Keseharian Pelabuhan Sadeng

pada hari Senin, 27 Februari 2023
oleh Hizkia Rifaldini
        

Gemuruh ombak tidak lelah menggempur bibir anjungan, nampak awan berarak indah melintasi langitnya, sementara angin bertiup mengibarkan bendera navigasi nelayan di sudut pelabuhan. Kapal-kapal bersandar dan para nelayan sabar menunggu kapan boleh melaut. Inilah gambaran Sadeng, sebuah Pelabuhan Penangkapan Ikan (PPI), yang terletak di desa Songbanyu, Girisubo, Gunungkidul Yogyakarta. Kehidupan keseharian warga di sekitar pelabuhan ini adalah bekerja sebagai nelayan dan sebagian besar dari mereka juga bekerja mengelola sawah, supaya kehidupan sehari-hari dapat terpenuhi. Menurut mereka jika hanya mengandalkan hasil melaut, mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 

 

 

 

 

Saya dan mahasiswa lainnya bersama tim Stube HEMAT memiliki kesempatan berkunjung ke pelabuhan ini untuk melihat dari dekat, sekaligus berinteraksi dengan kehidupan para nelayan dan mengamati potensi ekonomi kelautan (4/02/2023). Di pelabuhan Sadeng ini kami bertemu dengan anak buah kapal bernama Mujito yang mengajak kami berkeliling untuk mengetahui isi sebuah kapal. Dalam percakapan yang terjadi, saya menjadi tahu bahwa para nelayan pergi melaut bersama tim yang mencakup nahkoda dan anak buah kapal (ABK), dan mereka membutuhkan waktu selama satu minggu di laut. Sebelum melaut, perlu diperhatikan apa saja yang dipersiapkan, mulai dari pasokan makanan untuk memenuhi asupan mereka, selain bahan bakar, obat-obatan, dan air untuk mandi.

 

 

Selama seminggu di laut, hasil tangkapan yang diperoleh kurang lebih mencapai 5 ton. Jenis tangkapan cukup beragam seperti ikan cakalang, tuna, dan tongkol. Ketiga jenis ikan ini dapat ditangkap sepanjang tahun. Selain ikan, mereka juga menangkap hasil lainnya seperti cumi-cumi dan ubur-ubur. Ketika hasil laut ini sudah tiba di darat, maka ikan hasil tangkapan langsung diserahkan kepada pengepul untuk dijual. Namun, karena harga jual yang rendah, maka rupiah yang didapatkan pun cukup sedikit, apalagi hasil dari penjualan harus dibagi antara nahkoda, ABK, dan juga dikurangi biaya sewa kapal apabila kapal yang dipakai milik pihak lain.

 

 

 

Ibu-ibu nelayan juga berinovasi untuk memanfaatkan salah satu hasil tangkapan ikan, yaitu ikan tuna untuk dijadikan abon. Dengan adanya produk turunan seperti ini, akan menambah pemasukan masyarakat dan membuka lahan pekerjaan baru bagi ibu-ibu yang ada di sekitar pelabuhan Sadeng. Pengolahan abon ini juga dapat memperpanjang masa simpan ikan tersebut dan dapat dijadikan oleh-oleh. Selain rasanya enak dan bergizi, harganya pun terjangkau.

 

 

 

Para nelayan Sadeng dan istrinya adalah kelompok masyarakat yang gigih dan penuh optimisme yang menaruh harapan di pelabuhan ini. Modal sosial yang ada akan berkembang pesat jika ada sentuhan dan kerjasama yang terjalin dari para pemangku kepentingan setempat. Hari-hari adalah harapan-harapan baru dan laut menyediakan bagi mereka. Tiada hari yang dipertaruhkan tanpa laut dalam raut wajah mereka. *

 

 


 


  Bagikan artikel ini

Pengembangan Potensi Laut di Sadeng

pada hari Minggu, 26 Februari 2023
oleh Wisnu Anggara
 
       

Indonesia merupakan negara maritim dengan dua pertiga luas wilayah adalah lautan. Namun, sayangnya potensi lautan yang sangat luas ini belum dimaksimalkan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari permasalahan yang timbul dari laut. Masalah yang muncul cukup beragam, mulai dari penangkapan ikan secara ilegal, penangkapan dengan bahan peledak yang tidak terkontrol, pelanggaran batas melaut dari nelayan asing ke wilayah perairan Indonesia, penyelundupan biota laut, perusakan terumbu karang, perburuan satwa laut yang dilindungi, dan masih banyak lagi. Banyak hal bisa dilakukan dalam usaha memanfaatkan potensi laut, mulai dari penelitian untuk memanfaatkan hasil laut, potensi perikanan, daerah pesisir, wilayah mangrove, rumput laut, pariwisata, dan potensi energi dan pertambangan. Didukung dengan jaringan pemasaran yang handal, maka potensi laut Indonesia bisa menjadi sumber kesejahteraan nasional.

