Mengunjungi sebuah start-up agribisnis di Selomartani, Sleman, yang bernama Indigen Karya Unggul ini, bisa membuat pengunjung berdecak kagum. Kagum atas pemikiran yang dituangkan dalam karya nyata di bidang pertanian berteknologi dengan melibatkan sepenuhnya anak-anak muda. Indigen Farm memfokuskan diri melakukan budidaya buah melon yang ditanam dalam greenhouse dengan system hidroponik yang mulai dirintis pada tahun 2019.
Adalah Igor Gadira yang ditunjuk selaku Direktur Utama PT Indigen Farm, seorang anak muda lulusan INSTIPER, memimpin project penanaman melon Japanese Earl Musk, dengan cita rasa manis crunchy /renyah dan juicy. Perlakuan khusus tentu diterapkan dalam pertanian ini, seperti sterilisasi green house, polinasi manual, managemen lahan air, juga pembatasan buah yang dihasilkan. Yang diterapkan di lahan ini adalah satu tanaman melon hanya untuk satu buah melon guna mendapatkan waktu panen yang cepat, yakni sekitar 45 hari setelah polinasi. Dalam lahan greenhouse sekitar 400 meter persegi ini, terdapat 1200 tanaman melon, dengan minimal berat 1,5 kg/buah yang dipatok dengan harga Rp. 45.000,-/kilogram.
Indigen farm selain menjadi alternatif wisata keluarga dengan memetik langsung buah dari lahannya, yang memberi sensasi tersendiri dengan mendapatkan buah segar dan kaya vitamin, juga sarana edukasi masyarakat dan anak-anak pada umumnya untuk mencintai dunia pertanian secara tidak langsung. Beberapa kelompok pengunjung terlihat gembira saat masuk green house dan memilih buah melon sesuai selera. Pengunjung dilayani oleh para mahasiswa yang magang atau pun petugas pemandu yang bertanggung jawab dengan lahan.
Sekitar 300 meter dari Indigen Farm, terdapat rintisan start-up ternak domba 1,8 hektar berbasis teknologi yang memproduksi bibit, daging dan susu yang bernama Sembada Sinergi Indonesia (SSI) Farm. Ternak domba modern ini memiliki kandang yang memuat 500 ekor, yang sangat terpelihara kebersihannya, sehingga tidak tercium aroma kotoran ternak. Dengan basis teknologi yang dipakai, maka segala sesuatunya terkontrol dan terstandard. Mencicipi susu domba di SSI menjadi pengalaman minum susu domba yang terenak, gurih dan tidak ‘prengus’. Keterlibatan anak-anak muda dalam pengembangan start-up ternak yang dirintis pada tahun 2022 ini sangat nyata di setiap devisi dan pengembangannya.
Diskusi mengenai katahanan pangan dan bisnis menjadi diskusi menarik dan penting untuk ditransferkan kepada anak-anak muda lainnya, sebagaimana yang dilakukan teman-teman di Stube HEMAT Yogyakarta (30/09/2024). Selain mendiskusikan start-up pertanian dan peternakan, tak kalah menarik adalah mempelajari tanaman porang yang dibuat beras dengan segala keistimewaan kandungannya, rendah karbo dan tinggi serat. Tanaman porang yang tumbuh subur di kawasan tropis menjadi tanaman andalan pengganti beras, menjadi pilar alternatif ketahanan pangan Indonesia. Mari anak-anak muda terus berkreasi dalam mengolah potensi yang ada di sekitar kita. ***
Stube HEMAT Yogyakarta kembali berkolaborasi dengan team mahasiswa KKN STPMD APMD yang dikomandani oleh Jerliyando George Korwa bersama muda-mudi Karang Kauman mendiskusikan tentang Anak Muda dan Wirausaha Sosial (Jumat, 6 /09/2024) di Karang Kauman, Wijirejo, Pandak, Bantul. Kekompakan muda mudi setempat dalam komunitas Ikatan Remaja Karang (IRKA) layak diapresiasi, karena melalui komunitas ini mereka bisa mengembangkan potensi diri dengan sebaik-baiknya. Dalam diskusi ini Trustha Rembaka dari Stube HEMAT Yogyakarta memaparkan potensi bonus demografi Indonesia yang bisa menjadi berkah dan musibah. Berkah, jika sumber daya manusia memiliki ruang berkarya, dan menjadi musibah, jika di usia produktif mereka menganggur dan tidak memiliki kerampilan yang mencukupi.
