(Alam dan Lingkungan di Kawasan Wisata Goa Gong, Pacitan)
Goa Gong merupakan kawasan wisata lindung yang diakui UNESCO sejak 2015. Setiap kawasan lindung pasti menerapkan prosedur pentingnya menjaga kebersihan alam dan lingkungannya. Akan tetapi semua itu kembali pada kesadaran setiap orang untuk melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Etika dalam menjaga kawasan lindung agar tetap nyaman dan bersih penting diterapkan. Memasang tulisan pada papan atau baliho dan menyediakan tempat penampungan sampah merupakan salah satu cara sederhana yang dapat dilakukan. Ditempatkan pada beberapa titik yang mudah dilihat setiap pengunjung. Hal ini seperti yang telah dilakukan di kawasan wisata Goa Gong, Pacitan. Kebersihan merupakan salah satu indikator kesehatan yang penting diterapkan. Hal ini sejalan dengan workshop program Health Problem yang diadakan Stube-HEMAT Yogyakarta yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya kebersihan lingkungan dan menjaga pola hidup sehat.
Lingkungan yang bersih akan menstimulasi alam yang indah. Selain lingkungan yang bersih, tumbuhnya beragam jenis tanaman dan pohon akan memberi dampak positif terhadap alam dan lingkungan sekitarnya. Keindahan alam yang hijau akan menstimulasi energi positif bagi setiap orang, khususnya pengunjung yang datang sebagai wisatawan di Goa Gong. Kondisi geografis dan alam yang berbukit dan ditumbuhi beragam jenis tumbuhan menambah asri kawasan ini.
Dalam masa pandemi Covid-19, salah satu protokol kesehatan yang diterapkan oleh petugas wisata Goa Gong dengan menyediakan sarung tangan bagi setiap pengunjung yang datang, selain cuci tangan dan cek temperatur tubuh. Akan tetapi, jaga jarak antara pengunjung masih belum dapat ditegakkan secara disiplin, meskipun beberapa kali petugas mengingatkannya. Hal ini terjadi karena minimnya kesadaran pengunjung, bahkan di antara mereka bersenda gurau dan menyanyi tanpa mengenakan masker. Hal ini patut mendapat perhatian karena akan menjadi masalah kesehatan yang memberi dampak negatif bagi masyarakat banyak.
Kesadaran diri dan peka terhadap situasi alam dan lingkungan adalah perihal yang mungkin sulit diterapkan bagi setiap orang. Berekreasi dan kunjungan kenali alam memberi kesempatan manusia belajar bahwa lingkungan yang bersih akan memberi energi positif dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Alam tidak dapat bicara seperti layaknya manusia, akan tetapi ia dapat menunjukkan keindahannya sehingga manusia dapat menyadari betapa pentingnya alam dan lingkungan untuk kehidupan. ***
Tidak dapat dipungkiri hampir satu tahun pandemi Covid-19 ini berlangsung di Indonesia. Bahkan di bulan Desember belum ada penurunan angka pasien Covid-19, justru sebaliknya angka menunjukan peningkatan. Kesempatan mengunjungsi desa wisata Goa Gong dan pantai Klayar di daerah Pacitan, Jawa Timur di saat pandemi, memberi kesempatan penulis untuk mengamati bagaimana masyarakat menyikapinya.
Goa Gong dan Pantai Klayar termasuk tempat wisata yang diakui UNESCO sejak tahun 2015, sehingga animo pengunjungnya termasuk tinggi. Sejak pandemi merebak, tempat-tempat wisata ditutup sehingga ekonomi para pelaku usaha sekitar kawasan wisata turun drastis, mulai dari retribusi masuk lokasi, parkir, para pedagang, pemandu wisata sampai para pengusaha toilet. Salah satu pedagang akik di kawasan Goa Gong bercerita bahwa awalnya pendapatan mereka terhitung cukup untuk makan, tetapi saat pandemi pendapatan mereka terjun bebas, bahkan tanpa hasil. Namun tidak ada pilihan lain selain menunggu wisatawan datang lagi dan membeli barang dagangan mereka.
Kawasan Pantai Klayar menyuguhkan keindahan pantainya. Banyak masyarakat sekitar bekerja sebagai ojek pantai yang mengangkut penumpang dari pinggir pantai sampai pintu keluar yang cukup jauh dan menanjak. Saat pandemi ini lebih banyak tukang ojek pantai dibandingkan dengan wisatawan yang datang. Jelas bahwa pendapatan mereka sangat berkurang. Seorang tukang ojek pantai bercerita bahwa dirinya belum mendapatkan penumpang satu pun Satu hal yang perlu diacungi jempol yakni mereka tidak menyerah dan yakin bahwa rezeki sudah ada yang mengatur. Sebenarnya bukan hanya mereka yang berada di kawasan pantai ataupun goa yang terdampak pandemi dalam hal ekonomi. Banyak orang yang terdampak secara ekonomi akibat pandemi karena terkena pengurangan karyawan di tempat kerja, tidak memiliki pekerjaan tetap bahkan sampai kepada petani dengan turunnya daya beli masyarakat.
Dengan observasi dan pengamatan lapangan, timbul sebuah refleksi sendiri bagi penulis bahwa perlu empati dan tindakan untuk saling menopang secara ekonomi dengan cara membeli barang dagangan atau menggunakan jasa yang ditawarkan. Mari kita berbagi dengan tidak hanya mempertimbangkan kebutuhan kita semata, namun saling menghidupi satu dengan lainnya, supaya tercapai keseimbangan. “Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan, dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan,” (2 Korintus 8: 15). ***
Permasalahan kesehatan di Indonesia saat ini tidak lepas dari realita pandemi Covid 19 yang masih terjadi. Pandemi memukul berbagai bidang aktivitas masyarakat, dari pemerintahan, pendidikan, ekonomi, keagamaan, perdagangan termasuk pariwisata. Pemerintah dengan beragam kebijakan mengupayakan setiap bidang kembali berjalan dan masyarakat pun berusaha bangkit dengan memanfaatkan potensi yang mereka miliki. Sejak pertengahan tahun pemerintah mengkampanyekan new normal sebagai respon untuk menjalani hidup dengan pola baru, antara lain penerapan protokol kesehatan secara pribadi, di tempat kerja maupun di tempat umum demi menggerakkan kehidupan masyarakat itu sendiri.
Berdasar amatan yang dilakukan dalam eksposur atau kunjungan belajar sebagai bagian program Health Problems in Indonesia yang dilakukan di Goa Gong di kabupaten Pacitan, Jawa Timur (19/12/2020) diketahui bahwa goa yang terletak di desa Bomo, kecamatan Punung, kabupaten Pacitan merupakan bagian dari Global Geopark Network yang ditetapkan UNESCO tahun 2015. Kawasan Geopark sendiri membentang di tiga daerah, yaitu kabupaten Gunungkidul (DIY), kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) dan kabupaten Pacitan (Jawa Timur), dan khusus di Pacitan sendiri berupa goa, pantai dan situs arkeologi.
Mempertimbangkan bahwa goa termasuk dalam kawasan resiko tinggi paparan Covid-19, sehingga wisata di goa Gong menuntut kesiapan dan perlakukan khusus demi keselamatan dan keamanan pengunjung dan pengelola dari paparan Covid-19. Potensi paparan ini karena adanya kumpulan pengunjung dan sentuhan pada pagar dan batuan yang ada di jalur pengunjung dalam goa sehingga pengelola wisata mengupayakan penerapan secara serius protokol kesehatan dengan beberapa kebijakan baru seperti wajib menggunakan sarung tangan, didampingi oleh pemandu wisata, membatasi jumlah pengunjung per kelompok, mengatur jarak masuk per kelompok dan membatasi durasi kunjungan di dalam goa.
Selain kebijakan di atas pengelola kawasan wisata juga sudah melengkapi area wisata dengan: 1) memasang informasi penerapan protokol kesehatan di kawasan wisata berupa papan peringatan, spanduk dan poster di beberapa sudut kawasan; 2) Menyiapkan tahapan pemeriksaan kesehatan dari penggunaan sarung tangan untuk pengunjung, mengecek suhu tubuh, penggunaan masker, dan mengatur jumlah anggota per kelompok; 3) Menyediakan fasilitas untuk menjaga kebersihan dan kesehatan, dari tempat cuci tangan dan ketersediaan air yang cukup bahkan hampir di setiap kios yang menjajakan cinderamata menyediakan fasilitas cuci tangan, tempat sampah sesuai jenis sampah dan pembersihan fasilitas secara rutin oleh pengelola; 4) Peran pemandu yang tidak lelah mengingatkan pengunjung untuk menjaga protokol kesehatan selain menjelaskan spot-spot dalam goa dan beragam cerita di dalamnya.
Temuan-temuan ini menunjukkan kesiapan secara serius oleh pengelola dan pihak-pihak yang terlibat di kawasan wisata Goa Gong dalam menerapkan protokol kesehatan. Hal ini seharusnya diimbangi oleh para pengunjung untuk berperilaku sehat selama kunjungan. Namun demikian pelaksanaan protokol kesehatan di kawasan Goa Gong ini menyisakan masalah baru yang harus dipikirkan secara serius oleh pengelola, yaitu limbah sarung tangan. Betapa tidak, karena dengan kehadiran lima ratus pengunjung per hari akan meninggalkan limbah seribu sarung tangan bekas per hari.
Harapannya dengan temuan-temuan ini membuka optimisme masyarakat untuk terus konsisten dalam menerapkan hidup baru berbasis pola hidup bersih dan sehat sehingga kesehatan masyarakat yang lebih baik dapat terwujud dan keberadaan Goa Gong sebagai anugerah Tuhan berupa warisan geologi yang sangat berharga dapat menghadirkan kesejahteraan untuk masyarakat.***
Menyusuri Goa Gong di tengah pandemi, bukan hanya mengagumi keindahan stalaktit dan stalakmit, tirai batu yang menjadi marmer, kristal, dan ‘sendang’ (sumber mata air), tetapi juga menghidupkan kembali geliat wisata sebagai mata pencaharian penduduk setempat. Dua puluh lima menit susur goa sambil menggali pergumulan hidup seorang ibu yang berprofesi sebagai tour guide lokal saat pariwisata sedang mati suri.
Persoalan pandemi Covid-19 di Indonesia telah mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung berbagai aktivitas masyarakat di berbagai bidang. Salah satu pengaruh yang sangat berdampak yaitu penutupan hampir seluruh sektor pariwisata yang selama ini menjadi sumber pendapatan masyarakat di wilayah tersebut. Demikian pula yang terjadi di tempat wisata Goa Gong di Desa Bomo, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Sebelum dilanda Covid-19, animo pengunjung cukup tinggi sehinga para pramuwisata memiliki kesempatan untuk memandu wisatawan. Dari sinilah mereka memperoleh pendapatan. Namun sejak Maret 2020, Goa Gong ditutup untuk kunjungan wisatawan, oleh karena itu masyarakat yang tadinya memiliki peran atau aktivitas ekonomi di sekitar wisata tersebut lantas tidak dapat bertahan.
Berdasarkan wawancara dengan salah seorang pemandu wisata, ada 26 orang pramuwisata dengan komposisi perempuan 16 orang dan 8 orang laki-laki. Ibu-ibu yang menjadi pramuwisata di Goa Gong bekerja untuk membantu kestabilan perekonomian keluarga dan mereka mendapat dukungan penuh dari keluarga sehingga bisa konsentrasi dan profesional saat bekerja memandu para wisatawan. Mereka juga melakukannya dengan senang dan semangat karena dapat berinteraksi dengan masyarakat yang berasal dari berbagai daerah bahkan luar negeri.
Pemerintah terus berupaya menerapkan solusi-solusi yang dapat menyeimbangkan berjalannya roda perekonomian masyarakat sekaligus dapat meminimalisir penyebaran Covid-19. Hingga diterapkannya model New Normal yang berpandangan bahwa dengan mematuhi protokol kesehatan, masyarakat dapat beraktivitas seperti sedia kala namun dengan batas-batas tertentu seperti kuota kerumunan serta penyediaan fasilitas untuk menjalankan protokol kesehatan. Akses ke tempat-tempat pariwisata mulai dibuka kembali dengan memperketat penerapan protokol kesehatan.