 

 

 

Saya Wisnu Anggara, salah satu Mahasiswa Teologi STAK Marturia Yogyakarta beserta dengan teman-teman mahasiswa dari kampus lain mengikuti program eksposur dari Stube HEMAT Yogyakarta dengan tema Ekonomi Kelautan. Pelabuhan Sadeng menjadi tempat tujuan kegiatan eksposur yang kami ikuti. Pelabuhan ini terletak di desa Songbanyu, kecamatan Girisubo, kabupaten Gunung kidul, DIY (21/02/2023). Tujuan utamanya adalah untuk melihat dan mengenal kehidupan masyarakat yang ada di pesisir serta mengetahui pemanfaatan laut yang ada di sana. Ketika kami berada di sana, ada hal yang menarik perhatian saya. Hal itu berdasarkan dari hasil pengamatan dan interaksi dengan salah satu nelayan yaitu Mujito, yang memberikan penjelasan bahwa hasil tangkapan yang dibawa oleh nelayan dari laut, langsung diangkut oleh pengepul dan dibeli dengan harga yang relatif rendah. Ini menjadi salah satu alasan mengapa pemenuhan kebutuhan ekonomi nelayan belum ada peningkatan berarti. Jika kita lihat, sebenarnya hasil laut di pelabuhan Sadeng ini memiliki nilai ekonomis tinggi karena potensi yang dimiliki, namun masih perlu ditingkatkan dalam pemasaran dan pengelolaan hasil laut menjadi produk-produk lain.

 

 

Berdasarkan apa yang sudah disampaikan oleh Mujito, maka sebenarnya nelayan di  Sadeng memiliki peluang untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Saya pun sepakat, karena menurut pendapat saya, mereka bisa membuat produk-produk baru dari hasil laut tangkapan nelayan. Dari wawancara dengan salah satu isteri nelayan yang bernama Rustini, ternyata mereka sudah membuat produk, hanya saja pemasarannya belum maksimal. Produk yang sudah dihasilkan berupa abon tuna, bakso dan sosis. Bagian yang perlu ditingkatkan adalah memperluas jangkauan pemasaran melalui kegiatan pameran dan pengadaan kerja sama dengan usaha yang ada di Gunung Kidul seperti pusat penjualan buah tangan, koperasi pegawai, dan lain-lain.

 

 

Secara umum, penangkapan ikan di Sadeng sudah sesuai prosedur dan tidak menggunakan bahan yang bisa merusak laut. Namun saja, produksi yang rendah membuat perekonomian masyarakat di sana masih belum ada peningkatan. Oleh karena itu, sebagai generasi muda kita perlu banyak belajar, supaya apa yang kita miliki saat ini dapat kita pergunakan dengan sebaik mungkin dan bisa menciptakan peluang yang besar untuk ke depan yang lebih baik, terutama memberi sumbangsih pada bidang kelautan. ***

 


  Bagikan artikel ini

Sadeng Mau Dibawa Kemana?

pada hari Sabtu, 25 Februari 2023
oleh Mensiana Pengu Baya
         

 

Indonesia memiliki laut yang luas dan banyak pulau dengan pesisir laut.  Sebagian penduduk tidak tinggal di pesisir, sehingga belum paham tentang kehidupan yang ada di pesisir, dan menganggap bahwa laut tidak terlalu penting, padahal manusia hidup tidak terlepas dari laut. Saya, Mensiana Pengu Baya, berasal dari Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Sumba Timur, bersama teman-teman mahasiswa dari berbagai kampus yang ada di Yogyakarta, dipimpin oleh Trustha Rembaka, S.Th selaku koordinator, berkunjung ke Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng, melakukan eksposur yang diadakan oleh Lembaga Stube HEMAT Yogyakarta (4/2/2023).

 

 

 

Laut sebagai sebuah ekosistem perlu dilestarikan dan dikelola untuk memenuhi kebutuhan manusia sehari-hari, begitu juga pelabuhan Sadeng di Desa Songbanyu. Kabupaten Gunung Kidul, yang sudah dimanfaatkan potensinya sejak berdiri pada tahun 1990. Di sana, kami bertemu Agus Santoso S.P., Direktur Operasi Pelabuhan dan Departemen Operasi Pelabuhan, dan Sarina S.P., M.M., Direktur Administrasi dan Pelayanan Perusahaan.

 

 

Dalam kegiatan eksposur ini, kami dibagi menjadi beberapa kelompok dan kebetulan saya mendapat kelompok yang melakukan tanya jawab dengan nahkoda kapal. Kelompok kami berdiskusi dengan Cimeng, nama panggilan seorang nahkoda kapal. Dalam percakapan di kelompok kami, saya belajar mengenal banyak hal, suka duka menjadi nahkoda kapal nelayan. Satu hal yang diceritakan adalah cara berkomunikasi di atas kapal atau antar kapal. Komunikasi dilakukan dengan menggunakan HT (Handy Talkie) dan untuk mengetahui arah mata angin, para nelayan menggunakan kompas. Ketika terjadi permasalahan seperti cuaca buruk dan jaringan HT tidak bisa digunakan, maka kompas sangat berperan menyelamatkan arah kapal.

 

 

Cimeng, menyampaikan bahwa kapal Purse Siene atau kapal Slerek bisa mengangkut maksimal 15 orang yang terdiri dari nahkoda, anak buah kapal serta perlengkapan kapal lainnya dan mampu memuat ikan seberat 5 ton. Kapal-kapal yang digunakan para nelayan tidak semuanya milik pribadi, ada sebagian merupakan kapal sewaan. Hasil tangkapan ikan Sebagian dijual langsung di Sadeng dan sebagian dikirim ke Jakarta dan Surabaya. Jenis ikan yang paling banyak ditemukan di Sadeng adalah ikan tuna. Proses pembagian hasil dari nahkoda, ABK, atau pun pemilik kapal, disesuaikan dengan tingkatan dan tanggung  jawab masing-masing.