Di bagian awal, para peserta mendalami tentang wirausahawan sosial, di mana individu atau kelompok berusaha memecahkan suatu permasalahan sosial dengan pendekatan wirausaha, atau merintis suatu usaha yang memberikan manfaat secara sosial. Di sini nampak bahwa individu yang bergerak sebagai wirausahawan sosial adalah orang-orang yang punya inisiatif dan siap mengambil risiko untuk menghasilkan perubahan positif di masyarakat melalui inisiatifnya. Dalam memulai wirausaha sosial muncul beberapa pertanyaan kunci antara lain, permasalahan sosial apa yang paling menarik perhatian? Gagasan solusi apa saja yang ditawarkan untuk menjawab permasalahan sosial yang terjadi? Perubahan seperti apa yang diharapkan dari solusi-solusi tersebut? Seperti apa bentuk pemberdayaan masyarakat dari penerapan solusi-solusinya. Bagaimana strategi bisnisnya untuk mendukung proses perubahan? Dan, apa saja indikator keberhasilan dari usaha yang dilakukan? Jadi dalam Wirausaha sosial ada empat aspek penting, antara lain menciptakan peluang usaha sebagai bentuk pemberdayaan, usaha profit untuk menjawab masalah sosial, ada capaian perubahan jangka panjang dan menggunakan pendekatan bisnis dan sosial. Di sesi ini para peserta dikenalkan dengan beberapa kisah anak muda yang menggagas wirausaha sosial untuk menjawab permasalahan sosial di sekitarnya.
Selanjutnya, Trustha mengungkap realita sosial di Bantul dan para peserta mengamatinya, antara lain, jumlah penduduk miskin di Bantul 126,93 ribu jiwa (Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS DIY 2024), pemkab Bantul hanya mampu mengolah sampah 35 ton/hari dari volume sampah 95 ton/hari (DLH Bantul, April 2024), tahun 2023 ada 2.863 bayi stunting di Bantul (Dinkes Bantul, 2024), 22.783 orang menganggur (BPS DIY, April 2024), 118 kasus kekerasan terhadap anak, perempuan dan laki-laki (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana – DP3APPKB Bantul, 2024), dan penurunan jumlah petani di Bantul dari 62 ribu menjadi 58 ribu (DKPP Bantul, 2023).
Dari tahapan ini secara berkelompok para peserta mencoba menemukan solusi untuk menjawab permasalahan sosial secara mandiri dan berkelanjutan. Salah satu kelompok mendalami tentang masalah sampah, yang bisa mereka lakukan di lingkungan terdekat, yaitu dengan pemilahan sampah dan didistribusikan di pengepul. Hasil penjualan bisa untuk kas organisasi dan membiayai kegiatan. Sedangkan kelompok lain membidik masalah stunting, yang mana stunting tidak bisa dilepaskan dari keterbatasan ekonomi dan pengetahuan. Ide muncul tentang rintisan kebun pekarangan untuk kecukupan pangan dan usaha literasi keluarga terdekat tentang nutrisi dan kesehatan ibu hamil. Muncul juga gagasan komunitas menjadi ruang pengembangan diri sebagai antisipasi kenakalan remaja, melalui keterampilan diri seperti public speaking, beternak dan multimedia.
Semangat yang ada dalam diri anak muda perlu mendapat ruang ekspresi yang positif, salah satunya menggerakkan mereka sebagai agent of change di wilayah mereka. Teruslah berkarya dengan bekal potensi dan permasalahan sosial dengan konteks wilayah setempat. Viva anak muda! ***
Diskusi virtual Stube HEMAT Yogyakarta merupakan ruang belajar mahasiswa dan aktivis berbagi dan saling melengkapi pengetahuan dan informasi (Minggu, 5/8/2024). Diskusi ini memberi bekal kepada para peserta untuk melihat potensi yang ada di sekitar mereka, langkah-langkah inisiatif, dan bagaimana memulai menemukan kemitraan yang cocok untuk berjejaring.
Rudyolof Imanuel Malo Pinda, S.Sos, M.A, aktivis Stube HEMAT Yogyakarta yang baru saja menyelesaikan studi Magisternya di Fisipol UGM dengan senang hati menyampaikan materi hasil risetnya tentang pengembangan pariwisata di Sumba, dengan tinjauan Community-Based Tourism (CBT) atau pariwisata berbasis masyarakat di Bukit Laiuhuk, Wairinding untuk teman-teman mahasiswa lainnya. Riset ini adalah wujud kontribusinya dalam mengembangkan daerah, khususnya Sumba Timur, yang seiring perkembangan teknologi beragam informasi mudah diakses, pengetahuan masyarakat semakin berkembang, termasuk daya tarik wisata di suatu daerah mudah untuk diketahui publik, salah satunya adalah bukit Laiuhuk di Wairinding, Sumba Timur.
Dalam presentasinya Rudy mengungkapkan titik pijaknya untuk melangkah ke bukit Laiuhuk, antara lain bahwa pariwisata merupakan aset yang menguntungkan masyarakat jika dikelola dengan baik demi kesejahteraan masyarakat, bukan efek negatif seperti konflik antar masyarakat terkait hak pengelolaan wisata, kerusakan lingkungan, atau bahkan masyarakat setempat yang terpinggirkan karena sumber daya manusianya kurang, serta daya dukung wisata belum lengkap. Untuk itu pentingnya implementasi CBT dalam pengelolaannya.