Faktanya, kebijakan New Normal tidak dapat serta merta mengembalikan tatanan kehidupan seperti semula. Namun membantu secara pelan memulihkan sektor-sektor yang tadinya sempat melemah meskipun membutuhkan waktu. Demikian juga dengan wisata Goa Gong yang sudah mulai dibuka sejak September 2020, meskipun sebatas untuk para pengunjung lokal. Jumlah pengunjung tergolong masih rendah sementara kesediaan tour guide masih sama sebelum Covid-19. Salah seorang ibu pramuwisata mengatakan bahwa disaat sepi seperti ini dia harus cari kerja tambahan, dia bekerja di tempat pembuatan jamu. “Ya bagaimana lagi ya Mbak, yang penting keluarga sehat dan bisa makan,” imbuhnya. Ini merupakan perwujudan perjuangan perempuan agar dapat bertahan hidup meski harus berhadapan dengan ganasnya penyebaran Covid-19. Hidup perempuan pekerja!***
Pemetaan masalah Kesehatan di Indonesia
Masalah kesehatan masih menjadi keprihatinan di Indonesia, bahkan bisa dikatakan rentan, karena dari hal yang sepele bisa mengancam nyawa manusia jika tidak ditangani dengan baik, apalagi di daerah terpencil dan terbatas layanan kesehatannya. Beragam masalah kesehatan ini muncul dari beragam kondisi geografis Indonesia, termasuk kabupaten Manggarai, propinsi Nusa Tenggara Timur tempat saya tinggal.
Salah satu masalah yang menjadi perhatian saya adalah kematian ibu dan bayi. Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai tahun 2018 menyatakan bahwa salah satu masalah adalah kematian Ibu dan Bayi, serta gizi buruk. Beberapa kendala mengatasi masalah tersebut mencakup SDM tenaga kesehatan terbatas, kondisi geografis wilayah, budaya, distribusi tenaga kesehatan belum merata, pelaksanaan SOP di faskes tingkat pertama (FKTP) belum optimal, anggaran kesehatan dan terbatasnya alat kesehatan yang berkualitas. SDM bidang kesehatan terbatas mulai dari kuantitas, kualitas, jenis dan distribusi tenaga dokter umum, tenaga ahli gizi, apoteker, analisis kesehatan, dll. Keterbatasan ini menghambat pelayanan kesehatan bahkan tenaga kesehatan yang ada kewalahan karena menjalankan beberapa tugas bersamaan sehingga pekerjaan terbengkalai atau keterlambatan penanganan pasien.
Langkah apa yang harus dilakukan? Penanganan baik dimulai dengan memetakan faktor yang berkaitan dengan masalah tersebut, khususnya di Manggarai. Pertama, peningkatan SDM kesehatan melalui pendidikan dan pelatihan teknis dalam bidang kesehatan termasuk pemerataan tenaga kesehatan di Manggarai, terutama daerah yang terpencil dan sulit terjangkau demi ketersediaan layanan pertama untuk pasien terutama ibu hamil dan melahirkan.
Ini tidak mudah dan perlu intervensi pemerintah karena tidak setiap orang siap berada di daerah terpencil, ada usaha Pemerintah meningkatkan kesehatan melalui program Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan serta daerah Bermasalah Kesehatan, yang terdiri dari tenaga profesional dokter, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium medis, tenaga gizi dan tenaga kefarmasian. Tahun 2017 Manggarai mendapat dua puluh dua tenaga kesehatan dari Nusantara Sehat dan didistribusikan di 4 puskesmas: Wae Kajong, Reo, Bea Mese dan Iteng yang terdiri dari dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, apoteker, sanitarian dan tenaga gizi berdasar kebutuhan puskesmas (kupang.tribunnews.com/2017/09/07/22-tenaga-kesehatan-tim-nusantara-sehat-bertugas-di-kabupaten-manggarai). Lalu, mengapa kematian ibu dan bayi masih rentan terjadi? Faktor lain yang berkaitan erat adalah keluarga sebagai lingkaran pertama dari ibu dan calon bayi, yang mengkondisikan, mengupayakan keselamatan dan keamaan dan menjamin ketersediaan kebutuhan ibu dan calon bayi dari saat mengandung, melahirkan dan pasca melahirkan. Namun kondisi keluarga itu sendiri sangat beragam, tingkat pendidikan dan kesadaran diri, bagaimana mencukupi kebutuhan hidup ditambah faktor budaya dan geografis. Di sinilah perlu edukasi kesehatan untuk keluarga, tidak saja ibu yang mengadung dan suaminya, tapi juga keluarga besar.
Gereja bisa dilibatkan dalam peningkatan kualitas kesehatan. Apakah gereja sudah memperhatikan dan terlibat dalam penanganan masalah kesehatan warga dan masyarakat? Gereja adalah wadah yang bertanggungjawab dalam pelayanan, perlu berperan dalam kesehatan misalnya bisa melalui kotbah tentang kesehatan berdasarkan ajaran agama dan Alkitab, sosialisasi tentang kesehatan karena ini juga sebagai upaya menjaga dan merawat diri sebagai makhluk Tuhan yang mulia dan berakal budi. Alternatif lain bisa berupa pemantauan kesehatan jemaat secara rutin dan usaha peningkatan gizi jemaat. Sehingga gereja tidak hanya ibadah saja tetapi lebih dari itu sebagai wujud cinta kasih utuh dari Gereja terhadap umatnya.
Masalah kesehatan menjadi tangung jawab bersama, pemerintah melalui bidang kesehatan, kesadaran individu yang bergerak di kesehatan, perilaku individu di keluarga dan masyarakat dan institusi lain yang memberi perhatian terhadap masalah sosial ini. Dari temuan pemasalahan kematian ibu dan bayi di sekitar saya tinggal membuat saya lebih sadar dan memperlengkapi diri dalam mewujudkan kesadaran kesehatan baik diri sendiri, keluarga maupun lingkungan tempat saya tinggal dan terus berpartisipasi untuk Manggarai yang lebih baik.***
Terus melonjaknya kasus paparan Covid 19, menjadi sebuah keprihatinan tersendiri masyarakat Yogyakarta khususnya warga RW 19. Covid 19 bahkan sudah sampai di depan mata ada di sekitar masyarakat. Dengan menyadari bahwa penanganan melawan Covid 19 tidak bisa sepenuhnya bergantung pada tenaga kesehatan, tetapi masyarakat juga harus terlibat aktif dalam level pencegahan dan pemberian informasi sebagai langkah penanganan. Kesadaran warga dan semangat terus mencari informasi berkaitan Covid 19 bersambut baik dengan Stube HEMAT Yogyakarta melalui program Health Problems in Indonesia. Stube HEMAT menginisiasi dialog dan edukasi kepada masyarakat, sebagai kontribusi dalam pembangunan masyarakat khususnya bidang kesehatan berkaitan dengan pandemik Covid 19. Dialog secara virtual ini diikuti oleh pengurus RW dan anggota tim Satgas Covid kampung Nyutran RW 19 tentang Desa/Kampung Tangguh Covid 19 bersama Endro Sambodo dari Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD DIY pada hari Minggu (6/12/2020).
Dalam pembukaan Ariani Narwastujati, Direktur Eksekutif Stube HEMAT sekaligus moderator mengungkapkan bahwa topik ini dipilih untuk menjawab tantangan dan permasalahan yang terjadi sehari-hari dalam masyarakat mewujudkan kampung tangguh Covid 19. Ketua Satgas Covid RW 19, Didiet Raditya Hadi menyambut baik kegiatan ini dan berterima kasih kepada narasumber yang sudah meluangkan waktu dalam dialog virtual yang baru pertama kali dilakukan selama pandemi dan berharap pertemuan ini bermanfaat untuk masyarakat khususnya warga RW 19 untuk tahu hal-hal berkaitan kampung tangguh Covid 19.
Endro Sambodo dalam pemaparan materi mengingatkan pentingnya desa/kampung tangguh Covid 19 karena wabah pandemik di wilayah DIY terus meningkat. Ini membutuhkan peran serta masyarakat dari tingkat RT/RW untuk segera memberdayakan diri sehingga masyarakat sigap bertindak apabila wabah mulai masuk ke wilayahnya. Dengan kesigapan masyarakat setempat merespon wabah maka penanganan bisa dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga rantai penularan dapat diputus dan mencegah paparan lebih banyak. Berkaitan dengan Desa/kampung Tangguh Covid 19, Endro mengungkapkan langkah-langkah yang mesti dipenuhi, yaitu: 1) pengurus kampung memiliki sistem komunikasi warga melalui Whatsapp, sms atau aplikasi komunikasi lainnya. 2) peraturan yang harus dilaksanakan untuk keselamatan warga, terutama terkait berkumpulnya warga, acara-acara khusus, adanya pendatang atau pemudik, termasuk kesepakatan sanksi yang disetujui bersama. 3) membuat komunikasi yang cepat apabila terjadi insiden apa pun di wilayahnya. 4) Menunjuk warga atau meminta kesukarelaan warga menjadi penanggung jawab bidang yang dibutuhkan. 5) membentuk bidang komunikasi, kesehatan, operasi, logistik dan keamanan. Catatan penting lainnya adalah mencegah stigma sosial untuk melindungi orang yang terpapar Covid, bahwa terpapar Covid bukanlah aib.
Endar Hidayati, ketua RW 19 mengungkapkan “Dialog ini bagus sekali untuk membuka wasasan kami sebagai pengurus kampung Nyutran menjadi kampung tangguh Covid, adanya pengetahuan baru ini menjadi referensi kita untuk menyiapkan langkah-langkah tindak lanjut untuk lebih sigap dan sadar menghadapi Covid yang tidak tampak tapi sebenarnya ada.” Harapannya pengalaman dalam dialog edukasi ini menjadi nilai tambah bagi setiap peserta dan bekal baru dalam mewujudkan masyarakat yang tangguh dalam menghadapi pandemi Covid 19. Terus guyub rukun saklawase, Bravo RW 19.***
Mental health dengan topik ‘Masalah Psikososial Orang Muda’ menjadi bagian pelatihan Health Problems in Indonesia yang diadakan Stube-HEMAT Yogyakarta melalui diskusi virtual pada 5 Desember 2020. Dua puluh peserta mahasiswa beragam latar belakang studi di Yogyakarta dan luar Yogyakarta seperti Sumba, Lampung, Nias, Flores, Bangka, Maluku, dan Cilacap, ini memperkaya diskusi yang mengundang Yosef Andre Beo sebagai narasumber. Andre sangat mengenal Stube HEMAT karena pernah aktif di lembaga ini ketika kuliah di Yogyakarta. Saat ini nara sumber sedang menyelesaikan Magister Keperawatan Jiwa di Universitas Brawijaya Malang.
Dalam pemaparannya, nara sumber mengungkapkan bahwa masalah-masalah psikososial dapat dilihat dalam wujud kecemasan, keputusasaan, ketidakberdayaan, merasa terbebani, kesepian, gangguan citra tubuh, dan mengeluh secara terus menerus. Di saat pandemi dengan imbauan physical distancing dan study from home menyebabkan seseorang tidak bisa beraktivitas seperti biasa, dan ini rentan untuk remaja maupun dewasa awal, karena secara psikososial mereka masih labil sehingga rentan memicu depresi dan ganggunan mental, seperti kejadian yang dilansir dari kompas.com 18/10/2020 bahwa seorang siswi SMA di Gowa, Sulawesi Selatan bunuh diri akibat depresi dengan banyaknya tugas-tugas daring dan sulitnya mengakses internet.
