Di pelatihan ini saya mendapati bahwa Stube-HEMAT Yogyakarta memberi sumbangsih pada usaha perdamaian melalui pelatihan yang mengedepankan dialog disertai kunjungan ke tempat ibadah umat beragama, sebagai respon atas fenomena keberagaman saat ini yang menggaung di media sosial tanpa terjadi tatap muka sehingga seringkali memunculkan prasangka. Tidak dapat dipungkiri, melalui sharing pengalaman dari sahabat baru yang mengikuti pelatihan ini terungkap prasangka-prasangka yang ada sebelum pelatihan dan dialog terjadi, bahkan masih ada dendam dan trauma masa lalu, belum lagi, politik identitas marak terjadi beberapa tahun lalu. Sikap eksklusif, mengeneralisasi dan truth claim di masyarakat konservatif semakin menunjukkan eksistensinya di media sosial. Kelompok eksklusif sendiri merupakan kelompok yang mengklaim kebenaran hanya miliki mereka (truth claim) dan menolak keyakinan kelompok lain. Realitas tersebut tentu bisa dihilangkan dan disingkirkan melalui pertemuan dan dialog sebagaimana dilakukan oleh Stube-HEMAT Yogyakarta agar saling terbuka dan mengenal satu dengan yang lain. Selain itu, mari memupuk cinta melalui temu dan dialog. Saya mengapresiasi setinggi-tingginya kepada Stube-HEMAT Yogyakarta.
Stube menjadi sebuah ‘ekosistem’ yang dapat membantu kita tumbuh dan membentuk aktualisasi diri dengan baik. Jangan lupa untuk terus memiliki keinginan kuat untuk belajar banyak hal karena dengan mau belajar, kita dapat menemukan banyak kesempatan. Pilihlah ekosistem yang baik untuk tumbuh menjadi pribadi yang baik pula, lihat bagaimana orang-orang di dalamnya memberi feedback positif. Dari situ akan bertemu orang-orang yang ternyata punya kemiripan visi dan misi. Mereka tidak akan bilang ’wes to koe rasah neko-neko’ (Sudahlah, kamu tidak perlu macam-macam), tapi mengatakan ’Bagus, ayoo lanjut lagi’. Dari pemenang nobel atau award, apabila bertemu mereka, mereka seperti padi ‘berisi tapi tetap merunduk’. (Mutiara Srikandi).
Pengalaman-pengalaman yang saya temukan membuat saya mengapresiasi kegiatan yang diadakan Stube-HEMAT Yogyakarta karena menyediakan ruang belajar untuk para mahasiswa dan mereka sangatlah beruntung telah mendapatkan pengetahuan dan pengalaman inter-religius sejak dini sebagai bagian dari peace building. Saya mendorong setiap mahasiswa yang telah terlibat di Stube-HEMAT untuk terus mengembangkan materi yang didapatkan menjadi tindakan etis kehidupan sehari-hari dan memperkuat komitmen melanjutkan kegiatan Stube-HEMAT sebagai respon keingintahuan dalam segala bidang, bukan saja kekayaan materi edukatif tetapi juga karakteristik narasumber dan performa personal dari para peserta. Salam Stube-HEMAT. (Yustiwati Angu Bima).
Dari pelatihan ini saya merefleksikan bahwa dalam hidup sehari-hari sikap eksklusif tentang diri sendiri, suku maupun agama bisa muncul bukan secara tiba-tiba, tetapi akumulasi peristiwa-peristiwa sebelumnya dari pengalaman pribadi, lingkungan dan media. Pola pendidikan saat ini belum mampu mengakomodir dan menjadi sarana penyadaran dan penerimaan terhadap keberagaman. Media juga berperan besar dalam membentuk cara pandang masyarakat yang mudah ‘melahap’ informasi. Mahasiswa perlu ruang untuk berjumpa langsung dengan orang lain yang berbeda karena mahasiswa tidak bisa mendapat informasi dari media saja. Keberanian diri bertemu dan berdialog dalam perbedaan akan membongkar ‘truth claim’ yang cenderung menghasilkan kecurigaan, sikap eksklusif, stigma dan stereotype, sehingga mahasiswa memiliki pencerahan dan pemikiran baru tentang hidup berdampingan di tengah keberagaman. (Putri Laoli).
Saya, Imelda Nasrani Oktafina Sarumaha, berasal dari Pulau Nias, Sumatera Utara dan kuliah di fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Saya mengenal pertama kali dengan Stube-HEMAT Yogyakarta dari teman satu kos, ketika ia mengajak saya mengikuti pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta tentang membatik. Kegiatan berupa kunjungan ke Museum Batik Yogyakarta untuk mengenal sejarah batik, motif batik dan alat-alat yang digunakan untuk membatik. Di akhir kunjungan kami ditantang untuk membuat motif batik sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing. Ini sesuatu yang baru dan menarik untuk saya karena saya penasaran dengan apa yang akan saya buat motifnya tentang daerah saya sendiri, yaitu Nias. Beberapa hari kemudian kegiatan berlanjut ke kampung batik Giriloyo Imogiri, Bantul, di mana kami berlatih bagaimana membatik dari menggambar pola sesuai daerah masing-masing, menuangkan lilin di pola sampai mewarnai kain. Saya membuat motif sesuai dengan khas daerah Nias, yaitu lompat batu.
Dari pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta Bersama Merangkai Indonesia, saya mengalami suasana indah bertemu dengan teman-teman yang berbeda suku, adat, budaya dan agama. Saya juga mendapatkan cerita pengalaman tentang agama, suku dan budaya lain dari peserta lainnya, menariknya, saya tidak takut lagi untuk sharing pengalaman saya kepada mereka meskipun kami baru mengenal satu sama lain tetapi sudah bisa menciptakan kekompakan dan kerukunan bersama. Jadi saat ini saya bisa lebih bersikap toleransi kepada orang-orang yang berbeda di sekitar saya terlebih saat di kost atau di kampus. Terima kasih Stube-HEMAT. (Imelda Sarumaha).
Terimakasih Stube-HEMAT Yogyakarta telah memberikan saya kesempatan untuk bisa berkunjung ke Vihara, bertemu teman-teman baru dari Aceh sampai Papua, serta saya bisa mengklarifikasi prasangka saya sebelumnya, sekarang saya meyakini bahwa semua agama itu baik. Jika saya menemukan ada seseorang melakukan hal yang tidak baik, bukan berarti agamanya yang tidak baik, tetapi kembali kepada individunya yang belum mampu menghayati ajaran agamanya dan mewujudkan dalam perilaku sehari-hari. (EP)
Berbagai pengalaman unik yang saya temukan dalam pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta khususnya dalam berinteraksi dengan pemeluk agama lain perlu dirasakan juga oleh mahasiswa lain, sehingga mereka juga mendapat kesempatan bertemu dengan pemeluk agama yang berbeda demi memangkas prasangka dan mewujudkan relasi baik antar pemeluk agama di Indonesia. (Rivaldo Arinanda Padaka)
Seperti pelangi yang indah karena berbeda warna, bahwa pengalaman akan memperkaya diri kita, dengan mengenal, mengerti, dan menghargai perbedaan yang ada, perbedaan bukan alasan bermusuhan tetapi bersama-sama merangkainya menjadi Indonesia. Semua itu berawal dari diri kita. (Thomas Yulianto).