanya kerukunan antar umat bergama di Indonesia. Pemicu maraknya kasus intoleransi disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya bisa jadi karena tidak pernah mengalami perjumpaan langsung.

Menanggapi maraknya permasalahan intoleransi, Stube-HEMAT sebagai wadah bagi mahasiswa yang belajar ke Yogyakarta, hadir untuk memberi ruang bagi anak muda agar bisa memiliki pengalaman perjumpaan langsung dengan agama lain, suku dan juga anak muda dari berbagai daerah. Perjumpaan ini harapannya memberi cara pandang baru bagi anak muda agar mampu memahami kekayaan bangsa ini dan mau merawatnya. Pada tanggal 7 Maret pukul 14.00WIB peserta pelatihan Multikultur dan Dialog Antar Agama  diajak berkunjung ke Pura Jagadnata yang berlokasi di Jalan Pura No 370, Desa Plumbon, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Datang berkunjung dan diterima dengan hangat oleh pak Budi sebagai ketua Pengempon Pura dan berdiskusi beberapa hal salah satunya makna Tuhan versi Hindu. Tuhan menurut agama Hindu menurut pak Budi adalah Tuhan yang Universal atau tanpa batas lalu mengapa kita harus berdebat dan mengatakan kalau Tuhan kitalah yang paling hebat? Sedangkan Tuhan itu tanpa batas dan tiada batas. Tuhan juga bisa menjadi apa saja yang dia mau dan tidak terbatas pada satu bentuk yang kita ketahui.

Pemaknaan lain yang luar biasa adalah pada setiap selesai ritual atau sembahyang selalu diberi beras pada dahi, ini melambangkan bahwa setiap umat yang telah selesai mengikuti ritual harapannya setelah keluar dari Mandala Utama atau bagian pura untuk sembayang bisa melahirkan benih-benih kebaikan dan terus menabur kebaikan untuk kemaslahatan umat.
 
Selain belajar tentang hal-hal baik dari ajaran Hindu, struktur bangunan Pura juga menyita perhatian peserta. Dengan teknik memotret yang tepat serasa kita sedang berada di Bali ditambah lagi di sekitar pura ditanami pohon kamboja yang berbunga kuning dan putih sehingga memberi kesan asri dan segar ketika memasuki pura. Pura terbuka untuk umum jika sekedar berfoto di halaman depan yang tidak dibuka untuk umum adalah mandala utama tempat di mana dilakukan upacara dan sembahyang.
 
Agama kita berbeda tetapi kita satu di bawah Bhinneka Tunggal Ika. Mari kita rawat rasa toleransi bersama sebagai anak muda tulang punggung masa depan bangsa ini. (SAP)

  Bagikan artikel ini

Bersama Merangkai Indonesia  

pada hari Senin, 9 Maret 2020
oleh adminstube
‘Kita adalah Indonesia, bersama merangkai Indonesia’ diungkapkan oleh tiga puluh mahasiswa peserta pelatihan Multikultur dan Dialog Antar Agama yang diadakan oleh Stube-HEMAT Yogyakarta pada tanggal 6-8 Maret 2020 di Wisma Pojok Indah, Yogyakarta. Mereka adalah mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, beragam etnis, agama dan latar belakang studi. Selanjutnya dalam pembukaan, Pdt. Em. Bambang Sumbodo, M.Min, yang juga board Stube-HEMAT mengingatkan peserta tentang keunikan negara Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan berkembangnya jaman dan teknologi, keunikan ini menjadi tantangan yang tidak mudah ketika ada masalah menyangkut suku, agama, ras dan golongan, akankah kata-kata positif yang terucap? Melalui firman ia mendorong peserta mengungkapkan kata-kata positif agar masyarakat yang majemuk ini tetap bersatu.
 

 

Berkaitan dengan keberagaman di Indonesia dan Stube-HEMAT, Ariani Narwatujati, Direktur Eksekutif Stube-HEMAT menekankan pentingnya mahasiswa secara bersama merangkai Indonesia, bukan sembarang merangkai tetapi menyusun kepingan yang berbeda menjadi kesatuan gambar yang lengkap. Ini semangat Stube-HEMAT sebagai wadah belajar mahasiswa dengan beragam latar belakang, daerah, agama, budaya dan program studi, bahkan mendorong mahasiswa ketika selesai kuliah untuk mengembangkan hal-hal positif di daerah asalnya. Melengkapi perkenalan Stube, Mutiara Srikandi, menyampaikan pengalaman peserta program Exploring Sumba, sebagai mahasiswa muslim ia benar-benar merasakan toleransi masyarakat Sumba yang sebagian besar Kristen Protestan, “Pada dasarnya, kita mesti memberanikan dan membiasakan diri berada di daerah yang plural, kita bisa berdampingan tanpa merusak keyakinan kita sendiri” ungkapnya.
 