 

 

 

Ketika hasil tangkapan tidak sesuai dengan target yang sudah ditentukan, maka para nelayan tidak mampu membayar sewa kapal dan tidak mampu membeli bahan bakar. Hal ini menjadi hambatan dan tantangan tersendiri bagi para nelayan, namun tidak mengurangi keinginan serta semangat mereka untuk melaut. Mendengar dan melihat kegigihan para nelayan dalam bekerja, tidak bisa dipungkiri betapa pentingnya pendampingan pemerintah untuk para nelayan, khususnya dalam pemantauan kondisi laut dan kewaspadaan selama navigasi, untuk menjamin keselamatan para nelayan. Pengembangan teknologi kelautan, kepastian kelengkapan sarana dan prasarana melaut menjadi motivasi bersama untuk membawa Sadeng menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai yang modern dan nyaman. ***


  Bagikan artikel ini

Wanita Nelayan dan Digitalisasi

pada hari Jumat, 24 Februari 2023
oleh Jeni Tamu Apu
  

Apakah pernah terpikir bahwa nelayan itu hanya bisa dilakukan oleh laki-laki? Atau pernah terlintas bahwa ada juga wanita yang menjadi nelayan? Saya Jeni Tamu Apu salah satu mahasiswa yang kuliah di salah satu kampus di Yogyakarta bersama teman-teman mahasiswa lainnya mengikuti eksposur yang difasilitasi oleh Lembaga Stube HEMAT Yogyakarta di pelabuhan Sadeng Gunungkidul Yogyakarta (04/02/2023).

 

 

Dalam kegiatan eksposur dan proses diskusikami dibagi menjadi beberapa kelompok untuk melihat kegiatan masyarakat di sana, saya mendapat bagian untuk berdiskusi dengan istri nelayan yang bernama Rustini. Rustini mengikuti jejak suaminya menjadi nelayan, nelayan yang dimaksud di sini yaitu mengambil ikan dari nelayan kemudian mengolah kembali. Selama ini biasanya hasil tangkapan ikan hanya dijual mentah di pasar atau dikonsumsi sendiri, padahal sebenarnya ikan itu bisa diolah dengan berbagai macam bentuk bekerjasama dengan ibu-ibu yang bekerja di rumah. Rustini memiliki peranan dalam pembuatan aneka produk olahan hasil perikanan, seperti baksonugget, tahu, abon, dan otak-otak. Dalam satu bulan, kelompok ibu-ibu ini membuat olahan tiga kali, masing-masing olahan sebanyak sepuluh kilogram. Pendapatan atau keuntungan yang diperoleh tidak menentu, karena proses penjualannya hanya di sekitar tempat tinggal mereka. Dalam proses diskusi kami bertanya kenapa ibu-ibu tersebut tidak memanfaatkan media sosial yang adaRustini mengatakan bahwa mereka minim pengetahuan tentang media sosial, serta jaringan kurang bagus atau susah sinyal. Hal inilah yang membuat mereka tidak bisa memanfaatkan media sosial dengan optimal.

 

 

Melalui eksposur ini saya melihat bagaimana penting peran perempuan dalam pengembangan produk turunan hasil tangkapan laut, serta kendala yang dialami oleh isteri-isteri nelayan. Kehadiran pemerintah sangat perlu untuk melihat bagaimana peran media sosial untuk membantu proses pemasaran, menyiapkan jejaring SDM yang dapat membantu, serta memperlancar proses pemasaran untuk meningkatkan perekonomian nelayan yang ada di Sadeng. Media berbasis teknologi informasi akan mendukung para nelayan terlebih untuk mengikuti perkembangan dunia kelautan, update informasi cuaca dan gelombang laut, juga bagaimana menjaga kelestarian laut dan sekitarnya. ***

 


  Bagikan artikel ini

Siaga Sebelum Berlayar

pada hari Kamis, 23 Februari 2023
oleh Selvina Lum
     

Apakah yang ada di dalam benak kita jika mendengar kata nelayan? Laut? Ikan? Atau Perahu? Pernahkah melihat dan merasakan bagaimana pekerjaan seorang nelayan? Nelayan menjadi satu pekerjaan yang banyak ditekuni oleh masyarakat atau orang yang hidup di pesisir pantai. Namun, tidak jarang juga ada nelayan yang bukan masyakarat pesisir pantai. Berbicara lebih mendalam tentang pekerjaan seorang nelayan, melalui program Stube HEMAT Yogyakarta saya dan rombongan mahasiswa lainnya diberi kesempatan mengikuti kegiatan eksposur dengan berkunjung ke Pelabuhan Sadeng (Sabtu, 4/02/2023).

