Training Lintas Iman:
Perjuangkan Hakmu!
Sebagian pemeluk agama mengalami kekerasan dalam menjalankan ibadahnya. Hal ini terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun. Beberapa pihak bersemangat memberikan advokasi dan pendampingan untuk memperjuangkan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun, dalam banyak kasus, upaya ini tidak diimbangi dengan semangat korban untuk memperjuangkan haknya karena korban terkesan pasrah dan berserah diri pada keadaan yang terjadi.
Pembahasan tentang hak dan kebebasan berkeyakinan beragama telah dibahas dalam pelatihan lintas iman bertajuk “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia”. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) bekerjasama dengan Jaringan Mahasiswa Lintas Agama (Jarilima) dan SEMA Fakultas Dakwah dan komunikasi UIN Sunan Kalijaga.
Menurut Subkhi Ridho, fasilitator dari LSIP, para pembela hak beragama dan berkeyakinan telah menunjukkan sikap dengan memberi dukungan atas perjuangan ini yakni kebebasan beragama dan berkeyakinan yang harus didapatkan setiap orang.
Hal tersebut dikuatkan oleh Samsudin Nurseha, tokoh dari LBH Yogyakarta. Dalam paparannya, pihak LBH telah mendedikasikan program pendampingan demi sebuah penegakkan hak. Beberapa elemen masyarakat telah merasakan pendampingan dari LBH, termasuk korban tindak kekerasan beragama dan berkeyakinan.
Lalu siapakah yang dimaksud dengan korban? Korban adalah mereka yang mengalami tindak kekerasan berbau agama. Rumah ibadah mereka diserang dan dilempari batu. Bahkan tidak jarang mereka juga merasakan kekerasan fisik. Situasi menjadi tidak menentu ketika terjadi kekerasan.
Situasi yang tidak menentu itu semakin dipertegas ketika lembaga aparatur negara tidak menunjukkan niatnya dalam membela hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ironisnya, sebagian kalangan menuding telah terjadi praktik pembiaran. Seorang pengajar Fisipol UGM, M. Najib Azca, mengungkapkan bahwa penanganan yang dilakukan aparat terkesan lamban dan tebang pilih. Justru pihak korban diminta untuk menghentikan kegiatannya. Dalam keadaan seperti ini Subkhi Ridho mendorong pihak korban untuk bersatu. Tindakan kesewenang-wenangan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Korban harus melawan dan melaporkannya kepada aparat.
Bagi korban, khususnya gereja, pandangan Subkhi Ridho ini tentu menambah cakrawala berpikir baru dalam menyikapi kekerasan. Gereja cenderung mengajar warganya untuk berserah dan pasif dalam menyikapi kekerasan. Maafkan dan masalah akan selesai. Diam saja ketika saudaranya yang lain mengalami tindak kekerasan. Setiap orang beragama harus memiliki kesadaran tentang hak legal dan hak moral. Hak legal berarti hak-hak yang dijamin oleh hukum sementara hak moral adalah hak yang diterima sesuai dengan ketentuan hati nurani.
Pelatihan itu berlangsung tiga hari, 29-31 Januari 2015 di Wisma Omah Jawi, Kaliurang, Yogyakarta. Tema-tema tentang HAM, Advokasi, dan toleransi kaum muda menjadi topik bahasan. Peserta yang hadir diantaranya adalah mahasiswa UIN, UMY, Aliran kepercayaan Sapto Darmo, Rausan Fiqr, SMI, Jarilima, FIPB UI, dan LSAF. Stube-HEMAT mengutus dua orang yakni Vicky Tri Samekto dan Yohanes Dian Alpasa atas rekomendasi Social Movement Institute.
Beberapa rencana follow-up telah dilakukan. Salah satu yang telah dilakukan adalah Aktifis LSAF dan Stube-HEMAT Yogyakarta mengunjungi dan bersilaturahmi dengan Wakil Ketua FKUB Gunung Kidul, Pdt. Christiono Riyadi S.Th yang juga Pendeta Jemaat pada GKJ Kemadang, Gunung Kidul. Follow-up ini dilakukan pada Minggu, 1 Februari 2015. Mari kita sadar akan hak-hak yang perlu diperjuangkan. (YDA)