Saya Ardiani Gulo, mahasiswa STIKES Senior, Medan semester enam. Awalnya saya berpikir bahwa menjadi seorang mahasiswa itu sulit karena memiliki tugas dan tanggung jawab besar dan hanya fokus pada jurusan yang dipilih. Setelah menjadi mahasiswa, ternyata berbeda dengan apa yang saya pikirkan, saya merasa senang dan merasakan keseruan. Karena kampus saya termasuk kampus merdeka, ada beragam program yang bisa diikuti oleh mahasiswa, salah satunya yaitu program Kampus Mengajar.
Dengan memberanikan diri, saya mencoba mendaftar menjadi peserta Kampus Mengajar dengan mengikuti berbagai seleksi yang menjaring hanya 16 mahasiswa saja. Meskipun tidak mudah, akhirnya saya terpilih dari 30 mahasiswa yang mendaftar di kampus saya. Secara nasional ada 20 ribu lebih mahasiswa terpilih dari 40 ribu lebih mahasiswa pendaftar untuk angkatan 5 Kampus Mengajar. Bagi saya Kampus Mengajar adalah program perjuangan pendidikan yang membuka akses bagi mereka yang mengalami keterbatasan untuk mengetahui hal-hal hebat yang dimiliki bangsa ini.
Saya dan tiga mahasiswa lainnya bertugas di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Taman Pendidikan Islam (TPI) Medan. Kami berasal dari universitas dan jurusan yang berbeda, saya dari kebidanan. Saya sempat ragu dan takut ketika ditempatkan di sekolah itu karena siswa, guru dan pengurus sekolah menganut agama Islam, tidak ada agama lain di dalamnya. Bahkan saat observasi ke sekolah, saya membaca sebuah spanduk yang berisi aturan bahwa setiap orang yang berkunjung harus mengenakan pakaian muslim, sementara saya tidak. Saat berdialog dengan kepala sekolah dan ustadz, mereka menyampaikan bahwa saya harus mengenakan pakaian muslim di dalam sekolah. Supaya tidak menjadi batu sandungan, saya tidak keberatan untuk mengenakan pakaian jilbab, toh tidak mengubah iman kepercayaan saya.
Di sekolah tersebut kami menerapkan program dari Kampus Mengajar, yaitu literasi dan numerasi. Literasi adalah kemampuan bernalar menggunakan bahasa dimana bukan hanya kemampuan membaca namun kemampuan menganalisis suatu bacaan dan kemampuan memahami konsep dibalik tulisan, dan numerasi merupakan kemampuan menganalisis menggunakan angka-angka. Program ini menjawab realita adanya sekolah yang ketinggalan atas kemampuan ini dan rendahnya minat baca siswa-siswa sekolah.
Ada beragam metode pembelajaran yang kami lakukan, seperti membaca selama 15 menit kemudian siswa menceritakan ulang apa yang telah dibaca. Ada beberapa siswa sulit diatur maupun sulit mengikuti pembelajaran, kami menggunakan strategi pembelajaran dengan games, supaya suasana tidak canggung. Seiring waktu kami mampu mengatasi tantangan ini bahkan semakin akrab dengan mereka dan ada peningkatan minat belajar siswa. Selain itu, kami juga menemukan bahwa sebagian siswa merupakan keluarga dengan keterbatasan ekonomi, tapi secara umum mereka pandai, apalagi dalam keagamaan. Perlu diakui perbedaan cara mengajar guru-guru setempat dengan metode yang kami bawakan. Kami mengajak belajar, bermain, dan bernyanyi bahkan menonton film bersama sebagai wujud literasi digital. Saya bersyukur bisa bertemu dan berdialog dengan anak didik yang berbeda latar belakang selain mengajar tentang literasi dan numerasi.
Dari pengalaman ini saya teringat dengan materi Stube HEMAT Yogyakarta yang membekali saya memiliki bekal keberanian untuk keluar dari zona nyaman dan berkontribusi untuk dunia luar kampus, bagaimana berkomunikasi di depan kelas, kontak mata, membangun kepercayaan diri dan keberanian bersosialisasi dengan orang-orang yang berbeda latar belakang daerah, suku dan agama. Saya sangat bersyukur, meskipun kuliah di kebidanan, tidak menutup kesempatan bagi saya menjadi seorang tenaga kesehatan sekaligus pendidik. Untuk teman-teman di mana pun berada, jangan pernah takut untuk mencoba dan lakukan hal-hal baik. Semoga hal ini menjadi berkat bagi sesama. ***