Bukit Laiuhuk yang berada 25 km dari pusat kota Waingapu ke arah Barat, bukit ini memiliki keunikan tersendiri berupa bukit-bukit berlekuk-lekuk dengan hamparan padang rumput sabana, suasana yang khas saat matahari terbit maupun matahari terbenam, hijau saat musim hujan dan cenderung kecoklatan ketika musim kemarau, terlebih keberadaan lokasinya di tepi jalan lintas antar kabupaten. Lebih dalam lagi dalam diskusi tersebut Rudy mengingatkan tentang daya tarik wisata yang mengacu pada empat aspek, yakni Attraction (daya tariknya), Accessibility (kemudahan akses menuju lokasi), Amenities (ketersediaan fasilitas pendukung) dan Ancillary (sebagai kelembagaan resmi yang mendukung daya tarik wisata). Saat ini pengelolaan kawasan menjadi tanggungjawab BUMDes setempat, setelah mendapat pendampingan dari Dinas Pariwisata. Proses pengembangan ke depan masih diperlukan agar bisa semakin menarik wisatawan dan bermanfaat untuk masyarakat setempat.
Aspek atraksi perlu diadakan secara berkelanjutan sementara akses sudah cukup baik dengan angkutan umum, jalan raya, tangga pengunjung dan jalan setapak menuju lokasi. Terdapat juga loko-loko atau gazebo dan kamar mandi untuk pengunjung, sewa kuda dan kain khas Sumba. Gagasan-gagasan yang menarik bermunculan selama diskusi, seperti perlu melibatkan kelompok kerajinan setempat yang memproduksi tenun, asesoris, makanan lokal atau aneka handicraft sebagai buah tangan. Ada pula inisiatif festival budaya yang dipusatkan di tempat itu, pelatihan pemandu wisata dan pengembangan paket wisata bekerjasama dengan dinas terkait dan agen wisata di Sumba.
Dalam hal ini anak muda perlu berpartisipasi aktif untuk mengembangkan potensi lokal di sekitarnya dengan mengambil langkah nyata untuk memulai dan menemukan mitra usaha yang cocok sebagai jejaring sehingga potensi bukit Laiuhuk Wairinding bisa optimal memberikan manfaat sosial dan ekonomi. ***
Aku ini hanya anak singkong…..masih ingatkah pembaca penggalan lagu yang berjudul ‘Singkong dan Keju’ yang diluncurkan Bill & Brod pada tahun 1986? Lirik-lirik lagunya menggelitik dengan gambaran disparitas antara singkong dan keju. Jelas dalam benak pendengar gap yang terjadi antara anak singkong sebagai gambaran kesederhanaan dan anak keju sebagai gambaran golongan atas yang serba glamour dengan mengejar gengsi semata. Dalam kesimpulan akhir lagu tersebut dinyatakan bahwa antara singkong dan keju merupakan sesuatu yang tidak sama levelnya, sehingga secara tidak sengaja lagu ini menanamkan ketidakbanggaan atas singkong atau juga disebut ketela yang dalam bahasa latinnya adalah Manihot esculenta atau Manihot utillissima.
Gambaran di atas menjadi jungkir balik, tatkala kita berkunjung ke gerai ketela keju D-9 di Kampung Ledok-Ngaglik, Salatiga. Dengan desain modern, kafe ketela keju D-9 ini tidak pernah sepi dikunjungi para konsumen yang ingin menikmati lezatnya olahan singkong seperti, singkong keju goreng, cemplon, combro, klenyem, pastel, dan aneka olahan makanan lain berbasis ketela. Pengunjungpun bisa merasakan kenyang meski tanpa nasi sebagaimana dikonsumsi sehari-hari.
Bersama para perempuan RT 59, yang menyukai tantangan, saya menjelajah kampung singkong dimana ketela keju D-9 diproduksi. Petunjuk arah yang berada di sudut pertigaan menggambarkan bahwa kampung ini menggeliat dengan produksi singkong, ada arah menuju brownies ‘telo’, nugget singkong, singkong kriwil, gethuk, dan semesta (olahan singkong). Rumah produksi berada sekitar 300 meter dari kafe yang bisa ditempuh dengan jalan kaki. Sebuah rumah besar tempat aktivitas para karyawan memulai produksi, dari merendam, memotong, mengupas, mencuci, mensortir, menggoreng dan membuat berbagai olahan singkong. Enam setengah ton singkong setiap hari menjadi bahan baku kafe ketela keju D-9. Bukan sebuah bisnis singkong main-main, tetapi bisa lebih dikatakan menjadi gurita bisnis singkong, dengan diawali seorang Hardadi berjualan dengan gerobak gorengan singkongnya di lapangan Pancasila Salatiga tahun 2009, yang saat ini mampu merekrut 120an karyawan dengan upah layak, bahkan banyak tenaga perempuan direkrut di tempat ini. Anak singkong itu sudah menjadi raja di Salatiga bahkan gaung bisnisnya sudah membuat Kick Andi dan Dedy Corbuzier mengundangnya ke Jakarta untuk menceritakan usaha persingkongan tersebut.