 

 

 

“Interaksi lintas iman sebenarnya sudah dilakukan oleh mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari di kampus, tempat tinggal mereka masing-masing, namun belum sampai pada dialog lintas iman” papar Pdt Dr. Wahyu Nugroho, MA. Perkembangan teknologi yang semakin maju menjadi tantangan interaksi lintas iman, karena rujukan informasi cenderung bersumber pada dunia maya baik itu informasi yang valid maupun abal-abal, kemudian berkembangnya media sosial di sisi lain membuka ruang interaksi antar manusia dan menjalin hubungan tetapi di sisi lain mengurangi perjumpaan antar manusia yang beragam latar belakang. Padahal perjumpaan secara langsung inilah bisa menjadi pengalaman berharga dan ruang dialog untuk menjawab rasa ingin tahu dan menumbuhkan rasa toleransi dan solidaritas.
 

 

Dalam sesi menelisik jejak agama-agama di Indonesia, Muryana, S.Th. I, M.Hum, mendorong peserta tidak hanya mendalami agamanya sendiri tetapi juga mengenal agama lain dan kepercayaan lokal di Indonesia karena ini akan memperkaya pemahamannya, misalnya buku dengan tulisan arab tidak selalu berkaitan dengan Islam, masuk ke gereja dianggap menjadi Kristen dan kepercayaan lokal dianggap tidak benar. Bahkan pengaruh agama dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia akan terungkap, seperti Buddha pada masa kerajaan Sriwijaya, Hindu saat kerajaan Singosari dan Majapahit, zaman Islam bersama para wali dan kekristenan yang masuk ke Indonesia diawali oleh penginjil dari Eropa, termasuk keberadaan kepercayaan lokal misalnya Marapu di Sumba, Sunda Wiwitan di Jawa Barat dan Kaharingan di Kalimantan.
 

 

 

Melengkapi pengalaman berdialog antar agama peserta melakukan eksposur kelompok ke Kelenteng Poncowinatan, Pondok Pesantren Lintang Songo Piyungan, Pura Jagadnatha dan Vihara Budha Karangdjati untuk mengenal lembaga dan dinamikanya, menggali pendapat pemuka agama tentang keberagaman di Indonesia dan menemukan peran mereka dalam masyarakat yang multikultur. Kemudian melalui film Aisyah Biarkan kami bersaudara, Beta Mau Jumpa, Atas Nama Percaya dan Tanda Tanya mengasah kesadaran dan analisa mereka tentang realitas kehidupan antar umat beragama.
 
 

 

Sebagai tindak lanjut pelatihan ini peserta merancang aktivitas secara pribadi maupun kelompok, seperti membagikan materi dan pengalaman pelatihan bersama komunitas mahasiswa daerah, kampus, pondok pesantren dan gereja, menulis pengalaman dialog lintas iman dan artikel tentang multikultur, keberagaman pangan dan toleransi, membuat vlog dan film pendek tentang keberagaman dan toleransi kemudian diposting di media social, bahkan merancang pertemuan anak muda lintas agama di kampung halaman.
 

 

Perbedaan jangan menjadi alasan untuk perpecahan melainkan tempat untuk belajar dan menumbuhkan toleransi. Sudahkah kita bersyukur atas keberagaman bangsa ini, sudahkah iman percaya kita berdampak baik bagi kemanusiaan? Mari kita wujudkan kedamaian bagi bangsa ini, mari bersama merangkai Indonesia. (TRU).
 



  Bagikan artikel ini

Bersama Merangkai Bangsa

pada hari Sabtu, 25 Januari 2020
oleh adminstube

Lantunan lagu Satu Nusa Satu Bangsa, ciptaan L. Manik membuka diskusi mahasiswa Bersama Merangkai Indonesia oleh Stube-HEMAT Yogyakarta di resto Den Nanny, Yogyakarta (23/01/2020). Lagu yang dinyanyikan oleh tigapuluh empat mahasiswa dari berbagai kampus ini mengingatkan kembali para mahasiswa tentang komitmen kesatuan Indonesia di tengah keberagaman budaya, bahasa dan agama. Dalam pembukaannya, Ariani Narwastujati, Direktur Eksekutif Stube-HEMAT menyampaikan bahwa setiap kita saat ini bersama merangkai Indonesia dengan aneka ragam latar belakang yang dimiliki. Keberagaman Indonesia membuat iri negara lain karena keberagaman seperti aksesori yang indah, karenanya ada pihak-pihak yang berusaha memecah belah bangsa ini dengan berbagai cara sehingga rasa kesatuan dan persatuan memudar. Kegiatan ini menjadi wadah anak muda bertemu, berbagi pengalaman dan menjadi agen dalam merangkai Indonesia. Stube-HEMAT sendiri, sebagai lembaga pendampingan mahasiswa, terbuka untuk melayani mahasiswa menemukan jati diri masing-masing, siap berkontribusi di daerah.