Lebih lanjut, perkembangan psikologis seseorang melalui fase (1) usia toddler/golden age (1-3 tahun), fase di mana seseorang belajar mandiri atau berperasaan malu dan ragu-ragu. Di masa ini orang tua dianjurkan untuk tidak terlalu membatasi ruang gerak serta kemandiriannya agar tidak berketergantungan. (2) usia pra sekolah (3-5 tahun), fase dimana rasa ingin tahu dan antusiasme mempelajari hal baru begitu dominan. Jika anak jarang mendapat stimulasi baik maka ia akan merasa bersalah dan gagal, karena di fase ini anak sedang membentuk konsep dirinya. (3) usia sekolah (6-12 tahun) anak belajar berinteraksi dengan teman-temannya maupun gurunya. Jika anak memiliki ruang berekspresi maka ia terampil secara sosial dan akademik untuk merasa percaya diri, namun sebaliknya jika gagal mengembangkan diri, mereka akan merasa inferior atau rendah diri dan tidak bisa melihat sisi baik diri mereka. (4) usia remaja (12-18 tahun) remaja dapat menunjukkan peran dan bergaul dengan mengadopsi nilai kelompok dan lingkungannya dan dapat mengambil keputusannya sendiri. Kejelasan identitas diperoleh apabila ada apresiasi dari orangtua atau lingkungan yang membantunya melalui proses pencarian identitas diri. Ketidakmampuan dalam mengatasi suatu konflik dapat menimbulkan kerancuan peran. (5) usia dewasa (18-40 tahun) ketika seseorang sudah memiliki komitmen dan selektif untuk menjalin suatu hubungan dengan orang lain, namun jika mengalami kegagalan maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam berinteraksi dengan orang, bahkan mengisolasikan diri.
Dalam diskusi interaktif ini beberapa peserta menceritakan ulang masa kecilnya dan merefleksikan adanya standar-standar sosial tertentu yang ia alami dan yang tentu berbeda dengan remaja di daerah lain. Standar-standar sosial ini sangat mempengaruhi proses tumbuh kembang mereka baik di dalam keluarga maupun di masyarakat, dan belum tentu mereka mampu bagaimana mengelola situasi stress atau perlakuan yang akan dihadapi di masa mendatang. Beberapa pengalaman yang terungkap antara lain masa kecil yang lebih dekat dengan Ibu dan cenderung suka memberontak, ada yang mengaku lebih nyaman untuk berinteraksi dengan teman laki-laki dibanding dengan teman perempuan, lebih nyaman ketika berpenampilan tomboy, menanggapi secara emosi atas tindakan bullying yang ia alami, ada juga kesaksian hampir mengalami kekerasan seksual dari orang terdekatnya yang membuatnya merasa rendah diri.
Andre mengatakan bahwa mereka yang telah berani menceritakan pengalaman-pengalaman ini membuktikan bahwa adanya keberanian menghadapi masa lalu, berdamai dengan diri sendiri maupun keadaan dan kemauan untuk memperbaiki diri. Inilah poin positif yang sangat luar biasa dimiliki oleh mereka. Beberapa strategi kunci dalam mengatasi masalah psikososial di atas ialah dengan refleksi diri, meningkatkan spiritual, membangun support sistem dan mendapat bantuan tenaga profesional. Sangat bermanfaat jika teman-teman mahasiswa yang sudah memahami hal ini membantu teman sebaya mengurai pengalaman-pengalaman masa lalunya dan membangun optimismenya ke depan.***
Rangkaian pelatihan tentang Masalah Kesehatan di Indonesia yang diadakan oleh Stube HEMAT Yogyakarta benar-benar mendorong saya untuk melihat kembali realitas di kampung halaman saya di Nias, khususnya realitas masalah kesehatan. Memang kenyataan saat ini perhatian masyarakat Indonesia dan dunia masih tersita pada pandemi, namun bukan berarti mengabaikan masalah kesehatan yang lain. Ini terbukti dengan salah satu bagian pelatihan yang memandu peserta melihat kembali permasalahan kesehatan di kampung halaman.
Permasalahan kesehatan yang saya amati di kabupaten Nias antara lain kualitas jamban sehat, sarana air bersih dan lantai rumah masih tanah. Berdasarkan data BPS Sumatera Utara 2019, tentang distribusi rumah tangga terhadap penggunaan fasilitas tempat buang air besar dikategorikan sebagai berikut: sendiri 42,15%, bersama 5,12%, MCK umum 0,26%, tidak menggunakan 0,22%, dan tidak ada 52,25% (terbanyak di provinsi Sumatera Utara). Data ini menunjukan bahwa lebih dari 50% rumah tangga di kabupaten Nias tidak memiliki jamban sehat dan layak. Di sisi lain, sumber air minum rumah tangga sangat beragam, dari pompa 1,53%, sumur terlindung 13,60%, sumur tak terlindung 32,22% (terbanyak di provinsi Sumatera Utara), mata air terlindung 7,77%, mata air tak terlindung 32,54% (terbanyak di provinsi Sumatera Utara), air permukaan 1,72%, dan air hujan 7,82%. Sedangkan distribusi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak, yaitu 29,15% (terendah di povinsi Sumatera Utara, meskipun meningkat antara 2014-2018). Berkaitan rumah tangga berlantai tanah, di kabupaten Nias ada 16,30% rumah tangga, yang terbanyak di provinsi Sumatera Utara.
Realita di atas umum ditemui di desa-desa yang minim akses jalan raya, lampu penerangan, teknologi informasi dan fasilitas umum lainnya. Selain itu penduduk di desa-desa tersebut adalah warga ekonomi pra sejahtera yang hanya mampu membangun rumah kayu dan beralaskan tanah, sehingga wajar kalau sebagian besar rumah mereka belum mempunyai jamban layak maupun air bersih. Bukan berarti penduduk tidak mempedulikan manfaat memiliki jamban dan air higienis tetapi mereka masih memprioritaskan usaha untuk memenuhi kebutuhan primer keluarga, sehingga kebutuhan fasilitas jamban layak masih berada di nomer sekian, dan menggunakan ladang, parit-parit atau sungai yang berada di belakang rumah. Berkait ketersediaan air, keluarga yang belum memiliki kamar mandi permanen biasanya menggali sumur atau tampungan air yang dipagari tenda atau terpal dengan bambu sebagai penyangga dan biasanya tidak beratap. Tak jarang air berwarna kuning kecoklatan tetap digunakan untuk mandi, mencuci perabot rumah tangga dan pakaian.
Bagi saya yang kuliah di Ilmu Pemerintahan dengan melihat permasalahan kesehatan ini saya belajar menemukan alternatif-alternatif atas permasalahan yang terjadi di kampung halaman saya, misalnya pemerintah daerah ‘membuka mata’ dan dituntut lebih berperan, misalnya dengan membuka akses terhadap sumber air bersih melalui PDAM meskipun bertahap. Sedangkan berkait ketersediaan jamban dan peningkatan kualitas lantai rumah, pemerintah desa bisa melakukan inisiatif sebagai wujud ‘sense of crisis’ kebutuhan dasar masyarakat dengan menggalakkan pembangunan jamban rumah tangga yang dimasukkan dalam pembangunan desa untuk meningkatkan kekuatan sosial masyarakat dan peningkatan kualitas hidup.***
Pandemi yang melanda dunia termasuk Indonesia sepanjang tahun ini menjadi cambuk masyarakat memikirkan kembali pola hidup sehat dan lingkungan bersih. Pemerintah sebenarnya sejak lama menghimbau namun kebiasaan baru ini benar-benar terasa penting sejak wabah melanda. Sebagai bagian dari masyarkat, mahasiswa pun tak lepas dari situasi ini, untuk bersungguh-sungguh menerapkan pola hidup bersih dalam hidup keseharian.
Stube HEMAT Yogyakarta sebagai lembaga pendampingan mahasiswa dari berbagai daerah yang sedang kuliah di Yogyakarta mendorong mahasiswa memperhatikan kesehatan tidak saja ketika di perantauan untuk kuliah, tetapi juga mengamati persoalan kesehatan di daerah asalnya, mempelajari dan menemukan gagasan nyata untuk meretas permasalahan lokal bersama masyarakat setempat. Dalam pertemuan sebelumnya peserta membentuk kelompok sesuai asal daerah dan melakukan pemetaan masalah kesehatan didampingi tim Stube-HEMAT Yogyakarta, selanjutnya mereka memaparkan hasilnya melalui presentasi virtual pada 3 November 2020 bersama praktisi kesehatan Sukendri Siswanto, S.Pd., M.Kes., kepala Divisi Kesehatan Primer CD Bethesda.
Hasil pemetaan kelompok kawasan Sumatera khususnya kelompok Nias Utara menemukan rawa-rawa dan rumah yang beralaskan tanah, sehingga rawan penyakit kulit, demam berdarah dan diare. Pelayanan dan fasilitas kesehatan masih perlu ditingkatkan, di samping itu ada kebiasaan yang kurang sehat dengan makan langsung tanpa cuci tangan. Kelompok Lampung Tengah mengungkap demam berdarah sebagai masalah kesehatan dominan karena kawasan sering tergenang air dan masyarakat jarang membersihkan lingkungan kecuali saat gotong royong. Selanjutnya kelompok Mentawai mengidentifikasi masalah gizi buruk, sanitasi dan kurangnya air bersih.
Kawasan Nusa Tenggara khususnya kelompok Sumba mendeteksi demam berdarah, malaria, dan diare yang cenderung terjadi di tahun ini, sementara kelompok Manggarai menemukan angka kematian ibu dan bayi masih tinggi dan ketersediaan jamban belum merata di setiap rumah. Menyangkut gizi buruk dan stunting ada baiknya melakukan pencegahan selain pengobatan dengan memanfaatkan pangan lokal yang mendukung kebutuhan keluarga. Karena kandungan nutrisinya bagus, daun kelor bisa dimanfaatkan untuk peningkatan gizi sekaligus nutrisi ibu hamil. Alternatif yang bisa dilakukan yaitu menanam sayuran di pekarangan rumah, menggerakkan kader posyandu untuk memantau kesehatan ibu-ibu, dukungan sosial bagi ibu dan calon bayi.
Kelompok Konawe, Sulawesi Tenggara menemukan sakit tenggorokan, paru-paru, serta batuk berkepanjangan masih terjadi. Salah satu jurnal kesehatan mengungkapkan bahwa penyakit seperti itu disebabkan salah satunya karena kondisi rumah yang kurang mendukung, kurangnya sirkulasi udara maupun sinar matahari. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat yang tidak memiliki latar belakang medis melihat kondisi sekitar untuk memastikan lingkungan terjaga, serta warga sadar menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat? Jika lingkungan rentan TBC dengan gejala batuk berkepanjangan, berkeringat di malam hari, penurunan berat badan maka tindakan yang bisa dilakukan adalah memotivasi orang dengan gejala tersebut memeriksakan diri ke layanan kesehatan dan memastikan mendapatkan layanan pengobatan.
Persoalan kesehatan di kepulauan Aru dengan yang tipikal rumah penduduk berupa rumah panggung dan berada di atas kawasan rawa dan pasang surut laut terungkap dengan kurangnya kesadaran masyarakat setempat membuang sampah pada tempat khusus, jadi mereka cenderung membuang begitu saja di bawah rumah karena berpikir akan hanyut saat air pasang. Tetapi kenyataanya, sampah hanya berpindah tempat sehingga ketika surut sampah akan mengendap dan menjadi tidak sehat serta pusat sarang nyamuk.
Dari kelompok Jawa Tengah khususnya Brebes dan Cilacap menemukan Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang dilahirkan masih tinggi. Salah satu penyebabnya adalah masih rendahnya kesadaran kesehatan ibu dan keluarga, belum meratanya imunisasi yang diterima ibu, bayi dan anak-anak di wilayah setempat yang dipicu lemahnya kemampuan ekonomi, kawasan lingkungan kumuh, dan pemahaman yang salah terkait imunisasi. Penyakit yang terjadi adalah thypus karena sanitasi buruk, pengolahan makanan yang tidak bersih dan lemahnya perilaku cuci tangan. Ini bisa diatasi dengan memperbaiki sanitasi rumah tangga, pengolahan bahan makanan dengan air mengalir dan menggunakan perabot yang bersih.
