Perjumpaan saya dengan Stube-HEMAT berlanjut lagi di Yogyakarta setelah sekian lama vakum dari kegiatan di Stube-HEMAT Sumba. Saat ini saya mengikuti kegiatan Stube-HEMAT, tidak lagi di Sumba melainkan di Stube-HEMAT Yogyakarta. Saya Yustiwati Angu Bima, biasa dipanggil Yusti, berasal dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), seorang dari suku Sabu yang lahir dan besar di pulau Sumba termasuk bersekolah dari SD sampai menyelesaikan kuliah di pulau yang sama. Awalnya saya mengenal Stube-HEMAT Sumba saat kuliah Teologi Kependetaan di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kristen Sumba (STT GKS) di Lewa Sumba Timur, ketika itu dalam pelatihan kerajinan tangan dan pelatihan jurnalistik yang mana manfaat dari pelatihan-pelatihan Stube tersebut terus saya kembangkan dalam studi dan keseharian saya.
Saat ini saya kuliah Pascasarjana Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, dengan mayor studi Biblika dan minor studi Peace Building. Saat ini saya sedang menyelesaikan thesis dan sebuah penelitian pribadi di salah satu gereja di pulau Sumba terkait dengan teori generasi dan dampaknya terhadap peace-building pada kaum muda. Aktivitas lainnya adalah mentor full-time di asrama Fakultas Teologi UKDW dan penulis opini di buset-online.com, salah satu majalah online Indonesia di Australia. Dalam menjalani studi S2 ini saya terus mengasah kemampuan menulis, yang membuat saya berdaya saing dalam kualitas akademik dengan teman-teman lain yang meraih gelar sarjana dari kampus-kampus ternama. Selain dari beasiswa saya mendapatkan tambahan uang saku untuk menopang kebutuhan studi ini dengan bekerja dan salah satunya menjadi penulis.
Dalam pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta yang saya ikuti dari 6-8 Maret 2020 di Wisma Pojok Indah dengan tajuk “Bersama Merangkai Indonesia” saya mengklasifikasikan pelatihan ini sebagai kegiatan inter-religius karena menghadirkan peserta dan narasumber yang memiliki latar belakang daerah dan agama yang berbeda dan ini bersesuaian dengan studi peace building yang sedang saya dalami. Bahkan di salah satu sesi kegiatan yang berupa eksposur ke rumah ibadah, saya memilih Klenteng Poncowinatan untuk lebih mengenal penganut Konghucu di Klenteng Poncowinatan, selain rasa penasaran untuk mengunjunginya. Kenyataan yang terjadi di masa lalu diketahui bahwa peristiwa diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dan kepercayaan Konghucu tidak lepas dari sejarah Indonesia pada masa akhir Orde Baru. Namun sejak 1999 Konghucu diakui negara sebagai agama bukan lagi kepercayaan, maka sejak itu penganut Konghucu leluasa dalam beribadah.
Dalam konteks peace building, Klenteng Poncowinatan merupakan contoh yang baik untuk diteladani, selain tempat ibadah Konghucu, Budha dan Taois, Klenteng juga terbuka untuk semua umat agama untuk berdoa kepada Tuhan Allah atau Sang Pencipta maupun belajar tentang sejarah Klenteng dan penganut Konghucu. Saya juga menemukan pengetahuan baru bahwa Konghucu yang sangat kental dengan identitas Tionghoa juga mengalami akulturasi, seperti altar utamanya adalah untuk dewa Kongco Kwan Tie Koen, biasanya dewa altar utama setiap Klenteng berbeda-beda sesuai letak geografis Klenteng tersebut. Dewa Kongco Kwan Tie Koen sendiri adalah dewa atau penjaga Pantai Selatan, jadi penamaan dan pemaknaan terhadap dewa altar utama adalah upaya kontektualisasi teologi Konghucu ke dalam budaya Jawa. Selain itu, upacara hari-hari besar Konghucu sering dilaksanakan dalam konteks Jawa bahkan nama-nama Dewa atau Dewi di setiap altar ditulis menggunakan aksara Jawa. Jadi sebagai seorang teolog, saya menyimpulkan bahwa bukan hanya Hindu, Kristen dan Islam yang berhasil dalam akulturasi teologinya, Konghucu dan bahkan Buddha melakukan hal yang sama sebagai suatu upaya mendaratkan pengajaran agama ke dalam keberagaman di Indonesia.
Di akhir pelatihan, sebagai rangkaian internalisasi dan transfer pengetahuan, para peserta didorong untuk merancang aktivitas lanjutan berkaitan dengan Multikultur dan dialog antar agama yang dilakukan oleh peserta baik pribadi maupun kelompok. Saya dan beberapa teman mahasiswa dari Sumba Timur membangun komitmen bersama untuk merintis pertemuan anak muda lintas agama di Sumba Timur, khususnya Waingapu, sehingga anak muda di Waingapu dari berbagai latar belakang agama memiliki pengalaman bertemu bersama dan berdialog lintas iman tanpa adanya prasangka.
Pengalaman-pengalaman yang saya temukan membuat saya mengapresiasi kegiatan yang diadakan Stube-HEMAT Yogyakarta karena menyediakan ruang belajar untuk para mahasiswa dan mereka sangatlah beruntung telah mendapatkan pengetahuan dan pengalaman inter-religius sejak dini sebagai bagian dari peace building. Saya mendorong setiap mahasiswa yang telah terlibat di Stube-HEMAT untuk terus mengembangkan materi yang didapatkan menjadi tindakan etis kehidupan sehari-hari dan memperkuat komitmen melanjutkan kegiatan Stube-HEMAT sebagai respon keingintahuan dalam segala bidang, bukan saja kekayaan materi edukatif tetapi juga karakteristik narasumber dan performa personal dari para peserta. Salam Stube-HEMAT. (Yustiwati Angu Bima).