 

 

 

 

Dalam kunjungan ini para mahasiswa bertemu langsung dengan beberapa nelayan di pelabuhan Sadeng, Girisubo Gunungkidul. Salah satunya kami berdialog dengan Mujito seorang ABK kapal  tentang kehidupan nelayan. Melalui tulisan ini, saya ingin membagikan tentang bagaimana persiapan nelayan sebelum melakukan penangkapan ikan. Layaknya pekerjaan lainnya, nelayan juga perlu memperhatikan hal-hal yang perlu disiapkan sebelum pergi melaut untuk mencari ikan. Persiapan yang paling utama yaitu: kesiapan akan kondisi fisik. Nelayan membutuhkan waktu yang lumayan menguras tenaga sehingga kondisi fisik adalah persiapan yang paling utama sebelum melaut. Selain kondisi fisik yang sehat, para nelayan juga harus memperhatikan keadaan perahu atau kapal yang akan mereka gunakan, mulai dari keamanan mesin dan alat perahu serta kebutuhan bahan bakar (BBM). Pengecekan perahu/ kapal yang mereka gunakan adalah hal yang penting sebagai bagian dari kewaspadaan akan keadaan laut, derasnya ombak, dan jaminan keselamatan, selain peralatan pendukung seperti alat pancing dan penjaring ikan. Untuk jaminan keselamatan biasanya nelayan juga perlu membawa pelampung sebagai antispasi.

 

 

Selain beberapa hal di atas, ada beberapa persiapan yang tidak kalah penting adalah persiapan akan makanan dan minuman selama di laut. Lama waktu yang dibutuhkan nelayan saat melaut tergantung dari jenis kapal yang mereka gunakan sehingga jumlah pasokan makanan yang mereka bawa juga tergantung lamanya berlayar. Di pelabuhan Sadeng terdapat tiga jenis kapal yang digunakan nelayan, mulai dari kapal PMT (<5 GT) bisa berlayar selama satu hari, kedua jenis Sekoci (5-30 GT) mampu 5-7 hari melaut, sedangkan Slerek (>30 GT) adalah jenis kapal yang besar dan mampu melaut selama 2 minggu atau lebih. Adapun alat dan bahan yang perlu dibawa antara lain beras, air untuk minum dan masak, sayur, persediaan mie, telur, serta bahan makanan cepat saji lainnya. Bahan-bahan ini dibawa berdasarkan lamanya pelayaran dan jumlah ABK yang ikut melaut. Selain keperluan makan, para nelayan juga harus membawa persediaan obat-obatan.

 

 

Dalam aktivitas selama melaut tentu nelayan harus memperhatikan hal-hal di atas. Kesiapan diri dan bahan yang perlu dibawa menjadi bagian dari upaya nelayan dalam melakukan pekerjaannya agar berjalan lancar serta menjamin keselamatan karena tidak ada yang bisa memastikan keselamatan selain mereka sendiri. Resiko melaut di lautan lepas sangat besar, oleh karenanya, nelayan adalah salah satu pekerjaan yang memang butuh kesiapan dan pengalaman. Siaga sebelum berlayar semangat semakin berkobar. ***

 


  Bagikan artikel ini

Melaut, Bertaruh Nyawa Demi Rupiah

pada hari Rabu, 22 Februari 2023
oleh Andreas Atwin Janarko
     

 

Indonesia merupakan salah satu negara yang sebagian besar wilayahnya dikelilingi perairan luas. Berdasarkan hasil Kovensi Hukum Laut Internasional (United Nation Convention on the Law of Sea – UNCLOS), luas wilayah laut Indonesia mencapai 3.257.367 km2, sedangkan luas daratan 1.919.433 km2. Fakta ini menunjukan bahwa luas wilayah perairan Indonesia lebih besar dari daratan sehingga sering disebut sebagai negara maritim. Sebagai negara dengan lautan yang luas tentu saja menjadi peluang untuk masyarakat khususnya yang berprofesi sebagai nelayan.

 

 

Kesempatan mengikuti eksposur ke Pelabuhan Sadeng yang difasilitasi oleh Lembaga Stube HEMAT Yogyakarta berkaitan Ekonomi Kelautan dan melihat kehidupan nelayan (Sabtu, 4/02/2023) tidak saya sia-siakan untuk memperdalam pemahaman tentang potensi laut Indonesia. Pelabuhan Sadeng merupakan salah satu pelabuhan perikanan pantai terbesar di DIY yang terletak di teluk Sadeng, diapit dua desa yakni Desa Songbanyu dan Desa Pucung, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul,  Daerah Istimewa Yogyakarta. Banyak hal baru saya temukan dalam eksposur ini salah satunya adalah mengenal lebih dekat kehidupan nelayan. Menjadi seorang nelayan ternyata tidak mudah, karena harus memiliki kegigihan dan tekad besar untuk berangkat berlayar demi mendapatkan rupiah demi menafkahi keluarga.

 

 

Saya berkesempatan berdialog dengan seorang nelayan bernama Mujito. Saya merasa terkejut ketika mendengar langsung bahwa ternyata jangka waktu yang ditempuh oleh nelayan untuk melaut lumayan lama. Apalagi ketika menggunakan kapal dengan kapasitas 30 Gross ton ke atas bisa memakan waktu 2 minggu atau lebih. Mujito adalah seorang ABK (anak buah kapal) dari kapal jenis Sekoci yang berkapsitas 5-30 GT yang menghabiskan waktu 5-7 hari melaut. Sebelum melaut mereka mempersiapkan modal awal yang harus dikeluarkan apalagi ketika harus menyewa kapal karena diakui bahwa banyak nelayan yang belum memiliki kapal pribadi sehingga harus menyewa. Hasil tangkapan nelayan beragam namun sebagian besar berupa tuna, cakalang dan layur. Mujito mengakui pendapatan yang mereka peroleh pun tidak menentu apalagi saat cuaca tidak mendukung sehingga mereka harus melakukan berapa kali pelayaran untuk bisa mengembalikan modal.

