Tingkatkan Kedisiplinan Prokes Pengunjung

pada hari Kamis, 24 Desember 2020
oleh Wilton P.D. Ama

 

(Alam dan Lingkungan di Kawasan Wisata Goa Gong, Pacitan)

 

Goa Gong merupakan kawasan wisata lindung yang diakui UNESCO sejak 2015. Setiap kawasan lindung pasti menerapkan prosedur pentingnya menjaga kebersihan alam dan lingkungannya. Akan tetapi semua itu kembali pada kesadaran setiap orang untuk melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Etika dalam menjaga kawasan lindung agar tetap nyaman dan bersih penting diterapkan. Memasang tulisan pada papan atau baliho dan menyediakan tempat penampungan sampah merupakan salah satu cara sederhana yang dapat dilakukan. Ditempatkan pada beberapa titik yang mudah dilihat setiap pengunjung. Hal ini seperti yang telah dilakukan di kawasan wisata Goa Gong, Pacitan. Kebersihan merupakan salah satu indikator kesehatan yang penting diterapkan. Hal ini sejalan dengan workshop program Health Problem yang diadakan Stube-HEMAT Yogyakarta yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya kebersihan lingkungan dan menjaga pola hidup sehat.

 

 

 

 

Lingkungan yang bersih akan menstimulasi alam yang indah. Selain lingkungan yang bersih, tumbuhnya beragam jenis tanaman dan pohon akan memberi dampak positif terhadap alam dan lingkungan sekitarnya. Keindahan alam yang hijau akan menstimulasi energi positif bagi setiap orang, khususnya pengunjung yang datang sebagai wisatawan di Goa Gong. Kondisi geografis dan alam yang berbukit dan ditumbuhi beragam jenis tumbuhan menambah asri kawasan ini.

 

 

Dalam masa pandemi Covid-19, salah satu protokol kesehatan yang diterapkan oleh petugas wisata Goa Gong dengan menyediakan sarung tangan bagi setiap pengunjung yang datang, selain cuci tangan dan cek temperatur tubuh. Akan tetapi, jaga jarak antara pengunjung masih belum dapat ditegakkan secara disiplin, meskipun beberapa kali petugas mengingatkannya. Hal ini terjadi karena minimnya kesadaran pengunjung, bahkan di antara mereka bersenda gurau dan menyanyi tanpa mengenakan masker. Hal ini patut mendapat perhatian karena akan menjadi masalah kesehatan yang memberi dampak negatif bagi masyarakat banyak.

 

 

 

Kesadaran diri dan peka terhadap situasi alam dan lingkungan adalah perihal yang mungkin sulit diterapkan bagi setiap orang. Berekreasi dan kunjungan kenali alam memberi kesempatan manusia belajar bahwa lingkungan yang bersih akan memberi energi positif dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Alam tidak dapat bicara seperti layaknya manusia, akan tetapi ia dapat menunjukkan keindahannya sehingga manusia dapat menyadari betapa pentingnya alam dan lingkungan untuk kehidupan. ***


  Bagikan artikel ini

Saling Menopang Ekonomi Selama Pandemi

pada hari Rabu, 23 Desember 2020
oleh Thomas Yulianto

Tidak dapat dipungkiri hampir satu tahun pandemi Covid-19 ini berlangsung di Indonesia. Bahkan di bulan Desember belum ada penurunan angka pasien Covid-19, justru sebaliknya angka menunjukan peningkatan. Kesempatan mengunjungsi desa wisata Goa Gong dan pantai Klayar di daerah Pacitan, Jawa Timur di saat pandemi, memberi kesempatan penulis untuk mengamati bagaimana masyarakat menyikapinya.

 

Goa Gong dan Pantai Klayar termasuk tempat wisata yang diakui UNESCO sejak tahun 2015, sehingga animo pengunjungnya termasuk tinggi. Sejak pandemi merebak, tempat-tempat wisata ditutup sehingga ekonomi para pelaku usaha sekitar kawasan wisata turun drastis, mulai dari retribusi masuk lokasi, parkir, para pedagang, pemandu wisata sampai para pengusaha toilet. Salah satu  pedagang akik di kawasan Goa Gong bercerita bahwa awalnya pendapatan mereka terhitung cukup untuk makan, tetapi saat pandemi pendapatan mereka terjun bebas, bahkan tanpa hasil. Namun tidak ada pilihan lain selain menunggu wisatawan datang lagi dan membeli barang dagangan mereka.

