Dalam dunia kerja, kaum perempuan menghadapi tantangan yang lebih keras dibandingkan dengan laki-laki karena beberapa situasi seperti: dianggap melakukan pekerjaan dengan kualitas rendah sehingga mendapat upah yang lebih rendah, kesempatan berkembang yang lebih kecil di masa depan, dan beragam situasi lainnya. Beberapa realita ini menjadi pemahaman bagi perempuan untuk melihat gap dalam dunia kerja dan menjadi bekal menghadapi tantangan dunia kerja yang lebih keras. Dengan memakai cara pandang baru, perempuan menjadi kaum pembelajar dengan pikiran terbuka sehingga mereka menjadi lebih berkualitas dan mampu menemukan pekerjaan alternatif berdasarkan hobi dan ketertarikan mereka. Selain itu perempuan juga bisa aktif membuat kegiatan di komunitas mereka.
Berikut ini beberapa pengalaman dan pendapat dari aktivis perempuan Stube HEMAT Yogyakarta yang bekerja di kampung halaman maupun berbagai daerah lainnya.
Deby Koro Dimu, saat ini ia bekerja sebagai guru di pedalaman Papua, tepatnya di Afu-afu, Teluk Arguni Atas. Kampung ini bisa dicapai dari Kaimana menggunakan speed boat selama empat jam. Ia sendiri berasal dari pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur. Setelah wisuda jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di salah satu kampus di Yogyakarta, ia mendaftar sebagai pengajar di pedalaman dan ditempatkan di Papua Barat.
Tentang perempuan dan dunia kerja ia mengungkapkan bahwa memang dalam dunia kerja selalu ada perbandingan antara perempuan dan laki-laki, terkadang perempuan menjadi pilihan terakhir untuk mendapat kesempatan yang sama, contohnya menjadi pemimpin, berkaitan dengan perwakilan, dan pengambil keputusan. Ini muncul karena pengaruh budaya dan persepsi masyarakat dimana perempuan dianggap jiwanya lemah, apalagi di daerah pelosok, karena notabene perempuan cenderung menjadi ibu rumah tangga dan minim ruang bekerja formal.
Ia menemukan pencerahan ketika masuk dunia kerja dan menemukan jati diri bahwa ia mampu untuk menjelajahi dunia yang lebih luas dan menantang dirinya mengelola beberapa situasi sulit secara mandiri yang sebelumnya ia pikir belum mampu menanganinya. Contohnya, ketika ia mendapat ruang bekerja dan mengambil keputusan untuk bekerja di tempat jauh, di Kaimana, Papua Barat. Di tempat ia bekerja, ia menemukan hal-hal berharga, karena saat perempuan mendapat ruang yang sama dengan laki-laki, tidak dipungkiri bahwa sebuah pekerjaan akan lebih inklusif, sehingga perlu memastikan ketika perempuan terlibat, yang bersangkutan harus tetap aman, nyaman dan mampu melakukan.
Susana Sinar, mengungkapkan pengalamannya tentang perempuan dan dunia kerja. Awalnya ia bekerja di salah satu toko souvenir di Labuanbajo. Selama bekerja ia merasa nyaman karena mendapat apresiasi dan tanggapan baik di masyarakat dan lingkungan kerja. Ia bekerja sebagai staff marketing setelah melalui beberapa tahapan seleksi terbuka yang diikuti laki-laki dan perempuan. Dalam perjalanan karirnya, Susana memutuskan untuk berganti profesi. Saat ini ia bekerja di kantor desa Kaju Wangi, Kecamatan Elar, Manggarai Timur. Ia menjadi bagian dari lima perempuan dari empat belas perangkat desa. Menurutnya, hal ini adalah sebuah kemajuan karena perempuan dilibatkan dalam proses pembangunan desa.
Dari pengalamannya, saat ini tidak ada lagi hambatan bagi perempuan untuk bekerja, ada beragam kesempatan kerja, tinggal bagaimana perempuan mampu mengoptimalkan kemampuannya atau tidak. Selama ia bekerja di perusahaan maupun di pemerintahan, Susana melihat bahwa ketika seseorang punya kemampuan dan keterampilan maka ia pasti diterima, dihargai, dan dipercaya, sehingga ia mengingatkan pentingnya upgrade diri, berani berproses dan berkompetisi.
Mutiara Srikandi, mengungkapkan bahwa persepsi yang berkembang di daerahnya, perempuan itu punya batas; pertama, batas umur menikah; kedua, batas untuk karir. Budaya konvensional yang menempatkan laki-laki adalah pihak yang harus diurus dan dihormati, menjadi penghalang perempuan mengubah persepsinya untuk berusaha lebih maju. Menjadi sebuah ironi kalau perempuan punya karir lebih bagus, ia akan menjadi pihak yang disalahkan, juga seandainya punya pendidikan lebih tinggi, perempuan juga bisa disalahkan karena stigma sosial yang terbentuk kalau perempuan hadir untuk melayani dan mengurus keluarga.
Menurutnya, idealnya perempuan perlu mendapat ruang untuk bertumbuh, mendapat kepercayaan yang lebih luas dan didengarkan aspirasinya sehingga bisa melakukan suatu hal berbeda dan lebih baik, dan bahkan terobosan baru.
Mutiara sendiri merupakan seorang aktivis muda yang enerjik, alumnus Desain Interior di salah satu kampus di Yogyakarta dan aktif di Stube HEMAT Yogyakarta saat masih kuliah di Yogyakarta. Saat ini ia tinggal di Bandung dan menjalankan bisnis dengan brand Heloska.id dan merintis kursus bahasa Inggris.
Dari beberapa ungkapkan pengalaman perempuan muda di atas, ketika kaum perempuan menemukan kekuatannya untuk berkembang dalam menjawab tantangan pekerjaan, maka ia menjadi pemecah stigma tentang perempuan yang lemah dan terbatas, bahkan perempuan bisa melakukan terobosan melampaui apa yang publik pikirkan. Mari anak muda, khususnya kaum perempuan, berani dan siap menyambut tantangan dunia kerja ke depan. Perempuan pasti bisa.***