 

 

“Mengais rupiah untuk menafkahi keluarga dengan melawan derasnya arus lautan.” Itulah yang menjadi tekad dan kegigihan para nelayan saat melaut sehingga bukan resiko yang mereka pikirkan melain keuntungan untuk mendukung kehidupannya. Perjuangan yang luar biasa bagi mereka yang rela meninggalkan keluarga bertarung dengan laut mencari sesuap nasi, tanpa ada kepastian akan pulang dan ada atau tidaknya keuntungan. Menjadi nelayan adalah pilihan untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 

 

Kebutuhan orang akan ketersediaan pangan akan terus meningkat sejalan dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dunia, karena kondisi ini akan menjadi tantangan bagi para nelayan untuk semakin gigih dalam bekerja. Profesi nelayan adalah profesi yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah, mulai dari jaminan keselamatan bagi para nelayan saat melaut, peralatan, pinjaman modal dan pengembangan profesi nelayan itu sendiri sehingga bisa berjaya di laut, dan berjaya dalam kehidupan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua untuk lebih menghargai nelayan bahkan ikut memikirkan mengelola potensi laut Indonesia. ***

 

 


  Bagikan artikel ini

Melihat Kehidupan Para Nelayan Di Pantai Sadeng

pada hari Selasa, 21 Februari 2023
oleh Efrentus Posenti Orung

       

Potensi sumber daya kelautan dan perikanan diyakini masih menjanjikan sebagai andalan kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Keyakinan terhadap keandalan sumberdaya ini tidak lain karena sumberdaya ikan sebagai salah satu komponen hayati yang paling banyak dimanfaatkan dan dapat diperbaharui. Untuk itu, ekspansi pada bidang perikanan terus dikembangkan di Indonesia, salah satunya dengan pembangunan pelabuhan-pelabuhan perikanan yang baru dan juga TPI atau Tempat Pelelangan Ikan.

 

 

Salah satu proyek pembangunan pelabuhan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng. Pelabuhan perikanan pantai Sadeng merupakan pelabuhan yang paling berpengaruh di Daerah Istimewa Yogyakarta, karena sebagian besar hasil ikan yang didapat di provinsi DIY dihasilkan oleh pelabuhan perikanan pantai Sadeng. Secara administratif pantai Sadeng terletak di Desa Songbanyu, Kecamatan Girisubo, Gunung Kidul, DIY. Jarak tempuh sekitar 70 km dari kota Yogyakarta dan memakan waktu kurang lebih 3 jam perjalanan. Perjalanan menuju Pantai Sadeng kita akan banyak sekali melihat pemandangan yang masih alami, bukit kapur yang memanjang membentuk aliran sungai. Sepanjang tepian sungai purba telah berganti menjadi lahan bertanam palawija dan tanaman lain yang dibudidayakan penduduk. Penduduk di sekitar pantai Sadeng memiliki dua profesi sekaligus, sebagai petani dan nelayan, namun rata-rata para petani merupakan penduduk setempat, sedangkan para nelayan hampir semuanya pendatang mulai dari daerah Cilacap, Pekalongan, Sulawesi hingga Semarang. Sembilan puluh persen nelayan yang kami temui adalah pendatang. Sebagian nelayan memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani jika tidak sedang melaut atau ketika cuaca sedang buruk.

 

 

 

Jenis kapal yang digunakan nelayan bisa dikelompokkan menjadi tiga macam, seperti PMT (Perahu Motor Tempel) (<5 GT), Sekoci (5-30 GT), dan Slerek (>30 GT). Nelayan yang menggunakan PMT bisa memasang jaring berkisar 0 hingga 4 mil laut dari ujung pantai, kapal Sekoci bisa melaut dari 4 mil laut, sedangkan Slerek bisa melaut dari jarak 12 mil laut. Mari sejenak kita mengetahui sedikit dari kebiasaan para nelayan dalam mencari ikan di pantai Sadeng. Para nelayan PMT biasanya membutuhkan waktu melaut selama 1 hari, nelayan Sekoci mampu lebih lama sekitar 5-7 hari dan Slerek bisa menghabiskan waktu melaut lebih dari dua minggu. Hasil tangkapannya bermacam-macam tergantung dari musim, tetapi pantai Sadeng terkenal dengan hasil ikan tuna dan cakalang untuk segala musim.

Seorang nelayan bernama Mujito yang kami temui mengatakan bahwa hasil tangkapan yang diperoleh dalam sekali melaut mencapai 100 kg – 1 ton. Jika musim sedang bagus hasil laut bisa lebih dari 1 ton. Namun tak jarang juga sekembalinya nelayan dari melaut, hasil tangkapan nelayan tidak mencapai 1 ton bahkan hanya ½ ton.

