PELAKSANAAN UU DESA NO 6 TAHUN 2014:
Menuju Desa yang Berdaulat, Berdikari
dan Berkepribadian Pancasila
Setelah melalui perjuangan panjang yang melelahkan serta hiruk pikuk demonstrasi yang memenuhi ruang-ruang publik ditambah ancaman boikot terhadap pelaksanaan program-program strategis pemerintahan, akhirnya pemerintah dan DPR RI mengabulkan tuntutan para kades dan perangkat desa dengan mengesahkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Selanjutnya undang-undang ini disebut UU Desa, menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang tidak memuaskan para Kepala Desa dan aparatur desa.
Sabtu, 5 Juli 2014, Community Development Bethesda bekerja sama dengan Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen Indonesia (JKLPK), YAKKUM, Forum LPK Jateng-DIY, Universitas Kristen Duta Wacana dan YEU menyelenggarakan sarasehan bertema: “Pelaksanaan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 menuju desa yang berdaulat, berdikari dan berkepribadian Pancasila” dengan narasumber Prof. Dr. Wuryadi selaku Dewan Pendidikan DIY dan Krisdyatmiko, Direktur IRE DIY (Institute for Research and Empowerment) dan juga Dosen PSDK Fisipol UGM. Stube-HEMAT Yogyakarta mengutus Sofiya Atalia dan Sarloce Apang menghadiri sarasehan untuk mencermati dan bisa menyikapi UU Desa yang akan diimplementasikan di 72.944 desa di Indonesia.
Acara dibuka dengan menyanyi lagu ‘Indonesia Raya’ dan sambutan perwakilan JKLPK. Sri Bayu Selaadji (CD Bethesda) selaku moderator memandu acara yang diisi pemaparan dari Prof. Dr. Wuryadi yang membahas pasal 3 UU Nomor 6 tahun 2014 mengenai peraturan desa berasaskan: rekognisi, subsidiaritas, keberagamaan, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan keberlanjutan. Kedudukan desa menguat sebagai bagian dari NKRI dan pengakuan kewenangan desa berdasarkan: asal-usul, skala lokal, dan pelimpahan. UU Desa ini muncul karena beragamnya pengenalan kita tentang desa. Seolah-olah UU Desa ini menyatakan bahwa desa merupakan tataran paling dasar dalam struktur kepemerintahan padahal di bawah desa masih ada pedukuhan. Momen pembangunan karakter bangsa kita sudah berhenti pada tahun 70-an, idealnya harus terjadi secara berkelanjutan.
Krisdyatmiko memaparkan lima manfaat UU Desa: pertama, membangun kemandirian desa: jaminan sumberdaya keuangan dari APBN untuk penyelenggaraan pembangunan serta revitalisasi penataan aset desa. Kedua, mengatasi apatisme warga: memperkuat partisipasi dalam kebijakan dan penyelenggaraan desa. Ketiga, memperkuat pilar demokrasi desa: check and balances system pemerintahan dan pembangunan desa. Keempat, memperbaiki pelayanan publik: penyelenggaraan pemerintahan desa untuk kebutuhan warga. Kelima, merevitalisasi modal sosial desa: untuk pemberdayaan lokal (nilai, mekanisme dan institusi sosial ekonomi warga).
Disahkannya UU Desa ini patut disambut gembira karena UU ini mencantumkan kebijakan-kebijakan progresif dan strategis bagi kemajuan dan perkembangan desa, menghargai eksistensi desa dan peranan aparatur desa, karena desa memiliki kedudukan serta peranan penting dalam sistem ketatanegaraan kita. Disamping itu, UU Desa juga menunjukkan ketegasan dengan adanya pemberian sanksi kepada kepala desa yang tidak menjalankan kewajibannya. Sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Ini tentu positif untuk mendorong kinerja dan disiplin pemerintah desa. Semoga impian atas desa yang berdaulat, berdikari dan berkepribadian Pancasila dapat diwujudkan bersama. (SAY)