Pangan lokal menjadi isu aktual, baik yang terkait budidaya atau pun pengolahannya. Sayang, masyarakat khususnya di desa masih banyak yang belum tercerahkan tentang kekayaan pangan lokal yang dimiliki, bahkan merasa bahwa pangan lokal mereka tidak prospektif. Ini terjadi karena keterbatasan pengetahuan, lemahnya inovasi, rasa ingin tahu yang rendah, malas mengerjakan dan cenderung lebih suka menjadi penikmat saja. Generasi milenial sangat dibutuhkan karena dianggap mampu berinovasi, mengeksekusi, dan mempublikasikan inovasi lewat teknologi.
Dalam program Keanekaragaman Hayati bersama Stube HEMAT Yogyakarta, anak muda menjadi harapan untuk membangun daerah dengan memanfaatkan potensi pangan lokal. Stube HEMAT Yogyakarta mengantarkan saya dan peserta mahasiswa lainnya yang berlatar belakang asal dan kampus berbeda, melakukan pelatihan dan eksposur di beberapa tempat di kabupaten Gunungkidul untuk membuka pikiran dan wawasan baru mengenai pangan lokal dan prospeknya. Kegiatan ini menjembatani ketimpangan antara teori dan praktek yang dimiliki mahasiswa untuk melihat peluang dan realita kebutuhan di dalam masyarakat.
Saya, Eufemia Sarina mahasiswa STIPRAM asal Manggarai Nusa Tenggara Timur, mengutip perkataan salah satu narasumber, Alan Efendi sebagai salah satu inisiator industri rumah tangga Aloe Vera di desa Katongan, Nglipar, Kabupaten Gunungkidul, yang mengatakan bahwa usaha membutuhkan ilmu dan motivasi, jika gagal harus dicoba lagi. Melalui pelatihan ini saya menemukan pengalaman dan gagasan baru khususnya bagaimana mengolah pangan lokal di daerah saya, khususnya kopi.
Saya ingin melakukan hal yang berbeda untuk desa saya, Waerebo, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang kini menjadi salah satu desa wisata yang mendunia. Saya tertantang melakukan inovasi dengan mengangkat kopi sebagai alternatif tujuan wisata. Mengapa saya memilih kopi sebagai alternatif wisata baru di Waerebo? Jawabannya karena Waerebo merupakan salah satu kampung penghasil kopi terbesar di Manggarai dan memiliki aneka jenis kopi seperti Arabika, Kolombia dan Robusta. Dari pengamatan saya selama ini, wisatawan selalu menanyakan kopi yang disuguhkan kepada mereka, dan masyarakat hanya memberi tahu nama kopi tanpa menunjukkan seperti apa bentuk dan warna kopi yang dimaksud. Dengan menyediakan wahana tour kopi, wisatawan tidak hanya menikmati keunikan Rumah Adat Waerebo dan menyeduh secangkir kopi yang dihidangkan, tapi juga bisa mengalami langsung mulai dari proses pembibitan, penanaman, perawatan, petik kopi dan mengolah kopi yang memiliki proses memilah, menjemur, menggiling sampai menghasilkan bubuk kopi. Sehingga, ketika wisatawan berkunjung ke Waerebo, mereka memperoleh pengetahuan serta pengalaman tentang kopi Waerebo.
Mungkin bagi masyarakat hal ini adalah hal biasa, namun kalau dikembangkan, siapa tahu ide ini menjadi daya tarik untuk meningkatkan kunjungan wisatawan dan menjadikan Waerebo sebagai desa wisata kopi impian. Siapa lagi yang akan memulai kalau bukan anak muda Waerebo sendiri? Janganlah ketika selesai kuliah, hanya membawa kertas berisikan nilai tetapi tidak bisa berkontribusi untuk desanya. Selagi masih di Jogja, perluas jaringan, perbanyak wawasan, berorganisasi dan mengenal peluang-peluang untuk dikembangkan di desa. Waerebo, tunggu saya pulang.***