Pembagian pendapatan dari melaut cukup menarik karena pemilik kapal PMT akan mengantongi 25% dari hasil tangkapan. Bagi pemilik kapal besar akan mendapatkan bagian 50% dari hasil tangkapan. Pendapatan nelayan memang tidak menentu, maka wajar jika nelayan tidak bisa memastikan berapa pendapatannya selama satu bulan, namun diperkirakan mencapai 1-3 juta perbulan bahkan mungkin lebih. Perlu diketahui bahwa sistem bagi hasil telah diatur oleh pemerintah dengan UU Bagi Hasil Perikanan Republik Indonesia No. 16 Tahun 1964 Bab II Pasal 3 B, namun dalam pelaksanaannya nelayan masih menggunakan aturan kebiasaan dalam sistem bagi hasil.

 

 

Harga-harga kebutuhan hidup dan jumlah tanggungan keluarga menjadi beban tersendiri bagi kehidupan nelayan. Harga bahan-bahan pokok di pesisir pantai tidaklah semurah yang kita temukan di pertengahan kota. Apalagi harga BBM sebagai modal utama menjalankan mesin perahu untuk melaut harganya bisa mencapai 10.000 rupiah per liter, belum termasuk perubahan harga BBM yang terjadi pada saat ini. Cuaca dan gelombang air laut yang pasang surut acap kali menjadi ancaman bagi keselamatan nelayan saat melaut.

Hal yang perlu diperhatikan di Pantai Sadeng adalah belum ada upaya pengolahan ikan untuk meningkatkan daya jual ikan, mengingat sebanyak 55% nelayan yang kami temui, pendidikan terakhirnya adalah setingkat Sekolah Dasar. Akses pendidikan dan kesehatan bagi keluarga nelayan masih dirasa jauh, sehingga anak-anak harus menempuh jarak jauh menuju sekolahan dan keluhan sakit para nelayan tidak cepat tertangani. Para nelayan berharap pendidikan rendah yang mereka miliki jangan sampai terulang untuk anak-anak mereka. Kehadiran pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan dan pendidikan untuk anak-anak mereka sangat diperlukan. ***

 


  Bagikan artikel ini

Penguatan Sumberdaya Masyarakat Pesisir

pada hari Senin, 20 Februari 2023
oleh Daniel

       

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Semua ini memberikan berkah yang sangat besar bagi Indonesia dengan berlimpahnya kekayaan sumber daya alam serta ragam hayati. Kekayaan tersebut seharusnya menjadi kekuatan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama masyarakat pesisir. Namun kita sadari semua itu masih belum teroptimalisasi dengan baik, melihat masih tinggi tingkat kemiskinan masyarakat pesisir.

 

 

Dari data BPS tahun 2021, 12,5% dari penduduk miskin ekstrim di Indonesia ada di masyarakat nelayan yang disebabkan beberapa faktor diantaranya masih rendahnya kualitas sumber daya manusia. Kehidupan penduduk pesisir, khususnya nelayan masih tergantung pada pemanfaatan sumber daya alam dengan menggunakan teknologi dan modal yang terbatas. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mengurangi kemiskinan di wilayah pesisir berbagai program pemberdayaan ekonomi masyarakat telah dilakukan namun masih banyak yang belum tepat sasaran, ini menjadi temuan-temuan yang kami peroleh dari kunjungan belajar di Pelabuhan Sadeng, kabupaten Gunungkidul, provinsi DIY, bersama Stube HEMAT Yogyakarta dalam rangkaian program Ekonomi Kelautan (4/2/2023).

 

 

 

Di sana kami melakukan diskusi serta pemaparan tata kelola dan melihat aktivitas yang dilakukan nelayan yang ditemani oleh pengelola pelabuhan. Setelah itu kami bersama kelompok kecil mewawancarai salah satu perempuan nelayan yang mengolah hasil tangkapan ikan menjadi beberapa produk seperti abon ikan, bakso, tahu, nugget, dll. Dalam wawancara kami mengulik potensi hasil olahan laut yang dibuat oleh para istri nelayan yang tergabung dalam kelompok di desa. Kelompok tersebut masih terkendala alat produksi dan tidak semua anggota kelompok dapat mengolah hasil lautserta kesulitan memasarkan produk secara luas. Sebenarnya media sosial dan pasar digital bisa dipakai sebagai platform pemasaran produk secara masif. Perlu adanya support dari para stakeholderuntuk mendampingi perempuan nelayan dalam pelatihan peningkatan produksi olahan, pemasaran produk serta pemanfaatan media digital yang lebih optimal untuk menjangkau customer.

 

 

Diharapkan dengan penguatan sumberdaya nelayan dalam mengelola potensi hasil laut dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan mengurangi tingkat kemiskinan. Tidak kalah penting apabila dukungan para stakeholder mengarah kepada anak-anak muda untuk ikut serta dalam optimalisasi pembangunan yang berkelanjutan. ***

 

 


  Bagikan artikel ini

‘Melek’ Eksistensi Wisata Pantai dan Problematikanya

pada hari Sabtu, 4 Februari 2023
oleh Kresensia Risna Efrieno

 

 

Hai, kalian sudah berkunjung ke tempat wisata mana saja di Yogyakarta? Pantai? Gunung? Tidak tahukah kamu kalau kabupaten Gunungkidul memiliki potensi wisata yang luar biasa di Yogyakarta dengan beragam lokasi wisata yang bisa dikunjungi, mulai dari bukit sampai ke pesisir pantai. Tak kurang enam puluh pantai di Gunungkidul dari Ngunggah di barat sampai Krokoh paling timur, dan pantai Krakal yang terletak di Desa Ngestirejo, Tanjungsari, Gunungkidul, Yogyakarta dengan luas 150 ha. Pantai Krakal memiliki keunikan batu karang besar berwarna hitam seperti jalan setapak di atas permukaan laut berpadu dengan pasir putih, indah dan menarik wisatawan untuk berkunjungbukan?

