Oleh: Thomas Yulianto
Angka kekerasan terhadap anak di Indonesia terhitung sangat besar menurut Kementerian PPPA di tahun 2021 mencapai 3.122 kasus, dari data tersebut rata-rata didominasi oleh kekerasan seksual. Besarnya angka kekerasan terhadap anak menjadi faktor pendorong Stube HEMAT Yogyakarta untuk mengadakan diskusi dengan tema “Mapping Permasalahan Anak di Indonesia dan Memperjuangkan Hak-hak Anak”. Diskusi diselenggarakan secara online (Kamis, 5/8/2021) dan diikuti mahasiswa dari berbagai daerah yaitu Nias, Medan, Bangka Belitung, Lampung, Jawa, Sumba, Manggarai, Alor, Maluku, dan Raja Ampat.
Ariani Narwastujati, S.Pd., S.S., M.Pd., direktur eksekutif Stube HEMAT dan pernah mengikuti pelatihan Internasional tentang hak anak di Stube Nord, Hamburg, Jerman menjadi narasumber pelatihan saat ini. Narasumber memberikan pertanyaan kepada peserta tentang apa yang akan diperjuangkan mengenai hak-hak anak? Rata-rata respon peserta berpusat pada memperjuangkan hak pendidikan dan perlindungan. Tingkat pendidikan di desa dengan di kota sangat berbeda, dimana orang tua dan anak belum paham akan hak anak seperti mendapatkan pendidikan minimal 9 tahun. Selain itu, sebagian daerah asal peserta kekerasan terhadap anak yang bermula karena kebiasaan turun temurun dari orang tua, sehingga hak untuk perlindungan anak itu perlu diperjuangkan.
Narasumber memaparkan materi tentang konvensi hak-hak anak Internasional di mulai sejak tahun 1989, pada saat itu pemerintah dunia berkumpul dan membuat suatu kebijakan untuk melindungi anak-anak sesuai dengan kerangka hukum Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa. Anak-anak perlu diperhatikan dalam masa pertumbuhan, belajar, bermain, berkembang dan diperlakukan dengan adil. Ada 42 hak anak dalam konvensi tersebut dan diratifikasi di Indonesia menjadi 10 hak-hak anak yang meliputi hak untuk mendapatkan nama atau identitas, hak untuk perlindungan, hak memiliki kewarganegaraan, hak memperoleh makanan, hak kesehatan, hak rekreasi, hak mendapatkan pendidikan, hak bermain, hak untuk berperan dalam pembangunan, dan hak untuk mendapatkan kesamaan. Adapun hak perlindungan anak di Indonesia itu sendiri diatur dalam Undang-undang RI, No. 23 tahun 2002.
Setelah mendapatkan materi tentang konvensi hak-hak anak Internasional maupun hak-hak anak di Indonesia, peserta memahami hak-hak anak yang dapat dilihat dari cerita pengalaman peserta yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, antara lain anak-anak mengalami kekerasan fisik ketika dianggap tidak taat, pengabaian ketika orang tuanya sibuk bekerja, lingkungan rumah tidak sehat karena orang tua merokok, dan kebutuhan adat lebih mendapat prioritas daripada menyediakan kebutuhan pendidikan anak. Dari temuan-temuan kejadian ini para peserta mengetahui bahwa hak-hak anak belum sepenuhnya dipenuhi dan menunjukkan bahwa belum banyak orang memahami hak-hak anak. Pemahaman dan kesadaran tentang Hak-hak Anak sangat penting dimiliki orang-orang dalam lingkungan terdekat anak demi menyediakan ruang tumbuh kembang dan belajar anak. Beragam kejadian ini bisa disebabkan oleh rendahnya pengetahuan dan kesadaran tentang Hak-hak Anak selain pengaruh kebiasaaan hidup, tingkat pendidikan dan budaya. Diharapakan ke depan, melalui edukasi dan sosialisasi yang intens kepada masyarakat atas hak-hak anak, hak-hak tersebut akan dipahami dan diwujudkan menjadi lebih baik.
Melalui diskusi ini, sudah seharusnya peserta mampu melibatkan diri menjadi agen perubahan, dari yang belum mendapatkan haknya sebagai anak saat masa anak-anak, peserta mampu memberikan hak-hak anak sesuai dengan Undang-undang saat menjadi orang tua. Hidup anak-anak Indonesia! ***