Temuan-temuan tersebut di atas bisa dikelompokkan ke dalam tiga jenis, pertama, penyakit menular seperti diare, TBC, malaria dan demam berdarah. Kedua, penyakit yang tidak menular seperti kolestrol, asam urat, hipertensi, dan asam lambung. Ketiga, kekurangan gizi di kalangan ibu dan anak serta stunting, yang masing-masing membutuhkan penanganan terpadu oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat non medis.
Melalui pemetaan masalah kesehatan di kampung halaman para mahasiswa diajak mengasah kepekaan dan kemampuan analisis serta menumbuhkan empati terhadap realita di sekitarnya. Bahkan menemukan solusi alternatif sebagai jawaban atas masalah kesehatan yang terjadi di Indonesia.***
Topik perbincangan tentang kesehatan menjadi ‘hot news’ saat ini karena pandemik masih merajalela dan angka orang yang terpapar dan kematian masih naik turun. Ini menjadi permasalahan utama kesehatan di berbagai negara termasuk Indonesia sehingga berbagai pihak dikerahkan untuk mengatasi pandemi. Otoritas pemerintah, lembaga pemeritah maupun swasta dan masyarakat mengambil peran masing-masing untuk menghambat sebaran virus sebagai upaya membantu tenaga medis menangani pasien yang terinfeksi.
Kesadaraan terhadap situasi yang didasari pemahaman yang benar tentang Covid 19 penting dimiliki oleh setiap orang, termasuk para mahasiswa, sehingga mereka bisa mengambil sikap yang benar ketika merespon berita-berita seputar pandemik dan menerapkan prosedur kesehatan sekaligus mampu mengedukasi orang-orang di sekitarnya. Stube-HEMAT Yogyakarta sebagai lembaga pengembangan sumber daya manusia khususnya mahasiswa melalui program ‘Health Problems In Indonesia’ membuka dialog online antara mahasiswa dengan tenaga medis yang merawat pasien terkonfirmasi Covid-19 di salah satu rumah sakit di Jakarta.
Kegiatan sharing yang diadakan pada hari Sabtu (31/10/2020) melalui Meet, Stube-HEMAT Yogyakarta mengundang Imelda Dewi Susanti, S,Kep. Ners, yang berpengalaman sebagai perawat di daerah asalnya, Kalimantan Barat, dan sebagai peserta program Nusantara Sehat. Sewaktu masih studi di Jogja, Imelda aktif mengikuti kegiatan-kegiatan Stube HEMAT Yogyakarta termasuk menjadi salah satu peserta program Exploring Sumba dengan melakukan pemberdayaan masyarakat di Sumba. Imelda menceritakan bahwa is bergabung menjadi perawat Covid-19 setelah menyelesaikan program Nusantara Sehat dimana ia ditempatkan di pedalaman kabupaten Poso. Keterpanggilannya menjadi perawat pasien Covid-19 muncul ketika melihat langsung pasien yang terkonfimasi positif Covid-19 dan temannya yang perawat juga terpapar virus ini. Bersamaan itu ada program Nusantara Sehat Darurat Covid, sehingga ia memutuskan bergabung meski ada keraguan apakah keluarganya mendukung, namun panggilan dan pengabdian seorang perawat menguatkannya untuk mendaftar dan diterima dengan penempatan di Jakarta.
Perbincangan ini mengungkap dinamika dan pergumulan yang dihadapi ketika bekerja menangani pasien Covid-19. Imelda mengungkapkan bahwa secara mendasar tugasnya tidak jauh beda dengan perawat yang merawat pasien, tetapi perbedaannya adalah penggunaan alat pelindung diri (APD), SOP Covid-19 dan manajemen kesehatan diri yang menuntut selalu dalam kondisi prima. Ia menceritakan saat ia menangani pasien Covid-19 dengan penyakit penyerta, sehingga butuh perhatian ekstra, dimana tindakan medis dilakukan untuk mengobati penyakitnya dan asupan vitamin untuk meningkatkan imunitas. Di sini keluarga pasien tidak bisa menunggu, jadi perawatlah yang menjaga, sehingga perawat tidak hanya merawat, memberikan obat dan memantau, tetapi menemani, mendengarkan cerita mereka sebagai terapi meredakan pikiran yang cemas. Jika kondisi psikologis cemas dan takut akan mempengaruhi kondisi fisik dan organ tubuh lainnya. Penanganan pasien terkonfirmasi Covid-19 dirawat di ruangan dan dipantau intensif sesuai prosedur penanganannya, sedangkan pasien tanpa gejala dan melakukan isolasi mandiri dilakukan berbeda, karena mereka bisa beraktivitas di luar ruangan seperti berolahraga, berjemur di waktu pagi hari, dan diberi vitamin untuk meningkatkan imunitasnya.
Memang Covid-19 belum ada antivirusnya, namun tidak perlu direspon berlebihan melainkan prosedur kesehatan dilakukan dengan baik, termasuk menjaga kesehatan diri dengan pola hidup sehat dan bersih, berpikiran positif dan optimis. Dialog ini memunculkan rasa haru dan mencerahkan wawasan mahasiswa bagaimana bersikap di tengah pandemik, tidak dengan panik maupun menanggapi berita-berita yang belum jelas sumbernya, tetapi bijak mencerna informasi yang diterima sekaligus memulai dari diri sendiri dan mengajak orang-orang di sekeliling untuk mengikuti protokol kesehatan.***
Oleh: Thomas Yulianto
Indonesia rentan dalam penanganan masalah kesehatan karena beragam situasi seperti terbatasnya fasilitas kesehatan, tenaga medis yang kompeten, buruknya pemahaman kesehatan dan kedisiplinan hidup sehat masyarakat yang masih rendah, sementara potensi orang yang bisa terinfeksi penyakit melebihi kemampuan untuk mengatasinya. Saat ini dengan kasus Covid-19 yang terjadi menjadi sinyal merah bagi kita semua dan orang-orang harusnya lebih sadar pentingnya kesehatan bagi dirinya dan orang lain dan ini membuat kita belajar bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri dan terbukti bahwa infeksi terjadi secara global sebagai pandemik.
Tantangan kesehatan di Indonesia mesti direspon tidak saja oleh mereka yang bekerja di bidang kesehatan tetapi setiap orang bertanggungjawab didalamnya, termasuk mahasiswa, sehingga Stube HEMAT Yogyakarta merancang program Masalah Kesehatan di Indonesia untuk membantu mahasiswa memahami masalah kesehatan di Indonesia dengan mendapatkan informasi yang memadai terkait permasalahan kesehatan tersebut dan memiliki wawasan dan pengetahuan bagaimana mengatasinya. Pelatihan diadakan secara online pada hari Selasa, 27 Oktober 2020 sehingga bisa diikuti oleh mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, dengan tema Realita Masalah Kesehatan di Indonesia bersama narasumber Sukendri Siswanto, S.Pd. M.Kes, kepala Divisi Kesehatan Primer CD Bethesda. Tercatat ada beberapa peserta mahasiswa berasal dari wilayah Sumatera, Jawa, NTT, Maluku dan Sulawesi.
Dalam diskusi tersebut, Sukendri memulai dengan memunculkan pertanyaan, mengapa kesehatan orang zaman dulu nampak lebih baik dari masa sekarang? Padahal kondisi masyarakat, pengetahuan dan fasilitas kesehatan saat ini lebih lengkap dibanding dulu. Ya memang ada beragam faktor yang mempengaruhi kesehatan, seorang ahli kesehatan bernama H.L Blum menyebutkan bahwa status kesehatan masyarakat atau individu dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu Lingkungan, Perilaku, Pelayanan Kesehatan dan Genetik (Keturunan). Empat faktor ini menjadi tantangan di Indonesia terlebih secara geografis berupa kepulauan sehingga terkadang sebaran fasilitas kesehatan belum merata di setiap kecamatan, misalnya layanan Puskesmas maupun dokter umum. Tantangan lainnya adalah perlu peningkatan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat, misalnya ketersediaan air bersih, fasilitas kloset dan sanitasi rumah tangga. Topik bahasan lain berupa pentingnya kecukupan gizi dan nutrisi, termasuk ASI eksklusif untuk bayi, maupun makanan pelengkap ASI demi menunjang pertumbuhannya.
Perbincangan dalam diskusi ini membuka mata mahasiswa tentang realita masalah kesehatan di Indonesia, meskipun baru di permukaan saja, sehingga sebagai langkah lanjut, mahasiswa dimasukkan dalam kelompok sesuai daerah asal mereka dan selanjutnya mereka akan melakukan pemetaan masalah kesehatan yang terjadi di daerah asal mereka masing-masing. Dari temuan dalam pemetaan ini mahasiswa akan didampingi untuk menganalisa masalah kesehatan yang terjadi sekaligus memunculkan gagasan atau tindakan yang bisa dilakukan sebagai respon terhadap masalah tersebut.***
Penanggulangan Covid 19 mau tidak mau membutuhkan tekad satu hati seluruh lapisan masyarakat untuk melawan bersama dengan segala konsekuensinya dalam tatanan New Normal, tatanan hidup baru. Stube HEMAT Yogyakarta sebagai lembaga pendampingan mahasiswa di Yogyakarta dalam program Masalah Kesehatan di Indonesia melaksanakan diskusi bersama BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) DIY yang bertanggungjawab sebagai Posko Dukungan Operasi Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Daerah Istimewa Yogyakarta di Pendopo Wisma Pojok Indah, Condongcatur pada tanggal 24 Oktober 2020. Dua puluh peserta mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia yang kuliah di Yogyakarta hadir dalam diskusi ini. Dalam pembukaan Pdt. Bambang Sumbodo, board in charge Stube HEMAT mengungkapkan bahwa pandemik Covid-19 berdampak negatif, tetapi positifnya adalah manusia dipaksa kembali ke alam karena alam menanti kita, manusia dan alam memiliki hubungan yang erat seperti hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Ini menggugah kesadaran individu dan bersama tentang kesehatan bagaimana berperilaku bersih dan sehat karena kesehatan menjadi kebutuhan setiap orang baik dari sisi rohani dan jasmani.
Materi tentang Adaptasi Kebiasaan Baru sebagai respon pandemik dipaparkan oleh Endro Sambogo dari Team Reaksi Cepat BPBD DIY. Ia menjelaskan tentang bagaimana hidup normal baru dalam kondisi pandemik. Perlahan aktivitas masyarakat bergeliat tetapi tidak bisa seperti sebelum pandemik, ini artinya sekarang masyarakat harus memiliki perilaku hidup baru, lingkungan baru dan pola pikir baru. Tatanan, kebiasaan dan perilaku yang baru berbasis pada adaptasi untuk membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat inilah yang disebut new normal. Cara yang dilakukan adalah rutin cuci tangan pakai sabun, pakai masker saat keluar rumah, jaga jarak aman dan menghindari kerumunan. Untuk merealisasikan skenario new normal, saat ini pemerintah telah menggandeng pihak-pihak terkait termasuk tokoh masyarakat, para ahli dan para pakar untuk merumuskan protokol atau SOP untuk memastikan masyarakat dapat beraktivitas kembali, tetapi tetap aman dari COVID-19. Protokol ini bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga pendidikan dan keagamaan, bergantung pada aspek epidemologi dari masing-masing daerah, sehingga penambahan kasus positif bisa ditekan.
Endro menjelaskan situasi ‘pelayatan’ (berkunjung saat ada orang meninggal), bahwa sesungguhnya kondisi berbahaya atau beresiko itu bukan jenazah tetapi dari interaksi anggota keluarga dan para pelayat, serta kerumunan orang dalam pemakaman tersebut. Kondisi rentan juga terjadi ketika orang yang terpapar virus memiliki penyakit penyerta, seperti hipertensi, jantung, asma, paru-paru dan beberapa penyakit lainnya. Saat ini kewaspadaan perlu ditingkatkan karena keberadaan orang tanpa gejala (OTG), yakni orang yang sudah terpapar virus tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala sakit karena ia memiliki imunitas yang kuat dan merasa baik-baik saja. OTG akan menjangkiti orang lain yang lemah imunnya, sehingga mau tidak mau semua orang harus memakai masker, mencuci tangan, jaga jarak dan menghindari kerumunan harus dilakukan secara disiplin.