Kafe singkong keju D-9 tidak hanya menjual olahan singkong, namun juga menawarkan wisata edukasi bagaimana olahan tersebut diproses, sekaligus praktek membuatnya. Sebuah aula dengan luas cukup memadai di atas kafe, menampung kami semua untuk mendengarkan sejarah D-9 ini dirintis. Hal yang paling menarik adalah nama D-9 yang cukup menjual saat ini merupakan nama bilik penjara dimana Hardadi pernah beberapa bulan menghuninya karena tersandung narkoba, yang menjadi sebuah titik balik perubahan hidup yang luar biasa. Pertobatan, kerja keras, kesungguhan dan kolaborasi dengan dinas-dinas setempat seperti dinas Perindustrian dan UMKM, dinas pariwisata, kementerian pertanian serta pihak-pihak lain membuat usaha ini berkembang pesat.
Bangga dengan potensi lokal menjadi langkah awal dalam mengembangkan segala sesuatu. Silahkan temukan potensi lokal daerah masing-masing dan jadilah raja, seperti anak singkong yang saat ini menjadi raja. ***
Karya sastra merupakan ekspresi pikiran dalam bentuk tulisan yang bisa dipakai untuk mengungkapkan fakta kehidupan manusia dengan berbagai persoalan yang dihadapinya secara artistik dan imajinatif, yang mampu memberi efek positif pada kehidupan manusia. Karya sastra biasanya memiliki bahasa yang indah dan tersusun dengan baik sehingga mampu memberi kesan di hati para pembacanya. Hal ini juga ditunjukkan dalam novel berjudul “Mawar Hitam Tanpa Akar” karya penulis perempuan kelahiran Jayapura bernama Aprila Wayar. Dari beberapa sumber, Aprila Wayar disebutkan sebagai novelis perempuan Papua pertama di era tahun 2000-an. Novel ini dicetak pertama kali pada tahun 2009.
Menikmati sebuah karya sastra merupakan langkah yang bisa mempertajam pikiran analisis pembaca, dan melalui tutur bahasa dan alur cerita yang disajikan, hati sanubari pembaca yang halus disentuh yang selanjutnya emosinya mulai dipermainkan. Novel ini disajikan dengan sederhana namun mampu menyampaikan pesan yang sangat dalam atas apa yang terjadi. Dengan tebal 194 halaman, pembaca bisa membacanya dalam beberapa saat, dan dimanjakan dengan keutuhan pemahaman alur cerita. Terbagi dalam VI bab, novel ini memberi sudut pandang dari masing-masing tokoh yakni Anna, Tom, Michael, dan Sari sehingga membantu pembaca lebih mudah memahami kisah yang coba dituturkan oleh penulis.
Dengan latar belakang dinamika politik dan peristiwa kerusuhan yang terjadi di Papua, novel ini juga menggambarkan romansa cinta antara anak manusia yang dibumbui dengan perselingkuhan. Memakai latar belakang kota-kota yang ada di Papua, Jawa, Sulawesi, bahkan luar negeri, melahirkan pengertian bahwa para tokoh cerita memiliki pergaulan dan wawasan yang luas yang mampu membuat para pembacanya merasa bahwa kisah ini adalah kisah mereka, khususnya bagi para pembaca dari tempat-tempat yang disebutkan.
Patrick Valdano Sarwom, mahasiswa komunikasi STPMD, sebagai penutur novel ini, mampu memantik pemikiran para peserta yang hadir dalam bedah dan diskusi novel “Mawar Hitam Tanpa Akar”, di sekretariat Stube HEMAT Yogyakarta (Jumat, 5/07/2024). Pelanggaran HAM di Papua dengan peristiwa pemerkosaan perempuan Papua, kekerasan demi kekerasan untuk memecahkan persoalan yang terjadi oleh aparat keamanan menjadi sorotan dalam bedah novel dan diskusi ini. Kerinduan masyarakat Papua untuk sebuah kedamaian, kesejahteraan dan keadilan yang seimbang terus menggelora di kalangan kelompok-kelompok yang menyuarakan Papua Merdeka. Tanpa memihak pada kelompok mana pun, novel ini mampu menyuarakan keadilan bagi Papua secara implisit. Keseruan pendapat dari mahasiswa yang hadir bermuara pada satu pemikiran bahwa kemajuan pembangunan infrastruktur yang telah ada tidak berarti meninggalkan pembangunan manusianya yang menjadi tujuan utama pembangunan. Membangun dari manusianya adalah kebutuhan Papua. ***
Oleh Stube HEMAT Yogyakarta.