 

 

 

 

 

Beberapa praktisi lintas iman memfasilitasi diskusi ini, seperti Totok Tejamano, S.Ag, (pimpinan vihara Buddha Karangjati, Yogyakarta) berterimakasih kepada Stube atas dialog mahasiswa ini dan mengungkap bahwa hidup tidak lurus-lurus saja, dunia kerja terkadang berbeda dengan yang dipelajari di kampus, cumlaude penting tetapi lengkapi dengan pengalaman sosial bersama masyarakat. Saat ini isu agama menjadi seksi karena pembicaraan tentangnya terkadang tidak menghadirkan kedamaian tetapi meresahkan. Ini salah satu upaya memecah belah Indonesia karena kekayaan sumber daya alam dan energi menggoda siapa pun untuk menguasainya. Dengan propaganda suku tertentu yang paling kuat, truth-claim dalam agama dan kepentingan ekonomi dan politik menjadi alat memecah belah bangsa. Kita sebagai mahasiswa mestinya bisa mengembalikan fungsi awal agama, yang mendorong setiap orang peduli dan memiliki rasa kebersamaan dan bergerak untuk kemanusiaan.

 

 

 

 

 

 

“Apakah para mahasiswa bertemu dengan orang yang berbeda agama ketika masih di daerah? Bagaimana pengalaman Anda ketika itu?” ini pertanyaan awal Pdt. Dr. Wahyu Nugroho M.A kepada peserta yang ternyata sebagian besar peserta telah berada di Yogyakarta lebih dari dua tahun. Ina, salah satu peserta mahasiswa dari Manggarai mengungkapkan bahwa di daerahnya ada beragam agama, Islam, Kristen dan Katolik yang sangat akrab. Ketika Natal dan Paskah pemeluk Islam ikut merayakannya dan sebaliknya ketika Idul Fitri dan Idul Adha pemeluk Kristen dan Katholik pun ikut merayakannya, tidak ada gejolak di masyarakat. Ada pengakuan mahasiswa yang kesepian ketika Paskah dan Natal di Yogya karena tidak semeriah dibanding daerah asalnya di kawasan timur Indonesia, dekorasi dan asesoris perayaan natal mudah ditemui di sepanjang jalan. Dalam paparannya, Pdt. Wahyu Nugroho menjelaskan bahwa ada pemahaman co-eksistensi dan pro-eksistensi dalam kehidupan bersama dalam keragaman. Co-eksistensi memiliki makna hidup berdampingan secara damai, tidak saling mengganggu, tetapi tidak ada interaksi bersama, sementara pro-eksistensi dimaknai sebagai hidup berdampingan secara damai dan masing-masing pihak saling mendekat untuk menumbuhkembangkan kebersamaan dan terjalinnya kerjasama.

 

 

 

Pengalaman perubahan hidup dalam interaksi keberagaman diungkapkan oleh Eko Prasetyo, SH dari Social Movement Institute (SMI). Di masa kecilnya ia belajar di sekolah Katholik dan melanjutkan ke pondok pesantren dan melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Di kota ini ia menghadapi lingkungan yang sama sekali berbeda, bahkan seperti kontradiksi apa yang ia jumpai di pesantren dengan ketika kuliah, ia bertemu dengan mahasiswa berbagai daerah, kalangan dan latar belakang ilmu, suku dan agama yang akhirnya menjadi titik baliknya untuk berinteraksi dengan semua orang sekaligus bergerak melawan masalah sosial dan ketidakadilan di masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

Dalam simpulan diskusi disampaikan bahwa meskipun dalam agama dan budaya yang sama, tetap ada realita perbedaan pemahaman di masyarakat. Ini yang menjadi tantangan bagi setiap orang bagaimana menyikapi perbedaan sebagai keragaman. Mahasiswa sebagai anak bangsa dituntut cerdas dalam bersikap di tengah keberagaman yang ada, mengikis prasangka satu sama lain dan waspada terhadap radikalisme, dan bergerak bersama dalam interaksi lintas agama dan lintas budaya. Jadi penting adanya pengalaman perjumpaan antar umat beragama untuk membentuk pemahaman saling menghargai yang kemudian disimpan dalam pikiran masing-masing dan pentingnya penekanan pada ajaran agama yang menjunjung tinggi dan mengakui adanya perbedaan diluar doktrin agamanya sendiri. Tantangan generasi muda saat ini adalah bagaimana menjadi penggerak sekaligus agent of change dengan membuka diri dan memperkaya pemahaman dengan berbagai pengalaman baru dalam mengkampanyekan keberagaman dan toleransi dalam masyarakat Indonesia. (TRU)

 

 

 

 

 

 


  Bagikan artikel ini

Berita Web

 2024 (4)
 2023 (38)
 2022 (41)
 2021 (42)
 2020 (49)
 2019 (37)
 2018 (44)
 2017 (48)
 2016 (53)
 2015 (36)
 2014 (47)
 2013 (41)
 2012 (17)
 2011 (15)
 2010 (31)
 2009 (56)
 2008 (32)

Total: 631

Kategori

Semua  

Youtube Channel

Official Facebook