Kesempatan dialog dengan pihak yang terlibat langsung dalam penanganan Covid 19 di lingkup DIY menggugah peserta mengungkapkan rasa penasaran mereka tentang orang yang terpapar virus tetapi tidak menunjukkan gejala sakit. Ada juga orang yang memiliki kecemasan berlebihan terpapar virus sehingga orang tersebut bertindak diluar kewajaran. Endro mengungkapkan bahwa Covid 19 adalah virus flu yang mudah menjangkiti manusia dan virusnya juga terus bermutasi sehingga Covid 19 belum ada anti virusnya. Ketika seseorang terpapar virus ini tetapi kondisi imunitasnya kuat, tidak akan sakit, tetapi bisa menularkan ke orang lain. Jadi, ia mesti sadar untuk menerapkan perilaku bersih dan sehat demi melindungi orang lain. Terkait tindakan di luar kewajaran, hal ini karena pemahaman orang belum lengkap tentang pandemik ini, bahwa virus ini tidak secara fatal mengakibatkan kematian, tetapi adanya penyakit bawaan yang memperburuk kondisinya sehingga terjadi komplikasi, selain itu pemberitaan media berpengaruh dalam membangun ‘image’ tentang kasus Covid 19 ini.
Di akhir acara, Endro mengingatkan peserta bahwa kita sebagai anak muda dan mahasiswa yang sudah mendapat pengetahuan lebih tentang pandemik Covid 19, harus menerapkan kebiasaan baru, perilaku hidup bersih dan sehat, sekaligus memberikan edukasi yang benar tentang Covid 19 ini kepada orang-orang terdekat, bisa di lingkungan kos, di kampus maupun di keluarga masing-masing sehingga sebaran Covid 19 bisa ditekan dan masyarakat bisa beraktivitas dengan nyaman. ***
Perjalanan mengunjungi para multiplikator di dua pulau yakni pulau Alor dan Sumba memberikan kesan bagi pengurus yang berkesempatan bertemu dengan mereka. Berikut adalah catatan dan kesan dari Pdt. (Emiritus) Bambang Sumbodo, S.Th., M.Min setelah melihat lapangan dan bertemu langsung.
Elisabeth Uru Ndaya, telah menempuh studi S1 bahasa Inggris di Yogyakarta. Ayahnya seorang Guru Injil (pembantu Pendeta) GKS (Gereja Kristen di Sumba), di sebuah gereja kecil di Tanatuku, Makamenggit, sekitar 50 km dari Waingapu. Setelah selesai studi di Yogya, ia pulang ke kampung halaman untuk menghimpun para ibu dan nona Sumba membuat kerajinan tenun Sumba. Usaha menghimpun dan memberdayakan para perempuan tidak mudah, banyak halangan dan tantangan salah satunya dari suami yang melarang istrinya untuk tidak ikut pelatihan. Pendekatan Elis luar biasa terhadap suami yang melarang istrinya, bahkan ia melibatkan gereja dalam hal ini pendeta. Akhirnya semua merelakan istri ikut aktivitas perempuan Stube HEMAT di kampungnya.
Sekarang para perempuan telah belajar membuat tenun Sumba juga pewarnaan dari tumbuh-tumbuhan dan mereka telah punya pusat latihan tenun Sumba. Ada seorang ibu yang sudah memiliki galeri dan yang menggembirakan sudah menghasilkan uang untuk menunjang perekonomian rumah tangga. Waktu para ibu latihan, anak-anak yang masih kecil ikut juga dan memang repot tetapi secara tidak langsung mereka mengajari anak-anak bagaimana membuat tenunan Sumba, khususnya anak-anak perempuan untuk mencintai tenun Sumba yang sudah mulai pudar.
Elis juga seorang guru Bahasa Inggris sehingga ia terpanggil mendirikan sanggar Bahasa Inggris untuk anak-anak, dan semua dilakukan penuh dengan dedikasi. Pelatihan tenun Sumba sekitar 20 kaum ibu dan para nona. Kiranya Tuhan memberkati para ibu memperkuat keluarganya juga gereja karena para ibu dan para nona inilah pewarta kabar baik. Selamat berjuang Elis selamat menghadapi tantangan. Imanuel.
Yulius Rihi Anawaru, seorang sarjana kehutanan dari kampus di Yogyakarta. Kami banyak berdiskusi tentang Sumba dan anak-anak mudanya. Penghijauan dengan menanam seribu pohon sudah dilakukan Yulius di kampungnya. Selanjutnya ia mendapatkan berkat Tuhan, bersama sama bergotong-royong membeli kapal untuk budi daya rumput laut di pantai Warabadi, Sumba Timur. Yulius mengajak Andreas untuk mengawasi dan menunggui kapal dan merawat rumput laut, dari hasil rumput laut bisa membiayai anak-anaknya kuliah. Puji Tuhan, hasilnya sangat lumayan. Anak-anak dan remaja juga diajak ke tengah laut untuk dikenalkan laut dan budi daya rumput laut.
Apriyanto Hangga, menempuh studi Ilmu Pemerintahan di Akademi Pembangunan Masyarakat Desa di Yogyakarta. Sejak kuliah di Yogyakarta, dia seorang aktifis mahasiswa dan saat ini menggerakan masyarakat di Mbinudita, kira-kira 120 km dari Waingapu, Sumba Timur membangun kembali sekolah dasar paralel yang pada tahun 2019 roboh diterjang angin besar. Melalui media sosial, Yanto berhasil menggalang sponsor untuk membangun gedung SD dan menggerakkan masyarakat bergotong-royong. Saat ini pekerja bangunan utama dari Nganjuk Jawa Timur. Lokasi gedung berada di atas bukit dan di antara desa yang satu dengan yang lain. Sekolah paralel ini mendekatkan sekolah dengan anak-anak yang jaraknya sekitar 4 sampai 6 km yang ditempuh dengan jalan kaki. Dengan berdirinya sekolah paralel ini anak-anak menjadi lebih dekat, sekitar 2-3 km. Direncanakan akhir tahun sekolah ini selesai, sehingga akhir pandemi ini bisa digunakan. Solusi saat ini guru mendatangi siswa satu persatu dari rumah ke rumah. Apriyanto juga beternak babi, tetapi karena virus yang menyerang babi di Sumba, ribuan babi di Sumba mati termasuk ternak Apriyanto dan kelompoknya. Bersama Stube HEMAT, Apriyanto dan beberapa mahasiswa berdiskusi dan belajar bagaimana menanggulangi virus ini.
Frans Fredi Kalikit Bara, dulu Frans adalah calon Romo, tetapi tidak jadi karena orang tuanya minta agar membatalkan demi melanjutkan garis keturunan. Sekarang baru menyusun skripsi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kristen di Wangapu, Sumba Timur. Frans pernah diundang ke Yogyakarta untuk mengikuti pelatihan di Stube HEMAT Yogyakarta seperti pelatihan produk kreatif, jurnalistik, pertanian organik, dan pelatihan lahan pasir. Sudah hampir 5 tahun, ia mengembangkan tanaman cabai, tomat, semangka, sawi, kol, dengan hasil yang sangat lumayan. Sampai saat ini kebutuhan pertanian Sumba, masih mendatangkan dari luar pulau Sumba, sehingga ia membentuk kelompok petani muda untuk mengembangkan pertanian organik. Anak-anak muda ini adalah aset bangsa di bidang pangan, lumbung beras dan hasil pertanian yang lain.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memiliki dampak yang luar biasa terhadap kehidupan baik positif maupun negatif. Ini dirasakan juga oleh masyarakat Desa Debululik Kecamatan Lamaknen Selatan Kabupaten Belu Propinsi NTT, sebuah desa yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Sebelum ada internet dan komputer, masyarakat menggunakan mesin ketik jika ingin mengetik surat-surat penting, dan saat mesin ketik rusak maka mereka harus ke kota untuk mengetik surat-surat penting tersebut. Hal ini membutuhkan waktu yang lama karena dari desa ke kota perlu waktu dua jam perjalanan pulang pergi, dan ini berarti mengambil waktu aktivitas lain untuk melakukan perjalanan. Jika ada orang tua yang ingin memberi kabar kepada anak-anak mereka yang bersekolah di luar kota maka mereka hanya bisa berkabar melalui surat dan mengirim surat lewat kantor pos karena belum ada jaringan komunikasi dan internet. Jadi, ada jeda waktu yang dibutuhkan untuk tersampaikannya pesan antara orang tua dan sang anak. Seandainya anak yang bersekolah di kota kehabisan uang makan sehari-hari di kota atau ada kebutuhan mendesak maka berita itu juga membutuhkan waktu beberapa hari agar sampai kepada orang tuanya, sebab proses pengiriman surat lewat kantor pos membutuhkan waktu pengiriman. Bagi anak-anak usia SMP dan SMA mereka biasa sekolah di Atambua, sedangkan mahasiswa sebagian besar di Yogyakarta, dan sebagian lainnya tersebar di Kefamenanu, Kupang, Bali, Jakarta dan Malang.
Saat ini berbeda dengan dulu, jika ingin mengetik atau saling bertukar kabar dengan anak-anak yang menempuh pendidikan di luar kota, mereka bisa langsung lakukan dari rumah masing-masing karena ada jaringan komunikasi yang memadai, bahkan orang tua dan anak bisa berkomunikasi lebih cepat dengan Whatsapp dan Facebook. Bagi masyarakat yang tidak memiliki internet atau ingin mengetik surat-surat penting tetapi belum memiliki laptop atau komputer, mereka bisa datang ke kantor desa karena sudah disediakan laptop dan wifi secara gratis.
Masyarakat sekarang juga memanfaatkan dunia maya sebagai sarana untuk mencari uang. Mereka melakukan bisnis dari rumah dan memanfaatkan media sosial untuk menjual pulsa listrik, tiket pesawat dan berjualan lainnya secara online. Ketika jaringan komunikasi dan internet belum masuk, orang-orang mesti membawa hasil panen atau hasil kerja mereka ke pasar atau menunggu pengepul yang akan datang ke desa mereka.
Di masa pandemi ini sebagian orang tua meminta anak-anak mereka yang menempuh pendidikan di luar kota untuk pulang ke kampung halaman dengan alasan keselamatan dan beragam alasan lainnya, sehingga sebagian mahasiswa, siswa SMA dan SMP yang sekolah di kota akhirnya kembali ke rumah, meski sebagian mahasiswa memilih tetap tinggal di kota karena berada di semester akhir dan tersedianya jaringan komunikasi. Desa saya merupakan desa dengan jumlah pelajar terbanyak di kecamatan Lamaknen Selatan karena masyarakat di sana berlomba-lomba menyekolahkan anak mereka. Meskipun mereka pulang ke kampung halaman mereka tetap bisa mengikuti belajar selama pandemik karena pembelajaran dilakukan secara online.
Internet juga memiliki dampak negatif di mana sebagian anak-anak menipu orang tua mereka dengan alasan kebutuhan sekolah dan alasan lainnya padahal pada kenyataannya mereka menipu demi membeli pulsa bukan untuk belajar. Tidak hanya itu saja, banyak remaja menghabiskan waktu istirahat dengan bermain games online, padahal mereka bisa menggunakannya untuk membantu orang tua mengerjakan kebun atau kerla lainnya. Dunia maya sangat mempengaruhi gaya fashion remaja sehingga mereka berlomba-lomba membeli baju-baju terbaru, walaupun baju yang mereka beli adalah tiruan atau kw.
Perlu disadari semua bahwa internet memiliki manfaat positif dan dampak negatif terhadap kehidupan bermasyarakat. Semua itu tergantung bagaimana penggunaannya. Ini menjadi bekal pembelajaran bagi saya ketika kembali ke kampung halaman setelah selesai kuliah di Yogyakarta. Saya bisa memanfaatkan perkembangan teknologi dengan baik, dan membantu masyarakat khususnya anak-anak di kampung untuk cerdas menggunakan internet, khususnya untuk belajar.