 

Kawasan Pantai Klayar menyuguhkan keindahan pantainya. Banyak masyarakat sekitar bekerja sebagai ojek pantai yang mengangkut penumpang dari pinggir pantai sampai pintu keluar yang cukup jauh dan menanjak. Saat pandemi ini lebih banyak tukang ojek pantai dibandingkan dengan wisatawan yang datang. Jelas bahwa pendapatan mereka sangat berkurang. Seorang tukang ojek pantai bercerita bahwa dirinya belum mendapatkan penumpang satu pun Satu hal yang perlu diacungi jempol yakni mereka tidak menyerah dan yakin bahwa rezeki sudah ada yang mengatur. Sebenarnya bukan hanya mereka yang berada di kawasan pantai ataupun goa yang terdampak pandemi dalam hal ekonomi. Banyak orang yang terdampak secara ekonomi akibat pandemi karena terkena pengurangan karyawan di tempat kerja, tidak memiliki pekerjaan tetap bahkan sampai kepada petani dengan turunnya daya beli masyarakat.

Dengan observasi dan pengamatan lapangan, timbul sebuah refleksi sendiri bagi penulis bahwa perlu empati dan tindakan untuk saling menopang secara ekonomi dengan cara membeli barang dagangan atau menggunakan jasa yang ditawarkan. Mari kita berbagi dengan tidak hanya mempertimbangkan kebutuhan kita semata, namun saling menghidupi satu dengan lainnya, supaya tercapai keseimbangan. “Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan, dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan,” (2 Korintus 8: 15). ***


  Bagikan artikel ini

Menjaga Sesama di Kawasan Wisata

pada hari Selasa, 22 Desember 2020
oleh Trustha Rembaka
(Observasi Terapan Prosedur Kesehatan di Goa Gong, Pacitan)

 

 

Permasalahan kesehatan di Indonesia saat ini tidak lepas dari realita pandemi Covid 19 yang masih terjadi. Pandemi memukul berbagai bidang aktivitas masyarakat, dari pemerintahan, pendidikan, ekonomi, keagamaan, perdagangan termasuk pariwisata. Pemerintah dengan beragam kebijakan mengupayakan setiap bidang kembali berjalan dan masyarakat pun berusaha bangkit dengan memanfaatkan potensi yang mereka miliki. Sejak pertengahan tahun pemerintah mengkampanyekan new normal sebagai respon untuk menjalani hidup dengan pola baru, antara lain penerapan protokol kesehatan secara pribadi, di tempat kerja maupun di tempat umum demi menggerakkan kehidupan masyarakat itu sendiri.

 

 

 

 

 

Berdasar amatan yang dilakukan dalam eksposur atau kunjungan belajar sebagai bagian program Health Problems in Indonesia yang dilakukan di Goa Gong di kabupaten Pacitan, Jawa Timur (19/12/2020) diketahui bahwa goa yang terletak di desa Bomo, kecamatan Punung, kabupaten Pacitan merupakan bagian dari Global Geopark Network yang ditetapkan UNESCO tahun 2015. Kawasan Geopark sendiri membentang di tiga daerah, yaitu kabupaten Gunungkidul (DIY), kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) dan kabupaten Pacitan (Jawa Timur), dan khusus di Pacitan sendiri berupa goa, pantai dan situs arkeologi.

 

 

Mempertimbangkan bahwa goa termasuk dalam kawasan resiko tinggi paparan Covid-19, sehingga wisata di goa Gong menuntut kesiapan dan perlakukan khusus demi keselamatan dan keamanan pengunjung dan pengelola dari paparan Covid-19. Potensi paparan ini karena adanya kumpulan pengunjung dan sentuhan pada pagar dan batuan yang ada di jalur pengunjung dalam goa sehingga pengelola wisata mengupayakan penerapan secara serius protokol kesehatan dengan beberapa kebijakan baru seperti wajib menggunakan sarung tangan, didampingi oleh pemandu wisata, membatasi jumlah pengunjung per kelompok, mengatur jarak masuk per kelompok dan membatasi durasi kunjungan di dalam goa.

