Aku ini hanya anak singkong…..masih ingatkah pembaca penggalan lagu yang berjudul ‘Singkong dan Keju’ yang diluncurkan Bill & Brod pada tahun 1986? Lirik-lirik lagunya menggelitik dengan gambaran disparitas antara singkong dan keju. Jelas dalam benak pendengar gap yang terjadi antara anak singkong sebagai gambaran kesederhanaan dan anak keju sebagai gambaran golongan atas yang serba glamour dengan mengejar gengsi semata. Dalam kesimpulan akhir lagu tersebut dinyatakan bahwa antara singkong dan keju merupakan sesuatu yang tidak sama levelnya, sehingga secara tidak sengaja lagu ini menanamkan ketidakbanggaan atas singkong atau juga disebut ketela yang dalam bahasa latinnya adalah Manihot esculenta atau Manihot utillissima.
Gambaran di atas menjadi jungkir balik, tatkala kita berkunjung ke gerai ketela keju D-9 di Kampung Ledok-Ngaglik, Salatiga. Dengan desain modern, kafe ketela keju D-9 ini tidak pernah sepi dikunjungi para konsumen yang ingin menikmati lezatnya olahan singkong seperti, singkong keju goreng, cemplon, combro, klenyem, pastel, dan aneka olahan makanan lain berbasis ketela. Pengunjungpun bisa merasakan kenyang meski tanpa nasi sebagaimana dikonsumsi sehari-hari.
Bersama para perempuan RT 59, yang menyukai tantangan, saya menjelajah kampung singkong dimana ketela keju D-9 diproduksi. Petunjuk arah yang berada di sudut pertigaan menggambarkan bahwa kampung ini menggeliat dengan produksi singkong, ada arah menuju brownies ‘telo’, nugget singkong, singkong kriwil, gethuk, dan semesta (olahan singkong). Rumah produksi berada sekitar 300 meter dari kafe yang bisa ditempuh dengan jalan kaki. Sebuah rumah besar tempat aktivitas para karyawan memulai produksi, dari merendam, memotong, mengupas, mencuci, mensortir, menggoreng dan membuat berbagai olahan singkong. Enam setengah ton singkong setiap hari menjadi bahan baku kafe ketela keju D-9. Bukan sebuah bisnis singkong main-main, tetapi bisa lebih dikatakan menjadi gurita bisnis singkong, dengan diawali seorang Hardadi berjualan dengan gerobak gorengan singkongnya di lapangan Pancasila Salatiga tahun 2009, yang saat ini mampu merekrut 120an karyawan dengan upah layak, bahkan banyak tenaga perempuan direkrut di tempat ini. Anak singkong itu sudah menjadi raja di Salatiga bahkan gaung bisnisnya sudah membuat Kick Andi dan Dedy Corbuzier mengundangnya ke Jakarta untuk menceritakan usaha persingkongan tersebut.
Kafe singkong keju D-9 tidak hanya menjual olahan singkong, namun juga menawarkan wisata edukasi bagaimana olahan tersebut diproses, sekaligus praktek membuatnya. Sebuah aula dengan luas cukup memadai di atas kafe, menampung kami semua untuk mendengarkan sejarah D-9 ini dirintis. Hal yang paling menarik adalah nama D-9 yang cukup menjual saat ini merupakan nama bilik penjara dimana Hardadi pernah beberapa bulan menghuninya karena tersandung narkoba, yang menjadi sebuah titik balik perubahan hidup yang luar biasa. Pertobatan, kerja keras, kesungguhan dan kolaborasi dengan dinas-dinas setempat seperti dinas Perindustrian dan UMKM, dinas pariwisata, kementerian pertanian serta pihak-pihak lain membuat usaha ini berkembang pesat.
Bangga dengan potensi lokal menjadi langkah awal dalam mengembangkan segala sesuatu. Silahkan temukan potensi lokal daerah masing-masing dan jadilah raja, seperti anak singkong yang saat ini menjadi raja. ***