Oleh Kresensia Risna Efrieno
Indonesia adalah negara yang sangat luas dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa. Namun, apa yang terjadi jika banyak diantara mereka yang menderita, melarat bahkan mati karena kelaparan, kemiskinan dan menerima ketidakadilan? Isu-isu ketidakadilan dan kekerasan terjadi dimana-mana, pemerkosaaan, pembunuhan, bahkan perdagangan orang berkait tenaga kerja Indonesia. Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Ini yang diungkap dalam diskusi Stube HEMAT Yogyakarta tentang apa yang terjadi dengan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Sebuah dialog daring dari program Perdamaian dan Keadilan (Sabtu, 25/09/2021) menghadirkan Erwiana Sulistyaningsih, pekerja migran yang mengalami kekerasan oleh majikan di Hongkong. Dua puluhan peserta mahasiswa mendalami realita human trafficking dan silang sengkarut yang terjadi di dalamnya, sekaligus menumbuhkan kewaspadaan atas masalah tersebut.
Dalam diskusi Erwiana mengungkapkan beberapa hal yang melatarbelakangi mengapa orang Indonesia ke luar negeri bekerja sebagai buruh, padahal Indonesia sendiri merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan potensi lainnya yang belum dikelola. Orang Indonesia cenderung menjadi pihak yang mengonsumsi dibandingkan memproduksi yang membuat ketergantungan dan memicu krisis. Kemiskinan, keterbatasan pendidikan dan pengangguran menjadi salah satu dorongan pilihan bekerja ke luar negeri sebagai buruh, selain ada kesempatan bekerja di luar negeri meskipun gaji rendah. Di sisi lain, negara membuka peluang karena menambah ‘income’ dengan semakin meningkatnya jumlah pekerja migran.
Dari sejarah migrasi penduduk, ada perubahan mindset, sebelum 1980 pengiriman tenaga kerja adalah pekerja profesional ke Eropa dan Timur Tengah, mayoritas laki-laki dan tidak ada aturan khusus. Setelah 1980an tenaga kerja dikirim ke Timur Tengah dan Asia, mayoritas perempuan sebagai asisten rumah tangga, kuli pabrik, perkebunan, dan lainnya. Selanjutnya muncullah beragam aturan berkait pekerja migran, dari perekrutan tenaga kerja melalui perusahaan penyedia tenaga kerja, beragam persyaratan dan bahkan ada penerimaan negara dari kurs uang kiriman tenaga kerja di luar negeri. Dari data dari BP2MI, Agustus 2021, ada 5.222 penempatan pekerja migran Indonesia yang terdiri 71% bekerja di sektor informal dan 29% bekerja di sektor formal. Dari latar belakang pendidikan, lulusan SD, SMP, SMA mendominasi dibanding diploma dan perguruan tinggi. Ini tantangan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja untuk bekerja di sektor formal.
Kesulitan-kesulitan tenaga kerja sudah terjadi sejak awal perekrutan, proses pelatihan sebelum mereka dikirim ke luar negeri, bahkan sesampai di luar negeri pun belum tentu mendapat keadaan yang baik atau gaji tinggi seperti yang dipromosikan di awal. Erwiana sendiri memilih menjadi pekerja migran karena didorong keadaan desa yang belum maju, keterbatasan akses untuk meningkatkan kesejahteraan. Ia mendaftar di perusahaan tenaga kerja dan mengikuti pembekalan dan akhirnya dikirim ke Hongkong. Namun, ia mendapat perlakuan yang tidak adil oleh majikannya di Hongkong, bahkan beragam aniaya dan siksaan ia alami. Akses untuk berkomunikasi dengan perusahaan dan tetangga di sekitar pun ditutup sehingga ia tidak bisa melakukan pembelaan dan kondisinya semakin memburuk. Majikan pun akan lari dari tanggung jawab dengan mengirimnya pulang ke Indonesia secara diam-diam. Sesampainya di Indonesia ia mendapat bantuan dari sesama pekerja migran dan memviralkan dan menjadi kasus besar di Hongkong. Proses pengadilan berjalan dan majikan pun dihukum dan Erwiana ikut dalam perjuangan pekerja migran. Memilih kerja di luar negeri itu bukan hal yang salah tetapi bukan hal yang mudah. Ketika seseorang ingin bekerja ke luar negeri, ia harus memiliki bekal lengkap seperti penguasaan bahasa untuk komunikasi, keterampilan diri untuk bekerja sesuai bidangnya dan pengetahuan yang berkaitan dengan aturan kerja di luar negeri, sehingga kasus human trafficking bisa dihindari.
Anak muda Indonesia, temukan potensi diri, kombinasikan dengan sumber daya alam dan peluang yang ada di daerah, sehingga tidak ada lagi pengangguran namun sebaliknya produktivitas untuk menunjang kesejahteraan. ***