Berbicara mengenai teknologi, pasti sudah tidak asing lagi di kalangan mahasiswa, terlebih di era ini mahasiswa dituntut untuk bisa menggunakan teknologi, baik untuk mengerjakan tugas kuliah maupun pekerjaan lainnya yang menuntut penggunaan smartphone, laptop, proyektor dan perangkat lainnya. Pandemik Covid-19 yang terjadi secara global, mengubah pola hidup setiap orang termasuk dalam perkuliahan yang saya alami di Yogyakarta, Indonesia.
Perkuliahan yang biasanya dilakukan dengan tatap muka, menulis di papan, diskusi dan presentasi kelompok, dan menggunakan proyektor, seketika berubah menjadi virtual education untuk mengantisipasi merebaknya infeksi Covid-19. Terlihat mudah mengikuti kuliah dari kos, menyalakan smartphone dan mengikuti kuliah, namun kenyataannya tidak mudah, bahkan terkadang tidak membuahkan hasil baik. Ada beragam persoalan yang dihadapi para mahasiswa dibalik perubahan pola belajar dengan memanfatkan keunggulan teknologi dalam menyampaikan materi dan interaksi secara online menggunakan aplikasi Google meet, Zoom meeting, YouTube dan lainnya.
Nampaknya mudah kuliah semacam ini tetapi tidak sedikit mahasiswa yang mengeluh dengan perubahan pola belajar seperti ini karena mereka mesti menyesuaikan diri dengan pola baru dalam belajar secara online, menghadapi beragam masalah dari jaringan yang tidak stabil bahkan tidak ada jaringan, beberapa mahasiswa belum mempunyai smartphone maupun laptop, jadi harus pergi ke warnet untuk dapat mengikuti perkuliahan online, dan yang paling sering dikeluhkan mahasiswa adalah keterbatasan alokasi uang untuk membeli paket internet karena aplikasi untuk kuliah online menguras kuota paket internet. Bayangkan jika satu kali kuliah online untuk setiap mata kuliah menghabiskan 1 Gb paket internet, dan sehari ada tiga mata kuliah, berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk membeli paket internet satu bulan? Sebagian ada yang terbantu karena ada fasilitas wifi, tetapi bagaimana dengan yang tidak?
Ini menjadi tantangan baru bagi saya yang datang dari Lampung ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah. Saya harus tinggal di rumah kos dan mesti cerdas mengatur keuangan dengan membatasi pengeluaran atau apa yang bisa dikerjasamakan dengan teman. Namun bukan mahasiswa namanya jika tidak menemukan solusi, saya dan teman-teman merespon dengan berkumpul bersama di kos saat kuliah online, satu telepon genggam atau laptop dipakai bersama, dan bergantian tethering dengan teman, misalnya hari ini menggunakan telepon genggam Eri, besoknya menggunakan milik Yuli, dan lusa milik teman lain. Bisa juga dengan pergi ke kampus memanfaatkan wifi. Saya dan teman-teman menikmati ini, setidaknya bisa menghemat pemakaian paket internet. Selain itu, ada kesulitan lain ketika menayangkan materi presentasi karena belum terbiasa dengan aplikasinya yang sering digunakan dalam kuliah.
Pengalaman ini menyadarkan saya bahwa belajar teknologi tidak hanya pada saat perkuliahan atau pandemik saja, mengingat teknologi akan terus berkembang jadi saya harus terus meningkatkan kemampuan diri agar bisa menyesuaikan dengan tuntutan dunia kerja nantinya dengan teknologi tinggi. Salah satu alternatif yaitu dengan mengikuti kegiatan di Stube HEMAT Yogyakarta dengan program Cyber Awareness yang membekali saya dengan motivasi baru untuk belajar banyak hal baik teknologi maupun keterampilan lainnya yang bermanfaat dan dapat saya bagikan nantinya ketika kembali ke daerah asal saya.
Pesatnya perkembangan teknologi saat ini beriringan dengan keterbukaan informasi tanpa batas. Hingga tahun 2007, arus informasi dengan beragam topik dari berbagai situs web di dunia maya dapat diakses dengan bebas oleh siapa pun. Tidak dapat dipungkiri hal ini seperti pisau bermata dua, berdampak positif sekaligus negatif dalam hidup sehari-hari. Akhirnya pemerintah mengeluarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai kontrol atas kebebasan masyarakat dalam mengakses internet. Undang-undang itu sendiri mengandung unsur nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Regulasi ini mendapat pro kontra dari berbagai elemen masyarakat karena dalam beberapa kasus UU ITE telah menjerat pelaku atau korban ke dalam jeruji besi, terlepas dari beragam tafsiran atas UU tersebut. Kemudian, pemerintah melakukan revisi UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE. Sampai tahun 2020 kasus pencemaran nama baik lebih dominan, selain kasus lainnya, seperti kebocoran data pengguna media sosial hingga praktek jual beli data pribadi. UU ini memang tidak berlaku otomatis ketika seseorang melanggar, tetapi dari pengaduan pihak yang dirugikan atas tindakan orang lain dan putusan ditentukan berdasarkan hukum yang berlaku.
Ini menjadi warning bagi setiap orang agar bijak ketika menjelajah dunia maya, terlebih anak muda mahasiswa di era teknologi maju dan tidak bisa lepas dari interaksi dunia maya. Mereka mesti sadar dimana mereka berada dan tahu apa yang mereka lakukan memiliki konsekuensi. Ini menjadi titik tolak Stube-HEMAT Yogyakarta melalui program Cyber Awarenes, membahas UU ITE, keamanan data, jejak digital dan konsep pemikiran dasar hidup dalam era digital, di Sekretariat Stube-HEMAT Yogyakarta (19/9/2020). Tiga belas mahasiswa dari beragam kampus dan asal daerah hadir dalam workshop yang dipandu oleh Putri Nirmala V. Laoli. Ia mengawali dengan memaparkan topik-topik yang dibahas sebelumnya, antara lain tantangan dan peluang baru di era cyber, membuat dan mengelola konten di media sosial sampai bagaimana mendapat benefit.
Pembahasan utama disampaikan oleh Dema Tobing, M.Kom, praktisi teknologi informasi, dari pengajar TI, programer dan gamer, yang memaparkan logika hidup di dunia maya. Berkaitan dengan UU ITE, ia menekankan pada Informasi dan Transaksi Elektronik, secara sederhana ketika seseorang berkirim pesan dengan temannya, ia sudah melakukan transaksi elektronik. Hal ini menyangkut peringatan akan bahaya penyalahgunaan pemanfaatan maupun penyebaran informasi di dunia maya.
Pernahkah memikirkan tentang ‘jejak digital’? Ya, jejak digital ialah jejak data ketika seseorang menggunakan internet, baik dari situs yang dikunjungi, email yang dikirim maupun informasi lain yang ‘disetor’ ke berbagai situs online. Setiap orang, dari public figure sampai orang biasa, asal pernah terhubung ke internet pasti memiliki jejak digital, yang mana ada dua jenis, yaitu aktif dan pasif. Jejak aktif adalah data atau informasi yang kita unggah berupa foto, video, update status yang dipublikasi ke dunia maya lewat akun sosial media atau blog. Sedang jejak pasif adalah data yang kita ‘tinggalkan’ tanpa sadar ketika berselancar di dunia maya, mengakses situs tertentu, bahkan sekedar me-like postingan di media sosial, server menyimpan alamat internet service provider (ISP) yang dipakai pengunjung. Jadi, pihak lain dapat melihat aktivitas seseorang dalam dunia maya yang ditandai dengan munculnya iklan-iklan di smartphone-nya. Apabila sering mengunjungi situs berita online, film-film anak maupun dewasa, bidang olahraga, kuliner, kecantikan dan sebagainya, maka iklan-iklan yang muncul berkaitan dengan topik situs tersebut, yang mana ini merupakan hasil dari sistem itu sendiri dengan algoritma yang ada mengiklankan yang dibutuhkan oleh pengunjung.
Dari pengalaman dan temuan-temuan ini maka setiap orang khususnya anak muda dan mahasiswa perlu waspada saat mengakses dunia maya, berhati-hati melakukan input data pribadi di media sosial, karena baik buruk jejak digital kita tergantung pada kemampuan literasi atau ‘melek’ dunia digital kita, supaya bisa memilah dan memanfaatkan teknologi informasi dengan baik dan produktif.
Media digital telah berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin banyak diakses oleh masyarakat. Terlebih saat situasi pandemik dimana interaksi sosial secara langsung menurun drastis karena adanya pembatasan interaksi untuk menahan sebaran virus. Penggunaan media digital melonjak drastis karena beragam aktivitas dialihkan dari rumah, seperti belajar dari rumah, bekerja dari rumah, juga transaksi, semua menggunakan perangkat elektronik. Namun demikian pemanfaatan teknologi digital di Indonesia belum bisa dimanfaatkan secara merata karena beragam kondisi, dari jaringan komunikasi yang belum menjangkau setiap wilayah, keterbatasan pengetahuan dan kemampuan seseorang mengoperasikan perangkat digital dan belum meratanya kepemilikan perangkat digital di masyarakat meskipun populasi telepon genggam lebih banyak daripada populasi penduduk.
Realita ini diungkap dalam Workshop Stube HEMAT Yogyakarta sebagai bagian program Cyber Awareness pada 12 September 2020 tentang Media Digital, Konten dan Komunikasi, yang mengupas strategi memanfaatkan media digital, mengolah konten supaya memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang. Dr. Leonard C. Epafras, M.Th, seorang peneliti dan dosen teologi UKDW Yogyakarta dan ICRS dalam paparannya mengungkapkan bahwa interaksi masyarakat akan bergeser memanfaatkan media digital seiring perkembangan teknologi dan mereka dari generasi Z dan generasi milenial muda memiliki presentase lebih tinggi dibandingkan genereasi boomer dan generasi X dalam pemanfaatan media digital seperti website, media sosial, video digital, gambar, audio dan aplikasi lainnya. Lebih lagi, kesenjangan digital masih terdapat di beberapa daerah di Indonesia karena keterbatasan infrastruktur dan jangkauan sinyal (sebagian besar terkonsentrasi di pulau Jawa), ketersediaan perangkat, polarisasi pasar tenaga kerja dimana nantinya sebagian pekerjaan manusia akan hilang digantikan mesin. Kesenjangan ini dapat berefek pada perkembangan nilai ekonomi, sosial dan budaya serta berdampak pada teknologi informasi dan komunikasi bahkan lingkungan sosial pun ditentukan oleh sistem digital dengan algoritma tertentu sehingga bisa mempengaruhi perkembangan modernisasi.
Mempertimbangkan bahwa orang-orang dari generasi Z dan milenial muda mendominasi penggunakan media digital, penggunaan telepon genggam lebih banyak dibandingkan PC, cenderung menyaksikan video dan gambar bergerak dan memanfaatkan media sosial seperti Youtube, WhatsApp, Facebook dan Instagram, maka dalam pembuatan konten digital agar memiliki ‘kekuatan’ untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang, mau tidak mau harus: (1) mengenali siapa dan dimana orang atau sekelompok orang yang menjadi target dari suatu konten; (2) bahwa sajian perlu dikemas secara audio visual dan penting untuk memasukkan unsur cerita, bahkan dramatisasi diperlukan untuk memperkuat cerita; (3) menghindari konten dengan waktu dan durasi yang panjang; (4) memanfaatkan unsur personalitas maupun institusi sehingga memuncukan keterhubungan atau connectedness. Terkadang konten yang berkualitas diperhadapkan dengan logika viral yang terkadang malah berlawanan, karena konten yang menjadi viral lebih cenderung pada isu yang kontroversial, tidak lazim, remeh tapi lucu dan unik.
Jadi, untuk mengolah konten yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang memang tidak mudah dan kuncinya adalah perlu terus belajar, evaluasi dan inovasi. Tidak sekedar menjadi viral tetapi memiliki kontribusi positif artinya membawa kebaikan dan mengispirasi orang lain bahkan masyarakat. Mari anak muda dan mahasiswsa, mulai mengolah konten yang berkualitas, dan teroboslah tantangannya.