 

 

Selain kebijakan di atas pengelola kawasan wisata juga sudah melengkapi area wisata dengan: 1) memasang informasi penerapan protokol kesehatan di kawasan wisata berupa papan peringatan, spanduk dan poster di beberapa sudut kawasan; 2)  Menyiapkan tahapan pemeriksaan kesehatan dari penggunaan sarung tangan untuk pengunjung, mengecek suhu tubuh, penggunaan masker, dan mengatur jumlah anggota per kelompok; 3) Menyediakan fasilitas untuk menjaga kebersihan dan kesehatan, dari tempat cuci tangan dan ketersediaan air yang cukup bahkan hampir di setiap kios yang menjajakan cinderamata menyediakan fasilitas cuci tangan, tempat sampah sesuai jenis sampah dan pembersihan fasilitas secara rutin oleh pengelola; 4) Peran pemandu yang tidak lelah mengingatkan pengunjung untuk menjaga protokol kesehatan selain menjelaskan spot-spot dalam goa dan beragam cerita di dalamnya.

 

 

Temuan-temuan ini menunjukkan kesiapan secara serius oleh pengelola dan pihak-pihak yang terlibat di kawasan wisata Goa Gong dalam menerapkan protokol kesehatan. Hal ini seharusnya diimbangi oleh para pengunjung untuk berperilaku sehat selama kunjungan. Namun demikian pelaksanaan protokol kesehatan di kawasan Goa Gong ini menyisakan masalah baru yang harus dipikirkan secara serius oleh pengelola, yaitu limbah sarung tangan. Betapa tidak, karena dengan kehadiran lima ratus pengunjung per hari akan meninggalkan limbah seribu sarung tangan bekas per hari.

 

 

 

 

Harapannya dengan temuan-temuan ini membuka optimisme masyarakat untuk terus konsisten dalam menerapkan hidup baru berbasis pola hidup bersih dan sehat sehingga kesehatan masyarakat yang lebih baik dapat terwujud dan keberadaan Goa Gong sebagai anugerah Tuhan berupa warisan geologi yang sangat berharga dapat menghadirkan kesejahteraan untuk masyarakat.***


  Bagikan artikel ini

Perempuan Mandiri di Tengah Pandemi

pada hari Senin, 21 Desember 2020
oleh Putri Nirmala Valentina Laoli

Menyusuri Goa Gong di tengah pandemi, bukan hanya mengagumi keindahan stalaktit dan stalakmit, tirai batu yang menjadi marmer, kristal, dan sendang’ (sumber mata air), tetapi juga menghidupkan kembali geliat wisata sebagai mata pencaharian penduduk setempat. Dua puluh lima menit susur goa sambil menggali pergumulan hidup seorang ibu yang berprofesi sebagai tour guide lokal saat pariwisata sedang mati suri.

 

Persoalan pandemi Covid-19 di Indonesia telah mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung berbagai aktivitas masyarakat di berbagai bidang. Salah satu pengaruh yang sangat berdampak yaitu penutupan hampir seluruh sektor pariwisata yang selama ini menjadi sumber pendapatan masyarakat di wilayah tersebut. Demikian pula yang terjadi di tempat wisata Goa Gong di Desa Bomo, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Sebelum dilanda Covid-19, animo pengunjung cukup tinggi sehinga para pramuwisata memiliki kesempatan untuk memandu wisatawan. Dari sinilah mereka memperoleh pendapatan. Namun sejak Maret 2020, Goa Gong ditutup untuk kunjungan wisatawan, oleh karena itu masyarakat yang tadinya memiliki peran atau aktivitas ekonomi di sekitar wisata tersebut lantas tidak dapat bertahan.

 

 

Berdasarkan wawancara dengan salah seorang pemandu wisata, ada 26 orang pramuwisata dengan komposisi perempuan 16 orang dan 8 orang laki-laki. Ibu-ibu yang menjadi pramuwisata di Goa Gong bekerja untuk membantu kestabilan perekonomian keluarga dan mereka mendapat dukungan penuh dari keluarga sehingga bisa konsentrasi dan profesional saat bekerja memandu para wisatawan. Mereka juga melakukannya dengan senang dan semangat karena dapat berinteraksi dengan masyarakat yang berasal dari berbagai daerah bahkan luar negeri.

