Interaksi langsung seseorang dengan orang lain yang berbeda budaya pasti memberikan pengalaman baru dan pembelajaran bagi masing-masing, tentang keberagaman di Indonesia, promosi daerah beserta konteks permasalahan. Inilah yang menjadi pendorong Stube-HEMAT Yogyakarta memberi kesempatan kepada mahasiswa aktivis Stube untuk berkunjung ke Sumba, salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur. Tiga mahasiswa sudah berani menerima tantangan tersebut, siapa saja mereka?
Dominggus Urkora, mahasiswa Teologi, STAK Marturia Yogyakarta yang berasal dari Dobo, Maluku Tenggara. Domi berada di Sumba, tepatnya di desa Kanjonga Bakul, Nggaha Ori Angu, Sumba Timur antara 17 Juni-17 Juli 2017 untuk mengadakan kegiatan berkaitan Sekolah Minggu di GKS Kanjonga Bakul.
Kegiatan pertama, mengumpulkan biodata anak sekolah minggu GKS Kanjonga Bakul di lima kelompok yang meliputi Kanjonga Bakul, Horani, Kalu, Walakiri dan Bidiwai. Kedua, memotivasi guru-guru baru untuk melayani Sekolah Minggu, dan ketiga, pemutaran film untuk anak-anak.Selama berinteraksi di lapangan, Domi menemukan ternyata ada beberapa anak usia SD belum bisa membaca, sehingga dia tergerak mengadakan kegiatan pendampingan belajar membaca untuk anak-anak. Sekalipun melewati jalan setapak berbatu untuk mencapai desa itu, Domi merasa bahagia ketika anak-anak desa memanggil-manggil namanya saat berpapasan di jalan.
Nova Yulanda Sipahutar, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang berasal dari Sumatera Utara mengadakan pendampingan anak-anak di PAUD Nasareth, Tanggamadita, Sumba Timur. PAUD ini berdiri tahun 2014 dan terdaftar di Dinas Pendidikan Sumba Timur tahun 2016. Meski aktivitasnya masih menumpang di ruangan Posyandu Tanggamadita, karena belum mempunyai gedung sendiri, sampai Juli 2017 sudah ada 18 murid.
Di tempat yang sama, Nova mengadakan kelas bahasa Inggris untuk anak usia SD, SMP dan SMA. Karena peserta harus menimba air dan mencari kayu bakar untuk kebutuhan rumah, atau juga karena bersamaan dengan jadwal sekolah siang,tidak jarang mereka datang terlambat. Namun demikian,mereka bersemangat belajar seperti alphabet in English, family, basic introduction, subject, to be, object, possesion. Hasilnya nampak ketika mereka berani melakukan percakapan pendek bahasa Inggris, menyebutkan kosakata dan menulis kalimat sesuai struktur kalimat bahasa Inggris.
Kelompok Membaca Mahasiswa juga menjadi perhatian Nova. Ada lima mahasiswi yang bergabung, yaitu Betriks Lay, Elisabeth Bangi Lida, Yustiwati, Onira Tangga Nalu dan Melianti Betsdwi. Nama kelompok ini adalah Anala’du, artinya matahari yang disimbolkan sebagai perempuan, karena buku-buku yang dibaca bertema perempuan dan dari perspektif perempuan, seperti Tabula Rasa, Gadis Pantai, Go To Set A Watchman, Entrok, dan Memang Jodoh. Kelompok ini sepakat bahwa setiap anggota merupakan fasilitator dan penanggap diskusi. Di setiap diskusi, fasilitator menyediakan resume dan analisis buku sesuai konteks Sumba dan dilanjutkan tanya jawab.
Redy Hartanto, mahasiswa Teologi STAK Marturia Yogyakarta yang berasal dari Lampung punya ide untuk mengajar sekolah minggu secara kreatif dengan memanfaatkan benda-benda sekitar.
Pada tanggal 15 Juli 2017-12 Agustus 2017 ia berada di Sumba, tepatnya di GKS Laihau, kecamatan Lewa Tidas, kabupaten Sumba Timur. Ia menggunakan daun pisang sebagai bahan aktivitas anak-anak dan sedotan plastik sebagai alat bantu mengajar sesuai topik tertentu. Selain itu, ia juga mendata anak-anak Sekolah Minggu, memotivasi remaja untuk menjadi pendamping guru sekolah minggu, pemutaran film untuk anak-anak dan lomba-lomba untuk anak sekolah minggu. Redy sempat sakit di awal kedatangan, tetapi akhirnya ia berhasil memotivasi empat anak muda untuk ambil bagian dalam pendampingan sekolah minggu di GKS Laihau.
Meskipun sederhana, tetapi karena aktivitas tersebut menjawab kebutuhan, maka akan sangat bermanfaat dan berdampak bagi masyarakat. Jadi, anak muda mahasiswajangan hanya berkutat di kampus, tetapi lengkapi kisah hidup anda dengan berbagai petualangan berinteraksi dengan masyarakat dan problematikanya. (TRU).