Bergabung Dalam Kamisan
Social Movement Institute
Kamis, 5 Juni 2014, beberapa aktivis Stube-HEMAT ambil bagian dalam acara kamisan yang diselenggarakan oleh Social Movement Institute (SMI) bekerjasama dengan KONTRAS. Aksi damai yang dikoordinasi oleh Asman dan Bandel Ilyas dari SMI ini dilaksanakan setiap hari Kamis. Aksi kali ini diikuti oleh sekitar tigapuluh pemuda dari berbagai elemen. Masing–masing mengenakan baju dominasi warna hitam dilengkapi payung hitam. Menurut Ilyas, koordinator lapangan, payung hitam dan busana hitam adalah simbol matinya keadilan, matinya hukum dan penegaknya. Busana hitam itu memang dipakai ketika orang sedang dalam suasana duka kematian.
Aksi diam yang ke-11 ini berlangsung sekitar empat puluh menit di seputar Tugu Yogyakarta. Sebuah spanduk dibentangkan bergambar pemuda-pemuda yang hilang dan diduga diculik diantaranya ada Wiji Tukul, Munir, dan wartawan Udin. Spanduk itu berbunyi ”kami tak melupakan, kami tak memaafkan.” Sejumlah stiker bertuliskan ungkapan Gandhi, ”Kekerasan adalah senjata orang berjiwa lemah” dibagikan ke sejumlah orang yang melintas.
Pada sela-sela acara, koordinator lapangan mengatakan kepada para aktivis dari Stube-HEMAT Yogyakarta bahwa sampai saat ini masih ada pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran-pelanggaran itu tidak boleh dilupakan apalagi untuk kemudian dimaafkan. Ilyas menambahkan sudah terjadi ironi bahwa beberapa kelompok masyarakat melakukan pemaafan terhadap pelanggaran itu. Mereka menganggap bahkan mereka ingin melupakan kasus-kasus itu dengan alasan saatnya menyongsong masa depan dan sebagainya. Anggapan itu tidak benar, karena pelanggaran HAM sampai kapanpun kalau tidak diusut dan tidak diadili secara adil maka ia akan berulang terus.
Penuntasan kasus-kasus HAM adalah agenda besar calon presiden yang akan datang. Siapapun pemimpin mendatang, baik dari militer maupun dari sipil, harus punya agenda tersebut, bila tidak, maka tidak ada ruang untuk mereka menjadi pimpinan di negeri ini. Sampai saat ini Ilyas tidak tahu sampai kapan aksi ini akan dilakukan. Aksi serupa juga dilakukan di Jakarta, bahkan sudah berlangsung delapan tahun. Rencananya nantinya akan dibentuk suatu komite sebagai tindak lanjut. Komite ini akan menjadi pintu perekrutan aktivis-aktivis baru dimana akan ada pelatihan, pendidikan politik dasar dan sebagainya.
Berbicara tentang HAM tanpa mempelajari sejarah pelanggaran HAM adalah ibarat berjalan dengan satu kaki, maka pelajaran sejarah harus dilakukan terus-menerus. Untuk itu aktivis Stube dimanapun berada harus selalu mengasah kemampuan dan peka terhadap permasalahan bangsanya sendiri, agar teori dan sejarah HAM kita ketahui dengan baik. Aksi-aksi sederhana akan berdampak hebat bila dilakukan dengan konsisten. Teman-teman aktivis tidak hanya bertindak untuk mengembangkan potensi diri dan lingkungan tetapi juga aktif menyuarakan penegakkan keadilan. Keadilan menjaga keharmonisan di tengah kemajemukan masyarakat. (YDA)