 

Pemerintah terus berupaya menerapkan solusi-solusi yang dapat menyeimbangkan berjalannya roda perekonomian masyarakat sekaligus dapat meminimalisir penyebaran Covid-19. Hingga diterapkannya model New Normal yang berpandangan bahwa dengan mematuhi protokol kesehatan, masyarakat dapat beraktivitas seperti sedia kala namun dengan batas-batas tertentu seperti kuota kerumunan serta penyediaan fasilitas untuk menjalankan protokol kesehatan. Akses ke tempat-tempat pariwisata mulai dibuka kembali dengan memperketat penerapan protokol kesehatan.

 

Faktanya, kebijakan New Normal tidak dapat serta merta mengembalikan tatanan kehidupan seperti semula. Namun membantu secara pelan memulihkan sektor-sektor yang tadinya sempat melemah meskipun membutuhkan waktu. Demikian juga dengan wisata Goa Gong yang sudah mulai dibuka sejak September 2020, meskipun sebatas untuk para pengunjung lokal. Jumlah pengunjung tergolong masih rendah sementara kesediaan tour guide masih sama sebelum Covid-19. Salah seorang ibu  pramuwisata mengatakan bahwa disaat sepi seperti ini dia harus cari kerja tambahan, dia bekerja di tempat pembuatan jamu. “Ya bagaimana lagi ya Mbak, yang penting keluarga sehat dan bisa makan, imbuhnya. Ini merupakan perwujudan perjuangan perempuan agar dapat bertahan hidup meski harus berhadapan dengan ganasnya penyebaran Covid-19. Hidup perempuan pekerja!***


  Bagikan artikel ini

Memperhatikan Ibu dan Bayi, Memperhatikan Kehidupan

pada hari Senin, 14 Desember 2020
oleh Kresensia Risna Efrieno

Pemetaan masalah Kesehatan di Indonesia

Masalah kesehatan masih menjadi keprihatinan di Indonesia, bahkan bisa dikatakan rentan, karena dari hal yang sepele bisa mengancam nyawa manusia jika tidak ditangani dengan baik, apalagi di daerah terpencil dan terbatas layanan kesehatannya. Beragam masalah kesehatan ini muncul dari beragam kondisi geografis Indonesia, termasuk kabupaten Manggarai, propinsi Nusa Tenggara Timur tempat saya tinggal.

 

Salah satu masalah yang menjadi perhatian saya adalah kematian ibu dan bayi. Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai tahun 2018 menyatakan bahwa salah satu masalah adalah kematian Ibu dan Bayi, serta gizi buruk. Beberapa kendala mengatasi masalah tersebut mencakup SDM tenaga kesehatan terbatas, kondisi geografis wilayah, budaya, distribusi tenaga kesehatan belum merata, pelaksanaan SOP di faskes tingkat pertama (FKTP) belum optimal, anggaran kesehatan dan terbatasnya alat kesehatan yang berkualitas. SDM bidang kesehatan terbatas mulai dari kuantitas, kualitas, jenis dan distribusi tenaga dokter umum, tenaga ahli gizi, apoteker, analisis kesehatan, dll. Keterbatasan ini menghambat pelayanan kesehatan bahkan tenaga kesehatan yang ada kewalahan karena menjalankan beberapa tugas bersamaan sehingga pekerjaan terbengkalai atau keterlambatan penanganan pasien.

Langkah apa yang harus dilakukan? Penanganan baik dimulai dengan memetakan faktor yang berkaitan dengan masalah tersebut, khususnya di Manggarai. Pertama, peningkatan SDM kesehatan melalui pendidikan dan pelatihan teknis dalam bidang kesehatan termasuk pemerataan tenaga kesehatan di Manggarai, terutama daerah yang terpencil dan sulit terjangkau demi ketersediaan layanan pertama untuk pasien terutama ibu hamil dan melahirkan.

