Indonesia memiliki laut yang luas dan banyak pulau dengan pesisir laut. Sebagian penduduk tidak tinggal di pesisir, sehingga belum paham tentang kehidupan yang ada di pesisir, dan menganggap bahwa laut tidak terlalu penting, padahal manusia hidup tidak terlepas dari laut. Saya, Mensiana Pengu Baya, berasal dari Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Sumba Timur, bersama teman-teman mahasiswa dari berbagai kampus yang ada di Yogyakarta, dipimpin oleh Trustha Rembaka, S.Th selaku koordinator, berkunjung ke Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng, melakukan eksposur yang diadakan oleh Lembaga Stube HEMAT Yogyakarta (4/2/2023).
Laut sebagai sebuah ekosistem perlu dilestarikan dan dikelola untuk memenuhi kebutuhan manusia sehari-hari, begitu juga pelabuhan Sadeng di Desa Songbanyu. Kabupaten Gunung Kidul, yang sudah dimanfaatkan potensinya sejak berdiri pada tahun 1990. Di sana, kami bertemu Agus Santoso S.P., Direktur Operasi Pelabuhan dan Departemen Operasi Pelabuhan, dan Sarina S.P., M.M., Direktur Administrasi dan Pelayanan Perusahaan.
Dalam kegiatan eksposur ini, kami dibagi menjadi beberapa kelompok dan kebetulan saya mendapat kelompok yang melakukan tanya jawab dengan nahkoda kapal. Kelompok kami berdiskusi dengan Cimeng, nama panggilan seorang nahkoda kapal. Dalam percakapan di kelompok kami, saya belajar mengenal banyak hal, suka duka menjadi nahkoda kapal nelayan. Satu hal yang diceritakan adalah cara berkomunikasi di atas kapal atau antar kapal. Komunikasi dilakukan dengan menggunakan HT (Handy Talkie) dan untuk mengetahui arah mata angin, para nelayan menggunakan kompas. Ketika terjadi permasalahan seperti cuaca buruk dan jaringan HT tidak bisa digunakan, maka kompas sangat berperan menyelamatkan arah kapal.
Cimeng, menyampaikan bahwa kapal Purse Siene atau kapal Slerek bisa mengangkut maksimal 15 orang yang terdiri dari nahkoda, anak buah kapal serta perlengkapan kapal lainnya dan mampu memuat ikan seberat 5 ton. Kapal-kapal yang digunakan para nelayan tidak semuanya milik pribadi, ada sebagian merupakan kapal sewaan. Hasil tangkapan ikan Sebagian dijual langsung di Sadeng dan sebagian dikirim ke Jakarta dan Surabaya. Jenis ikan yang paling banyak ditemukan di Sadeng adalah ikan tuna. Proses pembagian hasil dari nahkoda, ABK, atau pun pemilik kapal, disesuaikan dengan tingkatan dan tanggung jawab masing-masing.
Ketika hasil tangkapan tidak sesuai dengan target yang sudah ditentukan, maka para nelayan tidak mampu membayar sewa kapal dan tidak mampu membeli bahan bakar. Hal ini menjadi hambatan dan tantangan tersendiri bagi para nelayan, namun tidak mengurangi keinginan serta semangat mereka untuk melaut. Mendengar dan melihat kegigihan para nelayan dalam bekerja, tidak bisa dipungkiri betapa pentingnya pendampingan pemerintah untuk para nelayan, khususnya dalam pemantauan kondisi laut dan kewaspadaan selama navigasi, untuk menjamin keselamatan para nelayan. Pengembangan teknologi kelautan, kepastian kelengkapan sarana dan prasarana melaut menjadi motivasi bersama untuk membawa Sadeng menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai yang modern dan nyaman. ***