 

 

Namun, apakah eksistensi kawasan wisata hanya keindahannya? Adakah hal lain yang perlu kita kaji? Kemunculan tempat wisata menghadirkan ‘domino effect’ dari perubahan kondisi alam, ekonomi masyarakat dan budaya. Sisi lain yang perlu kita lihat adalah tantangan atas kerusakan yang rentan terjadi, berbanding terbalik dengan beberapa hal di atas.

 

 

Mahasiswa tentu tahu bahwa munculnya tempat wisata pasti membawa dua sisi, manfaat dan masalah. Stube HEMAT Yogyakarta sebagai lembaga pendampingan mahasiswa mengajak mahasiswa melihat realita ini dengan mengunjungi pantai Krakal, Gunungkidul dalam program Ekonomi Kelautan (Sabtu, 04/02/2023). Kunjungan belajar ini menjadi tambahan pengetahuan dan pengalaman mahasiswa untuk melek’ keberadaan tempat wisata dan problematika yang mengikutinya.

 

 

Para mahasiswa membagi diri dalam empat kelompok kecil untuk mengkaji fokus pengamatan yang berbeda dengan menggali informasi secara bebas, baik dengan wawancara maupun melihat situasi pantai secara umum. Kelompok satu memetakan peluang ekonomi di pantai Krakal, berdasarkan wawancara dengan beberapa pedagang yang mengungkapkan bahwa akhir pekan lebih ramai karena wisatawan bisa melakukan camping di pantai dan sehingga para pedagang punya peluang menjual souvenir yang khas, seperti gantungan kunci dari kerang dan batu akik. Kelompok dua membagikan hasil wawancara dengan pedagang juga tentang keterlibatan masyarakat setempat dalam geliat ekonomi di pantai Krakal. Sungguh menggembirakan karena terungkap  bahwa sebagian besar pedagang di pantai Krakal adalah masyarakat setempat. Ini berarti keberadaan wisata pantai Krakal membawa potensi kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Kelompok tiga menemukan onggokan sampah yang tidak terkelola di beberapa sudut pantai sehingga mengganggu panorama pantai. Hal ini semestinya menjadi perhatian serius pengelola untuk mempertahankan daya tarik pantai bagi wisatawan dari sisi kebersiha. Sedangkan kelompok empat menggali informasi tentang keberpihakan masyarakat, pemerintah dan pengelola pantai untuk memajukan kawasan pantai dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 

 

Kunjungan belajar ke pantai Krakal membuka wawasan peserta untuk lebih peka dengan realita pesisir dan kelautan Indonesia, seperti yang dikatakan Andremahasiswa Teologi STAK Marturia, “Melalui kunjungan belajar di pantai Krakal, saya menemukan sesuatu yang baru karena tidak saya temukan di daerah saya, Lubuk Linggau, yaitu masyarakat memanfaatkan sumber daya pesisir pantai menjadi mata pencaharian, menghasilkan inovasi souvenir dari lautmunculnya lapangan pekerjaan sebagai fotografer. Namun demikian saya juga menemukan kurangnya perhatian untuk merawat pantai.”

Keberadaan tempat wisata pesisir dan pantai menuntut tanggung jawab besar dari para pemangku kepentingan demi terjaga kelestariannya. Mahasiswa perlu terlibat aktif untuk peduli dan mengkampanyekan pentingnya keberadaan tempat wisata berkelanjutan yang menghadirkan kesejahteraan bagmanusia dan lingkungan. ***

 

 


  Bagikan artikel ini

Dari Sadeng Mengarungi Lautan Indonesia

pada hari Sabtu, 4 Februari 2023
oleh Kresensia Risna Efrieno
          

Sejauh mana kita mengenal laut kita? Masih meraba-raba? Stube  HEMAT Yogyakarta memfasilitasi mahasiswa dalam ruang belajar mengenal potensi dan tantangan kelautan Indonesia. Sembilan belas mahasiswa dipimpin koordinator Yogyakarta, Trustha Rembaka, S.Th dan didampingi Ariani Narwastujati, S.Pd., S.S., M.Pd., selaku Direktur Eksekutif Stube HEMAT melakukan kunjungan lapangan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng, Gunungkidul (4/2/2023).

 

 

Para mahasiswa mengunjungi pelabuhan yang terletak di desa Songbanyu, Girisubo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan bertemu dengan Agus Santosa, S.Pi., Kepala Seksi Operasional Pelabuhan dan Kesyahbandaran dan Sarina S.P., M.M., Kepala Seksi Tata Kelola dan Pelayanan Usaha. Sebagai kata pengantar, Ariani mengenalkan Stube HEMAT Yogyakarta dan program Ekonomi Kelautan, khususnya dinamika perikanan laut dan kehidupan nelayan melalui eksposur atau kunjungan belajar. Ia menantang masing-masing peserta menyebutkan nama-nama ikan laut untuk mencari tahu sejauh mana pengenalan akan dunia laut. Ternyata sebagian peserta menyebut nama ikan yang sama berulang dan bahkan menyebutkan ikan air tawar.