Ini tidak mudah dan perlu intervensi pemerintah karena tidak setiap orang siap berada di daerah terpencil, ada usaha Pemerintah meningkatkan kesehatan melalui program Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan serta daerah Bermasalah Kesehatan, yang terdiri dari tenaga profesional dokter, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium medis, tenaga gizi dan tenaga kefarmasian. Tahun 2017 Manggarai mendapat dua puluh dua tenaga kesehatan dari Nusantara Sehat dan didistribusikan di 4 puskesmas: Wae Kajong, Reo, Bea Mese dan Iteng yang terdiri dari dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, apoteker, sanitarian dan tenaga gizi berdasar kebutuhan puskesmas (kupang.tribunnews.com/2017/09/07/22-tenaga-kesehatan-tim-nusantara-sehat-bertugas-di-kabupaten-manggarai). Lalu, mengapa kematian ibu dan bayi masih rentan terjadi? Faktor lain yang berkaitan erat adalah keluarga sebagai lingkaran pertama dari ibu dan calon bayi, yang mengkondisikan, mengupayakan keselamatan  dan keamaan dan menjamin ketersediaan kebutuhan ibu dan calon bayi dari saat mengandung, melahirkan dan pasca melahirkan. Namun kondisi keluarga itu sendiri sangat beragam, tingkat pendidikan dan kesadaran diri, bagaimana mencukupi kebutuhan hidup ditambah faktor budaya dan geografis. Di sinilah perlu edukasi kesehatan untuk keluarga, tidak saja ibu yang mengadung dan suaminya, tapi juga keluarga besar.

Gereja bisa dilibatkan dalam peningkatan kualitas kesehatan. Apakah gereja sudah memperhatikan dan terlibat dalam penanganan masalah kesehatan warga dan masyarakat? Gereja adalah wadah yang bertanggungjawab dalam pelayanan, perlu berperan dalam kesehatan misalnya bisa melalui kotbah tentang kesehatan berdasarkan ajaran agama dan Alkitab, sosialisasi tentang kesehatan karena ini juga sebagai upaya menjaga dan merawat diri sebagai makhluk Tuhan yang mulia dan berakal budi. Alternatif lain bisa berupa pemantauan kesehatan jemaat secara rutin dan usaha peningkatan gizi jemaat. Sehingga gereja tidak hanya ibadah saja tetapi lebih dari itu sebagai wujud cinta kasih utuh dari Gereja terhadap umatnya.

 

Masalah kesehatan menjadi tangung jawab bersama, pemerintah melalui bidang kesehatan, kesadaran individu yang bergerak di kesehatan, perilaku individu di keluarga dan masyarakat dan institusi lain yang memberi perhatian terhadap masalah sosial ini. Dari temuan pemasalahan kematian ibu dan bayi di sekitar saya tinggal membuat saya lebih sadar dan memperlengkapi diri dalam mewujudkan kesadaran kesehatan baik diri sendiri, keluarga maupun lingkungan tempat saya tinggal dan terus berpartisipasi untuk Manggarai yang lebih baik.***


  Bagikan artikel ini

RW 19 Nyutran: Kampung Tangguh Covid 19

pada hari Senin, 7 Desember 2020
oleh Trustha Rembaka

 

Terus melonjaknya kasus paparan Covid 19, menjadi sebuah keprihatinan tersendiri masyarakat Yogyakarta khususnya warga RW 19. Covid 19 bahkan sudah sampai di depan mata ada di sekitar masyarakat. Dengan menyadari bahwa penanganan melawan Covid 19 tidak bisa sepenuhnya bergantung pada tenaga kesehatan, tetapi masyarakat juga harus terlibat aktif dalam level pencegahan dan pemberian informasi sebagai langkah penanganan. Kesadaran warga dan semangat terus mencari informasi berkaitan Covid 19 bersambut baik dengan Stube HEMAT Yogyakarta melalui program Health Problems in Indonesia. Stube HEMAT menginisiasi dialog dan edukasi kepada masyarakat, sebagai kontribusi dalam pembangunan masyarakat khususnya bidang kesehatan berkaitan dengan pandemik Covid 19. Dialog secara virtual ini diikuti oleh pengurus RW dan anggota tim Satgas Covid kampung Nyutran RW 19 tentang Desa/Kampung Tangguh Covid 19 bersama Endro Sambodo dari Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD DIY pada hari Minggu (6/12/2020).