Masa liburan menjadi momen baik Stube HEMAT untuk berkolaborasi dengan Sekolah Minggu GKJ Wonosari pepanthan Bendungan dengan mengadakan kegiatan Sekolah Alkitab Liburan (SAL) untuk anak-anak Sekolah Minggu. Kegiatan ini merupakan integrasi belajar tentang Alkitab, berkebun dan praktik lifeskill atau kecakapan hidup.
Gagasan ini muncul dari pemikiran tentang perkembangan anak usia dini, yaitu pra-operasional, dimana anak-anak belajar tentang lingkungan sekitar yang mereka lihat, sentuh dan rasa berdasar indera mereka. Ini akan mendorong perkembangan daya pikir sehingga mereka mampu belajar kognitif secara mandiri, berperilaku baik dan mandiri melakukan aktivitas sehari-hari. Bahkan, mereka mampu mengembangkan keterampilan berbahasa dan pemecahan masalah.
Trustha Rembaka, S.Th., pengelola Kebun Stube HEMAT, memandu rangkaian acara SAL untuk anak-anak Sekolah Minggu yang diadakan selama dua hari (Selasa dan Rabu, 25-26 Juni 2024). Aktivitas yang dilakukan di hari pertama, antara lain para peserta mengenal seluk beluk Alkitab secara sederhana, nama-nama kitab dan penulisnya, yang mana dari enam puluh enam kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ada sekitar empat puluh penulis Alkitab dengan beragam latar belakang, dari seorang tabib, raja, nabi, nelayan, pengajar, pembuat tenda, sampai peternak dan panglima perang. Ini juga menunjukkan pesan dari Alkitab itu sendiri tentang penyertaan Allah dalam hidup seseorang, sehingga anak-anak pun mengalami pertumbuhan iman. Kegiatan berikutnya adalah berkeliling kebun Stube HEMAT untuk mengamati dan mencatat tanaman dan hewan apa saja yang ada di kebun ini. Mereka secara khusus mencermati jenis panenan yang bisa didapatkan dari tanaman, apakah dari akar, batang, daun, bunga maupun buahnya, yang dilanjutkan dengan menceritakan temuan mereka. Aktivitas penutup di hari pertama adalah meracik minuman jeruk hangat untuk mengasah lifeskill, dimana mereka merebus air, memeras jeruk, menambah gula dan merasakan apakah sudah mendapatkan rasa yang cocok. Sebelumnya, mereka menyebutkan jenis-jenis jeruk yang pernah mereka jumpai.i.
Di hari kedua, Trustha mengenalkan lagu tentang nama-nama kitab kepada anak-anak sekolah minggu. Ini membantu mereka mengingat nama-nama kitab. Selain itu, dengan menggunakan kartu berwarna bertuliskan nama kitab, mereka memilah mana saja yang termasuk Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Aktivitas memasak diisi dengan praktek menggoreng jamur. Mereka saling membagi tugas untuk membersihkan jamur, mempersiapkan adonan dan menyiapkan alat untuk menggoreng. Masing-masing mendapat kesempatan untuk menggoreng dari awal sampai meniriskannya. Di kegiatan berkebun, mereka belajar media tanam dan selanjutnya memilih bibit tanaman yang tersedia untuk mereka tanam, ada terong, tomat, seledri dan cabe. Ternyata mereka memilih terong dan tomat untuk ditanam di polibag dan dibawa pulang untuk dirawat di rumah masing-masing.
Meskipun singkat, acara ini meninggalkan kesan bagi peserta seperti yang diungkapkan oleh Anggita, kelas empat SD BOPKRI Wonosari 2, mengungkapkan rasa senangnya belajar di acara ini, bisa menanam sayuran dan ketemu dengan teman-teman. Ia juga mengajak untuk berkunjung ke kebun Stube HEMAT.
Mari beri kesempatan belajar kepada anak-anak tentang spiritualitas, bagaimana berelasi dengan alam ciptaan dan kecakapan hidup yang bekali mereka untuk menjalani kehidupan mereka ke depan. Selamat belajar dan bertumbuh, anak-anak!***
Salah satu indikator negara maju adalah memiliki 14 % penduduk yang menjadi pelaku wirausaha, sedangkan di Indonesia masih di bawah 4 % (data Badan Pusat Statistik – BPS 2023). Ini perlu upaya untuk mendorong kebangkitan ekonomi dan munculnya lapangan pekerjaan, dimana mahasiswa juga mesti berperan untuk meningkatkan persentase wirausahawan di Indonesia. Di kalangan mahasiswa sendiri, ada beberapa pilihan pascakuliah, seperti ASN, karyawan kantor, entrepreneur, atau melanjutkan studi.