Kemampuan memanfaatkan alat berteknologi tinggi dan dunia cyber menjadi kunci perkembangan dan eksistensi seseorang, komunitas dan masyarakat, sehingga upaya peningkatan kapasitas perlu terus dilakukan dan berdampak pada kualitas hidup manusia. Namun realita kesenjangan (gap) penguasaan teknologi masih terjadi karena beragam latar belakang, seperti pendidikan, usia, ekonomi dan budaya, dan teknologi pun terus berkembang dan mengubah pola hidup masyarakat. Mereka yang tidak siap akan tertinggal bahkan terlibas. Merebaknya pandemik juga mempercepat perubahan pola hidup masyarakat di dunia, dari cara hidup, interaksi antar orang di rumah dan masyarakat, sektor pendidikan, aktivitas ekonomi, kegiatan keagamaan dan sektor lainnya yang ‘memaksa’ mereka ‘eksodus’ dari interaksi langsung menjadi berbasis teknologi seperti internet untuk berinteraksi, berkomunikasi dan bertransaksi. Gereja-gereja pun menghadapi situasi ini dimana kegiatan yang bersifat massal ditiadakan untuk membatasi sebaran virus dan gereja dituntut memodifikasi bentuk pelayanan menjadi online untuk ibadah minggu, sekolah minggu dan kegiatan lainnya.
Situasi ini menjadi concern Stube HEMAT Yogyakarta sebagai lembaga pengembangan sumberdaya manusia, melalui program Cyber Awareness Stube HEMAT Yogyakarta memfasilitasi mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam memanfaatkan teknologi dan menyentuh kelompok-kelompok masyarakat yang terbatas atau bahkan buta teknologi dengan melibatkan praktisi yang berkompeten di bidangnya, sehingga harapannya gap pengusaaan teknologi bisa terjembatani dan bahkan mampu melakukan improvisasi kreatif lainnya. Dalam kegiatan ini Stube HEMAT Yogyakarta bekerjasama dengan team Multimedia GKJ Mergangsan melakukan pendampingan dan pelatihan Multimedia di GKJ Paliyan Gunungkidul (5/9/2020).
Dalam pendampingan ini Trustha Rembaka, koordinator Stube HEMAT Yogyakarta mengawali dengan memperkenalkan Stube HEMAT dan kegiatannya untuk mahasiswa dan kerjasama dengan gereja-gereja di Yogyakarta. Selanjutnya team Multimedia GKJ Mergangsan menggali pengalaman GKJ Paliyan dalam ibadah online khususnya menyiapkan video rekaman ibadah dan video kegiatan lainnya. Pembuatan video mengandalkan anak muda dengan menggunakan gawai untuk merekam gambar dan audio serta mengeditnya. Dari hasilnya mereka belum puas karena tampilan visual masih monoton dan audio terganggu gema. Selanjutnya Richard Panggabean, anggota team Multimedia GKJ Mergangsan memaparkan tahapan pembuatan video, dari pra produksi, produksi dan pasca produksi. Untuk ibadah minggu, pra produksi berkaitan dengan liturgi, isi khotbah dan lagu-lagu, personel yang terlibat, peralatan pendukung dan tempat. Tahapan produksi berkait dengan proses perekaman gambar maupun suara dari alat musik pengiring, singer dan kontrol kondusivitas lingkungan sekitar selama rekaman. Pascaproduksi terkait dengan mengolah rekaman sampai proses mengunggah video dan evaluasi.
Proses pengambilan gambar untuk video ibadah minggu menjadi wahana praktek majelis gereja, team musik dan anak muda GKJ Paliyan. Majelis mempraktekkan teknik komunikasi publik dengan mengucapkan teks liturgi dengan jelas dan fokus mata pada kamera, team musik mengemas lagu dengan irama dan nada yang sesuai, pendeta menyampaikan pesan khotbah ringkas namun berkesan dan team multimedia mengambil gambar dengan angle yang menarik dan merekam audio melalui mixer untuk meminimalisir gema. Tahapan rekaman dari votum ibadah sampai doa berkat berjalan dengan lancar selama kurang lebih 30 menit.
Pengalaman belajar ini memberikan kesan mendalam bagi peserta maupun pendamping. Majelis gereja mengungkapkan rasa terima kasih mendapat kesempatan belajar multimedia, khususnya membuat video untuk pelayanan gereja. Sejujurnya disampaikan bahwa mereka merasa tegang karena ini pertama kali direkam video, bahkan akan diunggah di YouTube. Kemudian Daniel D. Nugraha, dari team Multimedia GKJ Mergangsan mengungkapkan rasa haru atas semangat anak muda, majelis dan pendeta GKJ Paliyan yang sangat bersemangat membuat rekaman pelayanan gereja meski dengan alat-alat rekam yang terbatas.
Kegiatan pendampingan ini menghadirkan rasa kebersamaan, saling memperhatikan dan menjadi energi tambahan untuk terus bersemangat dalam keterbatasan dengan keyakinan pasti ada jalan keluar. Tetaplah bersemangat dalam belajar, berbagi dan melakukan pelayanan untuk kemuliaan Tuhan.
Perkembangan zaman yang menuju pada era global berbasis teknologi menuntut setiap orang untuk proaktif beradaptasi dengan perkembangan zaman. Berkaitan dengan teknologi digital, seseorang mesti memiliki beragam keterampilan khususnya dalam menggunakan produk-produk teknologi tinggi demi bisa mengakses berbagai media baik media informasi maupun sosial. Apalagi trend sekarang media sosial berbasis video begitu menyita perhatian orang dan mereka berlomba-lomba mengunggah video selain untuk dokumentasi juga potensial untuk bisa 'monetizing'.
Terlepas dari itu sebenarnya aktivitas merekam bukan hal baru karena sering dilakukan orang dewasa sampai ke anak-anak, dari acara formal sampai acara yang iseng-iseng saja. Bahkan sebenarnya setiap orang sudah menggenggam alat rekam yang ‘tertanam’ di gadget, namun tidak setiap orang paham bagaimana memaksimalkan fungsi yang ada untuk membuat hasil yang berkualitas. Dari poin ini Stube HEMAT Yogyakarta berinisiatif mengadakan pelatihan mahasiswa untuk menjawab kebutuhan mereka memproduksi video dengan memaksimalkan alat rekam dan teknik pengambilan gambar melalui gadget yang mereka miliki dalam Workshop #3 pada hari Sabtu, 29 Agustus 2020 di sekretariat Stube HEMAT Yogyakarta yang diikuti sembilan mahasiswa.
Dalam workshop sebagai kegiatan program Cyber Awareness, Stube bekerjasama dengan team Multimedia GKJ Mergangsan yang berpengalaman membuat video pendek dan memfasilitasi ibadah gereja secara online maupun streaming. Richard Panggabean, dari team Multimedia mengungkapkan bahwa teknik pengambilan gambar menjadi penting dalam pembuatan video karena setiap tampilan gambar itu memiliki makna tersendiri. Ia memaparkan teknik dasar pengambilan gambar berdasar sudut (angle) dan jarak (shoot), berdasar angle ada (1) Frog angle dan low angle (dari bawah) bermakna mengunggulkan atau membesarkan; (2) Eyes angle dilakukan sejajar dengan obyek; (3) High angle dan bird angle merupakan pengambilan gambar dari atas, yang memberi kesan kecil atau luasan jangkauan; (4) Over shoulder, biasanya untuk merekam percakapan antar obyek. Kemudian, berdasar jarak (shoot) terdiri dari Close Up, Medium dan Long, yang memiliki karakteristik masing-masing. Close up shoot dipakai untuk menegaskan ekspresi atau detil obyek, Medium shoot untuk menggambarkan obyek sedangkan Long shoot dipakai untuk menampilkan lingkungan sekitar obyek.
Pemaparan teknik dasar pengambilan gambar ini memberi pencerahan bagi para peserta, tidak lagi asal rekam, melainkan memiliki perencanaan dan pesan dari tampilan video yang dibuat. Teknologi alat rekam memang terus berkembang, tetapi yang utama adalah sumber daya manusianya untuk menghasilkan video yang baik dengan terus mengupgrade diri. Jadi, mari manfaatkan teknologi, dan tingkatkan skills perekaman video untuk menghasilkan karya yang bermanfaat.
Situasi ini mendorong Stube HEMAT Yogyakarta merespon pergumulan ini dengan One Day Workshop #2 pada hari Sabtu 22 Agustus 2020 di Sekretariat Stube HEMAT Yogyakarta sebagai bagian kegiatan program Cyber Awareness. Kegiatan ini menjawab kebutuhan mahasiswa dalam skills editing video, baik peserta yang sudah pernah melakukan editing video maupun peserta yang belum pernah melakukan editing sama sekali. Para peserta berharap bisa melakukan proses editing ini untuk menunjang keterampilan dirinya di waktu ke depan. Peserta Workshop #2 merupakan mahasiswa dari beragam wilayah di Indonesia dan berbagai kampus di Yogyakarta, seperti Eri Kristian, Yuli Triyani dan Daniel Prasdika, ketiganya berasal dari Lampung dan saat ini sedang menempuh studi di STAK Marturia Yogyakarta; Sarlota Wantaar dari Maluku Tenggara, studi di Pendidikan Fisika di UST, Irene Zalukhu dan Putri Laoli keduanya dari Nias dan sedang menempuh studi di APMD; Nona Mariani dari Adonara mahasiswi Pendidikan Biologi di Universitas Sanata Dharma, serta Satri dari Sumba Timur, mahasiswi Teologi di STAK Marturia.
Trustha Rembaka, koordinator Stube HEMAT Yogyakarta membuka acara dengan memutar beberapa video yang dihasilkan oleh aktivis Stube pada pelatihan sebelumnya. “Nikah atau Kuliah”, karya Linda dari Bengkulu dan “Jaga Jarak Tidak Berarti Menjauh” karya Satri dari Sumba, dan video edisi 75 tahun kemerdekaan Indonesia tentang Stube HEMAT Yogyakarta dan kiprah Multiplikator di berbagai wilayah di Indonesia. Ini membangkitkan semangat peserta untuk belajar dan menghasilkan video lainnya.
Dalam proses editing video, peserta dibagi menjadi tiga kelompok yang didampingi oleh Trustha, Thomas dan David sesuai dengan minat mereka terhadap aplikasi yang hendak dipelajari. Selain mendalami aplikasi editing video, mereka juga berusaha mengenal alat rekam, baik kamera maupun smartphone, juga alat pendukung lainnya seperti tripod, speaker dan microphone. Di akhir proses, peserta menghasilkan video pendek bertema bebas sebagai hasil workshop hari ini. Beberapa peserta mengungkapkan kesulitan adaptasi menggunakan aplikasi, sebagian lain masih belajar mengenal fungsi-fungsi aplikasi dan sebagian sudah relatif lancar mengedit video.
Ada share pengalaman, dari Nona Mariani yang ingin mendalami skills editing video yang berkaitan Biologi sesuai latar belakang studinya, yang bisa digunakan ketika presentasi suatu materi kuliah, sementara Daniel Prasdika mengungkapkan perlunya wawasan luas dan memiliki gambaran utuh untuk video yang akan dibuat. Berbeda dengan yang lain, Irene Zalukhu menyampaikan bahwa perlu kesabaran dan waktu tidak singkat untuk menghasilkan video yang berkualitas, tapi proses ini menyenangkan. Secara umum peserta yang belum tahu editing menjadi lebih tahu, dan mereka yang sudah tahu menjadi semakin tahu bagaimana mengedit video yang baik dan berkomitmen untuk membagi keterampilan olah video kepada teman-teman lainnya.
Workshop ini bukan titik akhir, tetapi titik pijak untuk melatih keterampilan diri dan menghasilkan karya video yang lebih baik lagi. Ayo para mahasiswa bekali diri dengan beragam keterampilan berbasis teknologi untuk merespon perkembangan teknologi dan berkompetisi di era digital.
Bersyukur atas 75 tahun kemerdekaan Indonesia dan menuju 27 tahun Kerja dan Pelayanan Stube HEMAT di Indonesia, merapatkan barisan alumni untuk Indonesia MAJU dan Berdaya Saing di Dunia Global.