 

Agus Santosa memaparkan bahwa pelabuhan Sadeng berdiri sejak 1990 di antara desa Songbanyu dan Pucung, Girisubo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sekitar 85 km arah tenggara kota Yogyakarta. Ia mengungkapkan kiprahnya sebagai syahbandar sejak 2018dan melayani 200 lebih nelayan Ia mengisahkan awalnya para nelayan belum tahu pentingnya memiliki dokumen kelautan, tetapi sekarang mereka sudah sadar pentingnya dokumen tersebut, bahkan semakin banyak nelayan yang memiliki kapal pribadi. Hasil tangkapan di tahun 2022 mencapai 3.318,4 ton dengan nilai produksi ikan sebesar Rp 88,17 M,yang didominasi ikan tuna, tongkol dan cakalang. Namun kondisi cuaca dan musim ikan akan berpengaruh pada hasil tangkapan.

 

 

 

Selanjutnya para mahasiswa mengelilingi pelabuhan Sadeng dan mengenali jenis kapal yang digunakan nelayan. Ada tiga jenis kapal, pertama, Perahu Motor Tempel/PMT atau Jukung dengan ciri khas ada sayap di kiri kanan perahu. Jukung adalah perahu kecil bermuatan 1-2 oranguntuk melaut satu hari. Kedua, Sekocidengan lima Anak Buah Kapal (ABK)dengan jarak minimal 3 mil dari pantai dan biasanya melaut 5-7 hari. Ketiga, Kapal Motor atau Slerek dengan 25-33 ABKdengan jarak minimal 12 mil dari pantai dan mampu melaut sampai empat belas hari. Selain kapal nelayan, di pelabuhan Sadeng ada kapal milik Polisi Air dengan jumlah personil 25 orang dan perahu Search and Rescue (SAR) yang siap digunakan untuk patroli keamanan dan merespon ketika terjadi pelanggaran keamanan maupun kecelakaan lautSelain mengenal perahu, para mahasiswa mengamati instalasi breakwater, mercu suar dan instalasi cuaca BMKG untuk menyediakan informasi cuaca kepada nelayan menjelang melaut.

 

 

Pengalaman para mahasiswa semakin lengkap ketika mereka masuk ke perahu sekoci dan berdialog dengan beberapa nelayan untuk mengenal lebih dalam kehidupan seorang nelayan di Sadeng. Kelompok satu berdialog dengan Cimengnakhoda perahu Sekoci yang mengungkap bagaimana mengemudikan perahu, membaca arus laut dan bisa memperbaiki mesin perahu. Kelompok dua berinteraksi dengan Mujito, seorang Anak Buah Kapal (ABK) tentang suka duka melaut yang hasilnya sangat bergantung pada kondisi cuaca dan musim ikan. Kelompok tiga bertukar pikiran dengan Ristini tentang bagaimana mengolah ikan menjadi produk turunan sesuai dengan jenis ikan yang cocok seperti menjadi abon, bakso dan produk lainnya. Ketiganya merupakan penduduk setempat yang hidup dengan dan dari laut. Ternyata sebagian mahasiwa mengaku baru pertama kali naik perahu dan merasa mual ketika perahu diayun-ayun ombak. Namun demikian mereka menunjukkan antusiasme berdialog langsung dengan mereka di atas kapal-kapal yang bersandar.

Salah seorang mahasiswa, Andre, mahasiswa asal Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, mengatakan, ”Saya menemukan hal-hal baru berkaitan dengan nelayan, seperti cara nelayan berlayar di lautmodal yang dibutuhkan sebelum melaut, jenis kapal dan peralatan untuk menangkap ikan dan distribusi ikan sampai ke konsumen. Saya menyadari nelayan bukan pekerjaan mudah karena harus bertaruh nyawa. Saya sangat respek pada nelayan atas semangat, kerja keras dan tangguh menghadapi tantangan.”

 

 

Benarlah bahwa eksposur ini menjadi pengetahuan baru dan pengalaman yang menarik untuk mahasiswa dalam menangkap ilmu tentang kelautan dan problematika yang dihadapi nelayan. Lautdengan segala potensinya menjadi masa depan bangsasiapkah anak muda sebagai generasi penerus mengelola secara bertanggung jawab dan menjaga kelestariannya? ***

 


  Bagikan artikel ini

Berita Web

 2024 (18)
 2023 (38)
 2022 (41)
 2021 (42)
 2020 (49)
 2019 (37)
 2018 (44)
 2017 (48)
 2016 (53)
 2015 (36)
 2014 (47)
 2013 (41)
 2012 (17)
 2011 (15)
 2010 (31)
 2009 (56)
 2008 (32)

Total: 645

Kategori

Semua  

Youtube Channel

Lebih baik diam dari pada Berbicara Tetapi tidak ada Yang Di pentingkan Dalam Bicaranya


-->

Official Facebook