 

 

Dalam pembukaan Ariani Narwastujati, Direktur Eksekutif Stube HEMAT sekaligus moderator mengungkapkan bahwa topik ini dipilih untuk menjawab tantangan dan permasalahan yang terjadi sehari-hari dalam masyarakat mewujudkan kampung tangguh Covid 19. Ketua Satgas Covid RW 19, Didiet Raditya Hadi menyambut baik kegiatan ini dan berterima kasih kepada narasumber yang sudah meluangkan waktu dalam dialog virtual yang baru pertama kali dilakukan selama pandemi dan berharap pertemuan ini bermanfaat untuk masyarakat khususnya warga RW 19 untuk tahu hal-hal berkaitan kampung tangguh Covid 19.

 

Endro Sambodo dalam pemaparan materi mengingatkan pentingnya desa/kampung tangguh Covid 19 karena wabah pandemik di wilayah DIY terus meningkat. Ini membutuhkan peran serta masyarakat dari tingkat RT/RW untuk segera memberdayakan diri sehingga masyarakat sigap bertindak apabila wabah mulai masuk ke wilayahnya. Dengan kesigapan masyarakat setempat merespon wabah maka penanganan bisa dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga rantai penularan dapat diputus dan mencegah paparan lebih banyak. Berkaitan dengan Desa/kampung Tangguh Covid 19, Endro mengungkapkan langkah-langkah yang mesti dipenuhi, yaitu: 1) pengurus kampung memiliki sistem komunikasi warga melalui Whatsapp, sms atau aplikasi komunikasi lainnya. 2) peraturan yang harus dilaksanakan untuk keselamatan warga, terutama terkait berkumpulnya warga, acara-acara khusus, adanya pendatang atau pemudik, termasuk kesepakatan sanksi yang disetujui bersama. 3) membuat komunikasi yang cepat apabila terjadi insiden apa pun di wilayahnya. 4) Menunjuk warga atau meminta kesukarelaan warga menjadi penanggung jawab bidang yang dibutuhkan. 5) membentuk bidang komunikasi, kesehatan, operasi, logistik dan keamanan. Catatan penting lainnya adalah mencegah stigma sosial untuk melindungi orang yang terpapar Covid, bahwa terpapar Covid bukanlah aib.

 

 

Endar Hidayati, ketua RW 19 mengungkapkan “Dialog ini bagus sekali untuk membuka wasasan kami sebagai pengurus kampung Nyutran menjadi kampung tangguh Covid, adanya pengetahuan baru ini menjadi referensi kita untuk menyiapkan langkah-langkah tindak lanjut untuk lebih sigap dan sadar menghadapi Covid yang tidak tampak tapi sebenarnya ada.” Harapannya pengalaman dalam dialog edukasi ini menjadi nilai tambah bagi setiap peserta dan bekal baru dalam mewujudkan masyarakat yang tangguh dalam menghadapi pandemi Covid 19. Terus guyub rukun saklawase, Bravo RW 19.***




  Bagikan artikel ini

Anak Muda dan Masalah Psikososial

pada hari Minggu, 6 Desember 2020
oleh Putri N V. Laoli

 

 

Mental health dengan topik ‘Masalah Psikososial Orang Muda’ menjadi bagian pelatihan Health Problems in Indonesia yang diadakan Stube-HEMAT Yogyakarta melalui diskusi virtual pada 5 Desember 2020. Dua puluh peserta mahasiswa beragam latar belakang studi di Yogyakarta dan luar Yogyakarta seperti Sumba, Lampung, Nias, Flores, Bangka, Maluku, dan Cilacap, ini memperkaya diskusi yang mengundang Yosef Andre Beo sebagai narasumber. Andre sangat mengenal Stube HEMAT karena pernah aktif di lembaga ini ketika kuliah di Yogyakarta. Saat ini nara sumber sedang menyelesaikan Magister Keperawatan Jiwa di Universitas Brawijaya Malang.

 

Dalam pemaparannya, nara sumber mengungkapkan bahwa masalah-masalah psikososial dapat dilihat dalam wujud kecemasan, keputusasaan, ketidakberdayaan, merasa terbebani, kesepian, gangguan citra tubuh, dan mengeluh secara terus menerus. Di saat pandemi dengan imbauan physical distancing dan study from home menyebabkan seseorang tidak bisa beraktivitas seperti biasa, dan ini rentan untuk remaja maupun dewasa awal, karena secara psikososial mereka masih labil sehingga rentan memicu depresi dan ganggunan mental, seperti kejadian yang dilansir dari kompas.com 18/10/2020 bahwa seorang siswi SMA di Gowa, Sulawesi Selatan bunuh diri akibat depresi dengan banyaknya tugas-tugas daring dan sulitnya mengakses internet.