Seiring dengan realita di atas, Global Entrepreneurship Index Indonesia ada di peringkat 75 dari 132 negara di dunia. GEI sendiri merupakan salah satu parameter iklim wirausaha di sebuah negara, yang mengukur sikap masyarakat, sumber daya dan infrastruktur yang membentuk ekosistem kewirausahaan di sebuah negara. Ada 14 aspek yang diukur, yaitu persepsi terhadap peluang (opportunity perception), keahlian dalam membangun sebuah startup (startup skills), penerimaan risiko (risk acceptance), jejaring (networking), dukungan kultural (cultural support), kesempatan untuk memulai startup (opportunity perception), penyerapan teknologi (technology absorption), sumber daya manusia (human capital), kompetisi (competition), inovasi produk (product innovation), inovasi proses (process innovation), pertumbuhan yang kontinyu (high growth), internasionalisasi (internationalization) dan risiko modal (risk capital).
Selain itu, temuan yang cukup menggelitik dari Global Entrepreneurship Monitor (GEM), sebuah tim peneliti berbasis survei tentang kewirausahaan di seluruh dunia, tentang Survei Populasi Dewasa, GEM memberikan analisis mengenai karakteristik, motivasi dan ambisi individu yang memulai bisnis, dan sikap sosial terhadap kewirausahaan, yaitu pengusaha perempuan perlu mendapatkan lebih banyak dukungan. Para ahli di 37 dari 48 negara menilai dukungan sosial bagi perempuan tidak memuaskan, tetapi 28 dari 48 negara menilai baik tentang akses perempuan pengusaha terhadap sumber daya. Temuan lainnya adalah ketakutan akan kegagalan bagi para calon wirausaha dalam menciptakan start-up baru, terutama perempuan. Setidaknya dua dari lima orang dewasa yang melihat peluang bagus tapi tidak memulai bisnis karena takut bisnisnya akan gagal, yang muncul di 35 dari 45 negara, termasuk perempuan yang melihat peluang bagus dalam bisnis tetapi tidak mau memulai karena takut gagal.
Berkaitan dengan keypoint perempuan dan berwirausaha, Stube HEMAT Yogyakarta bersama mahasiswa berdialog langsung dengan anak muda sekaligus praktisi bisnis di Purworejo, Jawa Tengah (24/5/2024). Dalam dialog yang diadakan di aula kantor Credit Union Angudi Laras, Rena, nama akrab dari Verena Devi Andini, mengungkapkan dirinya seorang perempuan muda dari Purworejo yang berstatus mahasiswa. Namun demikian, ia juga mengelola bisnis kuliner dan bekerja di sebuah kantor Credit Union.
Ia mengelola bisnis kuliner ayam goreng dengan brand Lapak Chicken yang berlokasi di Purworejo. Jiwa bisnis telah muncul sejak sekolah menengah dengan menerapkan model jastip, alias jasa titip. Memang masih sederhana, yaitu ketika pergi ke Yogyakarta, atau kota lainnya ia membuat story maupun status di media sosial dan membuka kesempatan orang untuk pesan barang atau makanan.
Di tahun 2020an menjadi langkah barunya memulai bisnis kuliner berbasis ayam goreng. Ia mengakui bahwa ada banyak kompetitor di segmen ini, namun ia meyakini pilihannya dengan mengembangkan strategi pemasaran, jaringan dan keunikan menu yang ia pasarkan. Dari strategi pemasaran ia memaksimalkan media sosial untuk promosi, menyapa customer, dan mendokumentasikan bisnisnya. Dari jaringan ia melakukan pendekatan personal kepada customer, komunitas dan masuk ke aplikasi online. Sedangkan dari menu, ia memberi highlight ragam topping dan sambal dalam menunya. Dari wirausaha yang Rena lakukan, tidak saja menjadi penghasilan bagi dirinya, tetapi juga membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain, dimana saat ini ia memiliki dua orang karyawan yang bekerja untuknya. Catatan penting dari Rena untuk para mahasiswa dalam merintis dan mengelola bisnis adalah berani dan melawan kemalasan.
Di kesempatan lain, para mahasiswa juga mengenal tentang Credit Union Angudi Laras yang dipaparkan oleh Dyah Siwi Restuningsih, salah satu pengurusnya. Ia menceritakan bahwa Credit Union Angudi Laras diinisiasi oleh GKJ Klasis Purworejo sebagai sarana untuk Pemberdayaan Ekonomi Jemaat dan Masyarakat. Berawal di 3 Januari 2011 sejumlah 28 orang dengan modal kurang dari 3 juta, saat ini memiliki 1300an anggota dengan aset sekitar 12 milyar rupiah. Dengan motto ‘tuwuh’ (tumbuh), ‘ngrembaka’ (berkembang) dan ‘munpangati’ (bermanfaat), CUAL bertekad bersama membangun hidup yang berkualitas.
