Iringan gamelan mengalun merdu menyambut kedatangan siswa-siswi kelas IX SMP Tirtamarta BPK Penabur Pondok Indah Jakarta di sanggar “Omah Cangkem Mataraman” di Kawasan Bangunjiwo, Sewon, Bantul. Lima belas peserta yang terdiri dari dua belas siswa, dua guru dan satu pendamping dari Stube-HEMAT Yogyakarta terpesona dengan sambutan Pardiman Djoyonegoro, seorang praktisi pendidikan, seni dan budaya sekaligus pemilik sanggar, dan beberapa aktivisnya yang mengenakan pakaian tradisional Jawa. Aneka sajian jajan pasar yang tersedia, kawasan sanggar yang teduh, semilir angin dan panorama lembah dengan hamparan sawah dan padi kecoklatan melengkapi suasana sanggar pagi itu. Mengapa ke sanggar ‘Omah Cangkem Mataraman’?
Pardiman memaparkan arti nama ini, Omah adalah Rumah, Cangkem adalah Mulut dan Mataraman adalah kawasan budaya Mataram. Jadi, Omah Cangkem Mataraman artinya rumah atau tempat untuk menghasilkan suara, bukan sembarang suara tetapi suara-suara kebenaran, harmoni dan ungkapan kecintaan terhadap budaya, khususnya budaya Jawa. Sunggun indah bukan?
“Sanggar ini membangun komunikasi generasi dengan warisan budaya leluhur, salah satunya gamelan, bermain janur, dolanan anak, kentongan, tarian, nembang, unggah-ungguh, dll. Kita tahu bahwa bangsa ini kaya kesenian tradisional, salah satunya gamelan, yang begitu terkenal di level internasional, tapi ironisnya gamelan belum mendunia di dada anak negeri sendiri. Hal ini sangat disayangkan karena keberlangsungan sebuah bangsa tergantung dari generasi dan budayanya. Padahal sejarah telah mencatat bangsa ini termasyhur di dunia internasional karena produk kebudayaannya. Jadi, perlu upaya berkelanjutan agar generasi muda ‘melek’ budaya dan paham potensi seni budaya tanah airnya”, ungkap Pardiman.
Di sanggar ini, peserta mengawali belajar irama hidup dengan merasakan detak jantung. Peserta duduk bersila dan menepuk tangan sesuai irama dan beraturan. Dalam setiap birama, peserta bergiiran mengucapkan satu suku kata secara bebas. Ternyata tidak setiap peserta lancar mengucapkan satu suku kata secara spontan. Berikutnya peserta memperkenalkan diri berkata-kata melodi secara bebas tapi sesuai ‘beat-beat’ yang dipelajari sebelumnya. Hal sama terjadi, peserta nampak ragu-ragu untuk bersuara. Pardiman membesarkan hati para siswa bahwa ini proses belajar menyeimbangkan otak kiri dan kanan dan siswa perlu tekun mempelajari irama dan mengungkapkan kata-kata secara spontan. Pembelajaran berlanjut mengenal satu perangkat gamelan tradisional Jawa. Beberapa siswa memainkan saron, demung, bonang dan gong. Mereka antusias memainkan istrumen-instrumen yang belum pernah mereka jumpai sebelumnya secara langsung. Peserta juga memainkan kentongan dengan beragam ukuran dan dipukul dengan irama tertentu secara harmonis hingga menjadi sebuah komposisi instrumental. Hal ini membutuhkan usaha keras, karena peserta harus memukul kentongan dalam irama konstan sekaligus menyimak suara kentongan peserta lainnya supaya terwujud volume suara yang seimbang.
Benar adanya bahwa manusia harus menghayati kehidupan dirinya, tidak saja dirinya sendiri tetapi juga memikirkan orang lain. Pembelajaran di “Omah Cangkem Mataraman” yangmerupakan rangkaian studi sosial memang singkat, namun peserta menemukan semangat untuk membiasakan keseimbangan otak kiri dan otak kanan, menghayati setiap detak jantung sebagai bagian dari irama kehidupan. (TRU).