 

 

Lebih lanjut, perkembangan psikologis seseorang melalui fase (1) usia toddler/golden age (1-3 tahun), fase di mana seseorang belajar mandiri atau berperasaan malu dan ragu-ragu. Di masa ini orang tua dianjurkan untuk tidak terlalu membatasi ruang gerak serta kemandiriannya agar tidak berketergantungan. (2) usia pra sekolah (3-5 tahun), fase dimana rasa ingin tahu dan antusiasme mempelajari hal baru begitu dominan. Jika anak jarang mendapat stimulasi baik maka ia akan merasa bersalah dan gagal, karena di fase ini anak sedang membentuk konsep dirinya. (3) usia sekolah (6-12 tahun) anak belajar berinteraksi dengan teman-temannya maupun gurunya. Jika anak memiliki ruang berekspresi maka ia terampil secara sosial dan akademik untuk merasa percaya diri, namun sebaliknya jika gagal mengembangkan diri, mereka akan merasa inferior atau rendah diri dan tidak bisa melihat sisi baik diri mereka. (4) usia remaja (12-18 tahun) remaja dapat menunjukkan peran dan bergaul dengan mengadopsi nilai kelompok dan lingkungannya dan dapat mengambil keputusannya sendiri. Kejelasan identitas diperoleh apabila ada apresiasi dari orangtua atau lingkungan yang membantunya melalui proses pencarian identitas diri. Ketidakmampuan dalam mengatasi suatu konflik dapat menimbulkan kerancuan peran. (5) usia dewasa (18-40 tahun) ketika seseorang sudah memiliki komitmen dan selektif untuk menjalin suatu hubungan dengan orang lain, namun jika mengalami kegagalan maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam berinteraksi dengan orang, bahkan mengisolasikan diri.

 

Dalam diskusi interaktif ini beberapa peserta menceritakan ulang masa kecilnya dan merefleksikan adanya standar-standar sosial tertentu yang ia alami dan yang tentu berbeda dengan remaja di daerah lain. Standar-standar sosial ini sangat mempengaruhi proses tumbuh kembang mereka baik di dalam keluarga maupun di masyarakat, dan belum tentu mereka mampu bagaimana mengelola situasi stress atau perlakuan yang akan dihadapi di masa mendatang. Beberapa pengalaman yang terungkap antara lain masa kecil yang lebih dekat dengan Ibu dan cenderung suka memberontak, ada yang mengaku lebih nyaman untuk berinteraksi dengan teman laki-laki dibanding dengan teman perempuan, lebih nyaman ketika berpenampilan tomboy, menanggapi secara emosi atas tindakan bullying yang ia alami, ada juga kesaksian hampir mengalami kekerasan seksual dari orang terdekatnya yang membuatnya merasa rendah diri.

Andre mengatakan bahwa mereka yang telah berani menceritakan pengalaman-pengalaman ini membuktikan bahwa adanya keberanian menghadapi masa lalu, berdamai dengan diri sendiri maupun keadaan dan kemauan untuk memperbaiki diri. Inilah poin positif yang sangat luar biasa dimiliki oleh mereka. Beberapa strategi kunci dalam mengatasi masalah psikososial di atas ialah dengan refleksi diri, meningkatkan spiritual, membangun support sistem dan mendapat bantuan tenaga profesional. Sangat bermanfaat jika teman-teman mahasiswa yang sudah memahami hal ini membantu teman sebaya mengurai pengalaman-pengalaman masa lalunya dan membangun optimismenya ke depan.***


  Bagikan artikel ini

Berita Web

 2024 (18)
 2023 (38)
 2022 (41)
 2021 (42)
 2020 (49)
 2019 (37)
 2018 (44)
 2017 (48)
 2016 (53)
 2015 (36)
 2014 (47)
 2013 (41)
 2012 (17)
 2011 (15)
 2010 (31)
 2009 (56)
 2008 (32)

Total: 645

Kategori

Semua  

Youtube Channel

Lebih baik diam dari pada Berbicara Tetapi tidak ada Yang Di pentingkan Dalam Bicaranya


-->

Official Facebook