Dengan dialog ini, para mahasiswa akan semakin terbuka wawasan tentang dunia kerja, dan memahami tantangan yang ada apakah menjadi pekerja atau merintis usaha. Khususnya perempuan mahasiswa, interaksi dan dialog ini bisa mendorong dan membuka wawasan, menjadi pembelajar dan konsisten meningkatkan kualitas diri. Sehingga pertanyaan apakah mahasiswa bisa menjadi owner sebuah wirausaha? Ternyata bisa! ***
Tinggal di Waerebo yang dikenal sebagai kawasan yang unik dan menjadi tujuan wisata membuka inspirasi Kresensia Risna Efrieno atau Isna, sapaannya, untuk membuat usaha kreatif dengan mempromosikan kaos untuk souvenir atau oleh-oleh. Meskipun berada di Yogyakarta, sebagai aktivis muda ia berinisiatif memproduksi kaos dengan desain-desain yang terinspirasi dari kawasan Flores dan sekitarnya. Isna memproduksi kaos dengan brand Bengkes Nai, yang artinya hati yang berharap. Sesuai brand ciptaannya, usaha kaos ini diharapkan bisa menjadi bisnis berkelanjutan dan menghadirkan kehidupan yang lebih baik.
Isna memilih kaos karena kaos merupakan pakaian yang umum dipakai oleh orang-orang segala usia, dari anak-anak sampai orang tua, dan diterima di berbagai daerah. Selain itu kebutuhan kaos bisa dikatakan stabil karena sifatnya yang fleksibel, model yang variatif dan tersedia dalam pilihan harga yang beragam. Bahkan kaos bisa menjadi trend dan menunjukkan gaya hidup. Selain itu pertimbangan menekuni bisnis kaos, antara lain sebagai ruang ekspresi atas kreativitas yang muncul dalam desain kaos, baik itu gambar, font dan tulisan, kombinasi warna, sampai pesan-pesan tertentu. Kaos memiliki segmen pasar yang luas, dan memiliki aneka fungsi seperti untuk fashion, pakaian harian, olahraga, even khusus, souvenir atau oleh-oleh, menyampaikan pesan atau menunjukkan komunitas tertentu. Produksi kaos membutuhkan biaya yang relatif terjangkau, artinya modal yang dikeluarkan menyesuaikan jumlah produksi, bahan kaos, dan jenis pencetakan desain (sablon, bordir atau teknik lainnya). Kaos juga menjanjikan keuntungan karena antara biaya produksi dengan harga jual ada marjin yang cukup sebagai laba, jika bisnis dikelola dengan baik, jeli membidik segmen pasar, cermat dalam strategi pemasaran, dan selalu up-to-date.
Proses produksi Bengkes Nai berawal dari brainstorming ide-ide, memformulasikan alternatif desain dan menentukan bahan kaos dan jenis pencetakan. Sebagai langkah awal ia mempromosikan kaos dengan desain Waerebo yang iconic, kaos dengan gambar khas Flores dan kaos kata-kata bijak dari daerah Manggarai, selain kaos dengan desain lain. Salah satu contoh kata-kata bijak dalam kaosnya adalah Neka Hemong Kuni Agu Kalo, yang artinya Jangan Melupakan Tanah Tempat Kelahiran. Pemasaran kaos dilakukan melalui media sosial dan penjualan langsung di kampung halamannya. Salah satu strategi pemasaran yaitu memproduksi kaos dengan jumlah terbatas guna memunculkan rasa bangga konsumen ketika memilikinya. Sampai saat ini kaos-kaos sedang dipasarkan oleh Isna maupun keluarganya di kampung halaman kepada masyarakat setempat dan wisatawan yang datang ke Waerebo.
Bisnis kaos adalah proses belajar, bagaimana memunculkan ide-ide baru, merancang desain yang berkesan dan memasarkan secara kreatif agar produk diterima oleh konsumen. Yang terpenting adalah keberanian seorang perempuan melangkah merintis bisnis itulah yang layak mendapat apresiasi dan dukungan. Tetap melangkah maju dan berkreasi melalui Kaos Bengkes Nai! ***
Kebun Stube HEMAT di Gunungkidul menerima menerima kunjungan sekelompok anak muda yang berasal dari Surakarta, tepatnya dari muda-mudi GKJ Gebyog. Mereka tertarik untuk mengamati budidaya jamur tiram, dari bagaimana merintis dan memulai bisnis jamur tiram, sebagai alternatif kegiatan yang bisa mereka lakukan baik secara kolektif di komunitas mereka maupun secara pribadi. Sebenarnya, ini menjawab rasa penasaran mereka karena sekian waktu mereka melihat postingan jamur tiram dan kebun Stube HEMAT di Instagram dan WhatsApps. Akhirnya mereka mewujudkan kunjungan belajar pada hari Sabtu, 27 April 2024.