Teknologi informasi berkembang seiring dengan kemajuan zaman dan sebagian orang bisa menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi. Dunia cyber merupakan kecanggihan media elektronik dalam jaringan teknologi yang memberikan kemudahan bagi siapapun dan berpengaruh besar dalam kehidupan. Didorong dengan kemajuan teknologi, terutama internet, tersedia ruang publik (baca: media sosial) yang lebih luas. Namun, sekalipun teknologi sudah semakin maju ada saja masyarakat yang ‘gagap’ teknologi bahkan tidak tahu bagaimana memanfaatkan kemajuan teknologi.
Kegiatan ini membuka wawasan tentang kemajuan teknologi dan tuntutannya seperti diungkap oleh salah satu peserta David, “dari workshop ini saya mendapat bekal bagaimana melihat kebutuhan ke depan, sehingga tahu skill apa yang harus ditambah supaya bisa kompetitif. Selain itu harapannya ada kegiatan Stube berupa praktek“.
Kunci ‘melek’ dunia cyber berada di tangan kita, tinggal bagaimana kita bersikap, mau bergerak atau diam dan dilibas oleh teknologi yang berkembang dengan cepat. Mahasiswa, ayo kembangkan dan bekali diri dengan skills berbasis teknologi sekaligus merespon permasalahan sosial berupa gap penguasan teknologi di masyarakat melalui ‘transfer’ pengetahuan kepada orang lain.***
Dari postingan video tersebut, saya menerima respon baik dari teman-teman yang menyaksikannya. Mereka terhibur dan buat saya yang paling penting mereka teredukasi. Adalah hal yang berkesan bagi saya bisa menyampaikan pesan positif baik melalui video maupun tulisan. Tunggu video saya saya selanjutnya. Terima kasih Stube-HEMAT. Semangat berkarya bagi kita semua! (Linda Titiwijayanti).
Pengalaman-pengalaman ini menjadi pembelajaran bersama, apakah sebagai pendamping maupun peserta. Dengan tekad untuk melakukan yang terbaik di setiap kesempatan yang ada tentu menghasilkan pengaruh positif demi peningkatan kualitas sumber daya manusia. (TRU).
*) Gilang Herdyan Prastomo Suseno, adalah mahasiswa Public Relation UPN Veteran Yogyakarta, berasal dari Boyolali Jawa Tengah, selain di Stube-HEMAT, Gilang aktif di Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC).
Menjadi sukses adalah impian setiap orang namun tak sedikit orang ingin sukses dengan cara yang mudah dan instan. Saya setuju dengan pernyataan bahwa sukses itu butuh proses bukan banyak protes. Ya, untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan memang butuh perjuangan dan perjuangan itu tidak mudah. Bagi saya, sukses itu tidak mengenal tempat dan waktu. Kapan dan di mana saja saya berada ketika saya punya niat untuk belajar dan terus belajar pasti saya bisa. Terima kasih Stube Hemat. (Apronia Dai Duka).
Pengalaman adalah guru terbaik, saya menemukan sesuatu yang berharga dari pengalaman saya sebagai peserta pelatihan Communication Skills: If you only do what you can do, you’ll never be more than you are now (jika kamu hanya melakukan apa yang dapat kamu lakukan, kamu tidak akan pernah menjadi lebih baik dari kamu saat ini). Sesuatu yang dulunya saya anggap saya tidak mampu, ternyata dapat saya selesaikan dengan baik. Terima kasih, Stube-HEMAT. (Rexine Yeralvany Riwu).
Mulai saat ini, saya belajar memperbaiki kemampuan komunikasi melalui berbagai media komunikasi, mengurangi hambatan komunikasi dalam diri dan mengurangi faktor kesalahan persepsi (salah pengertian) yang disebabkan cara berkomunikasi yang kurang jelas atau kurang memahami bagaimana menyampaikan suatu pesan terlebih ketika sudah bekerja dalam dunia pelayanan. Terima kasih Stube Hemat. (Rivaldo Arinanda Padaka)
Terima kasih kepada Stube-HEMAT Yogyakarta yang telah menjadi wadah bagi mahasiswa dan mencerahkan, khususnya saya terbantu dalam mengembangkan potensi yang saya miliki sehingga dapat berguna bagi orang banyak. Harapan saya ke depan semoga banyak anak muda tertarik dengan pelatihan-pelatihan serupa dan Stube-HEMAT selalu menjadi wadah terdepan yang dapat menampung, melatih dan mempromosikan potensi mahasiswa untuk Indonesia. (Antonia Maria Oy).
Sejauh ini beberapa langkah sudah diambil pemerintah daerah Halmahera Timur dengan menggelontorkan anggaran 3,4 M untuk tanggap darurat Covid-19. Selain itu pihak kesehatan juga telah melakukan sosialisasi serta mulai mendata masyarakat yang melakukan perjalanan 1-2 minggu terakhir ke luar daerah terutama yang berasal dari daerah zona merah. Tugas kita semua adalah memberi informasi yang valid dengan mensosialisasikan hal-hal benar tentang virus ini di WA group, FB group, serta di media sosial lainnya, juga tentang hal-hal positif yang terjadi saat pandemi. Jaga kesehatan dengan makan teratur, istirahat cukup serta selalu konsumsi vitamin C setiap hari. Mari lawan Covid 19 dengan membiasakan hidup bersih dan sehat! (SAP).
Di pelatihan ini saya mendapati bahwa Stube-HEMAT Yogyakarta memberi sumbangsih pada usaha perdamaian melalui pelatihan yang mengedepankan dialog disertai kunjungan ke tempat ibadah umat beragama, sebagai respon atas fenomena keberagaman saat ini yang menggaung di media sosial tanpa terjadi tatap muka sehingga seringkali memunculkan prasangka. Tidak dapat dipungkiri, melalui sharing pengalaman dari sahabat baru yang mengikuti pelatihan ini terungkap prasangka-prasangka yang ada sebelum pelatihan dan dialog terjadi, bahkan masih ada dendam dan trauma masa lalu, belum lagi, politik identitas marak terjadi beberapa tahun lalu. Sikap eksklusif, mengeneralisasi dan truth claim di masyarakat konservatif semakin menunjukkan eksistensinya di media sosial. Kelompok eksklusif sendiri merupakan kelompok yang mengklaim kebenaran hanya miliki mereka (truth claim) dan menolak keyakinan kelompok lain. Realitas tersebut tentu bisa dihilangkan dan disingkirkan melalui pertemuan dan dialog sebagaimana dilakukan oleh Stube-HEMAT Yogyakarta agar saling terbuka dan mengenal satu dengan yang lain. Selain itu, mari memupuk cinta melalui temu dan dialog. Saya mengapresiasi setinggi-tingginya kepada Stube-HEMAT Yogyakarta.
Stube menjadi sebuah ‘ekosistem’ yang dapat membantu kita tumbuh dan membentuk aktualisasi diri dengan baik. Jangan lupa untuk terus memiliki keinginan kuat untuk belajar banyak hal karena dengan mau belajar, kita dapat menemukan banyak kesempatan. Pilihlah ekosistem yang baik untuk tumbuh menjadi pribadi yang baik pula, lihat bagaimana orang-orang di dalamnya memberi feedback positif. Dari situ akan bertemu orang-orang yang ternyata punya kemiripan visi dan misi. Mereka tidak akan bilang ’wes to koe rasah neko-neko’ (Sudahlah, kamu tidak perlu macam-macam), tapi mengatakan ’Bagus, ayoo lanjut lagi’. Dari pemenang nobel atau award, apabila bertemu mereka, mereka seperti padi ‘berisi tapi tetap merunduk’. (Mutiara Srikandi).
Pengalaman-pengalaman yang saya temukan membuat saya mengapresiasi kegiatan yang diadakan Stube-HEMAT Yogyakarta karena menyediakan ruang belajar untuk para mahasiswa dan mereka sangatlah beruntung telah mendapatkan pengetahuan dan pengalaman inter-religius sejak dini sebagai bagian dari peace building. Saya mendorong setiap mahasiswa yang telah terlibat di Stube-HEMAT untuk terus mengembangkan materi yang didapatkan menjadi tindakan etis kehidupan sehari-hari dan memperkuat komitmen melanjutkan kegiatan Stube-HEMAT sebagai respon keingintahuan dalam segala bidang, bukan saja kekayaan materi edukatif tetapi juga karakteristik narasumber dan performa personal dari para peserta. Salam Stube-HEMAT. (Yustiwati Angu Bima).
Dari pelatihan ini saya merefleksikan bahwa dalam hidup sehari-hari sikap eksklusif tentang diri sendiri, suku maupun agama bisa muncul bukan secara tiba-tiba, tetapi akumulasi peristiwa-peristiwa sebelumnya dari pengalaman pribadi, lingkungan dan media. Pola pendidikan saat ini belum mampu mengakomodir dan menjadi sarana penyadaran dan penerimaan terhadap keberagaman. Media juga berperan besar dalam membentuk cara pandang masyarakat yang mudah ‘melahap’ informasi. Mahasiswa perlu ruang untuk berjumpa langsung dengan orang lain yang berbeda karena mahasiswa tidak bisa mendapat informasi dari media saja. Keberanian diri bertemu dan berdialog dalam perbedaan akan membongkar ‘truth claim’ yang cenderung menghasilkan kecurigaan, sikap eksklusif, stigma dan stereotype, sehingga mahasiswa memiliki pencerahan dan pemikiran baru tentang hidup berdampingan di tengah keberagaman. (Putri Laoli).
Saya, Imelda Nasrani Oktafina Sarumaha, berasal dari Pulau Nias, Sumatera Utara dan kuliah di fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Saya mengenal pertama kali dengan Stube-HEMAT Yogyakarta dari teman satu kos, ketika ia mengajak saya mengikuti pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta tentang membatik. Kegiatan berupa kunjungan ke Museum Batik Yogyakarta untuk mengenal sejarah batik, motif batik dan alat-alat yang digunakan untuk membatik. Di akhir kunjungan kami ditantang untuk membuat motif batik sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing. Ini sesuatu yang baru dan menarik untuk saya karena saya penasaran dengan apa yang akan saya buat motifnya tentang daerah saya sendiri, yaitu Nias. Beberapa hari kemudian kegiatan berlanjut ke kampung batik Giriloyo Imogiri, Bantul, di mana kami berlatih bagaimana membatik dari menggambar pola sesuai daerah masing-masing, menuangkan lilin di pola sampai mewarnai kain. Saya membuat motif sesuai dengan khas daerah Nias, yaitu lompat batu.
Dari pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta Bersama Merangkai Indonesia, saya mengalami suasana indah bertemu dengan teman-teman yang berbeda suku, adat, budaya dan agama. Saya juga mendapatkan cerita pengalaman tentang agama, suku dan budaya lain dari peserta lainnya, menariknya, saya tidak takut lagi untuk sharing pengalaman saya kepada mereka meskipun kami baru mengenal satu sama lain tetapi sudah bisa menciptakan kekompakan dan kerukunan bersama. Jadi saat ini saya bisa lebih bersikap toleransi kepada orang-orang yang berbeda di sekitar saya terlebih saat di kost atau di kampus. Terima kasih Stube-HEMAT. (Imelda Sarumaha).
Terimakasih Stube-HEMAT Yogyakarta telah memberikan saya kesempatan untuk bisa berkunjung ke Vihara, bertemu teman-teman baru dari Aceh sampai Papua, serta saya bisa mengklarifikasi prasangka saya sebelumnya, sekarang saya meyakini bahwa semua agama itu baik. Jika saya menemukan ada seseorang melakukan hal yang tidak baik, bukan berarti agamanya yang tidak baik, tetapi kembali kepada individunya yang belum mampu menghayati ajaran agamanya dan mewujudkan dalam perilaku sehari-hari. (EP)
Berbagai pengalaman unik yang saya temukan dalam pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta khususnya dalam berinteraksi dengan pemeluk agama lain perlu dirasakan juga oleh mahasiswa lain, sehingga mereka juga mendapat kesempatan bertemu dengan pemeluk agama yang berbeda demi memangkas prasangka dan mewujudkan relasi baik antar pemeluk agama di Indonesia. (Rivaldo Arinanda Padaka)