Trustha Rembaka, pengelola Kebun Stube HEMAT dan owner rumah jamur tiram Mas Koko Mushroom, menyambut dengan ramah kedatangan muda-mudi ini. Dari perkenalan terungkap bahwa mereka sering mengadakan jualan kuliner dan hasilnya untuk kegiatan komunitas muda-mudi. Nah, siapa tahu jamur tiram bisa menjadi alternatif yang mereka usahakan ke depan. Trustha memaparkan konsep Kebun Stube HEMAT sebagai wahana belajar bagi siapapun yang berminat berkaitan pangan dan ketersediaan pangan yang terpadu atau integrated farming.
Mengenai budidaya jamur tiram Trustha mengungkapkan bahwa usaha ini masih skala kecil di bawah 1000 baglog. Jamur tiram menjadi pilihan karena jamur tiram mudah tumbuh dan perawatan sederhana, pangsa pasar setempat masih terbuka dan cenderung meningkat; dan baik untuk kesehatan. Media tanam jamur tiram atau baglog berisi serbuk kayu lunak tapi tidak bergetah, bekatul dan kapur mill dengan komposisi tertentu dimasukkan dalam plastik Polypropilin (PP), selanjutnya memasang cincin penutup baglog. Proses sterilisasi dengan mengukus baglog selama 6-8 jam. Setelah dingin, bibit jamur dimasukkan dalam baglog melalui leher baglog dan berikutnya tinggal membiarkannya berinkubasi memenuhi baglog.
Tentang kubung atau rumah jamur, bisa memanfaatkan ruangan kosong maupun mendirikan bangunan khusus untuk menempatkan baglog untuk tumbuh. Penting untuk menjaga kondisi kubung jamur di kisaran suhu 22-28°C dan kelembaban 70-90% dengan pengabutan pada lantai atau tanah dan pada baglog. Jika miselium sudah memenuhi baglog, itu saatnya membuka tutup baglog dan membuat lubang tambahan untuk jalur tumbuh jamur tiram. Jamur tiram bisa dipetik 3-5 hari setelah bertunas dan panenan jamur tiram hanya bertahan 10 jam di suhu ruang, dan 2-3 hari dalam lemari pendingin. Jamur tiram sendiri bisa dipasarkan dalam bentuk jamur segar, maupun olahan seperti sate jamur, sop jamur, bakso jamur, crispy, keripik dan olahan lainnya.
Diskusi makin menarik saat membahas budgeting, di luar kebutuhan konstruksi dan perlengkapan kubung jamur, biaya untuk per seribu baglog adalah 2.500.000 rupiah, sedangkan potensi panen per baglog adalah 3 ons / 0,3 kg (minimal). Dengan resiko gagal tumbuh 10% maka perhitungan yang didapat dari 0,3 kg x 900 baglog adalah 270 kilogram. Dengan harga petani di Yogyakarta kisaran 15.000 rupiah maka hasilnya per dua bulan adalah 4.050.000 rupiah. Mengenai pemasaran, tentu produsen melakukan beragam cara penjualan baik offline maupun pemesanan online, promosi produk dari lingkungan terdekat, komunitas maupun jaringan, mendistribusikan ke pasar, penjual sayuran skala kecil maupun rumah makan terdekat. Kegiatan berikutnya adalah petik jamur tiram. Satu per satu dari muda mudi mengamati rumah kubung jamur, rak jamur dan baglog, termasuk bagaimana memanen jamur tiram. Ada dari mereka yang terampil untuk memetik namun ada juga yang nampak ragu-ragu memetiknya, tetapi tidak mengurangi keseruan dari kunjungan belajar saat ini.
Di akhir kunjungan, Eunike Sari, salah satu peserta mengungkapkan kesannya, demikian “Ini pertama kali saya datang ke rumah jamur Mas Koko Mushroom, kesan pertama yang saya rasakan adalah menyenangkan sekali punya kebun yang luas seperti ini sehingga bisa untuk dijadikan ladang usaha yang menghasilkan income selain untuk mencukupi kebutuhan keluarga sendiri. Saya bersyukur bisa datang secara langsung sehingga bisa memetik memilih jamur tiram sendiri dengan pilihan yang terbaik pastinya. Terima kasih rumah jamur dan kebun Stube HEMAT, sudah memberikan kesempatan untuk saya berkunjung dan memetik langsung jamur jamur tiram yang kualitasnya bagus.”
Sebuah langkah baru memiliki tantangan tersendiri, dengan membuka pemikiran lebih luas dan menemukan beragam alternatif untuk dikerjakan akan membekali seseorang untuk berani melangkah menjemput peluang dan mengerjakannya dengan kesungguhan.***
Mengikuti Workshop Inklusi Kampala Principles di Indonesia
Kampala Principles merupakan pedoman bagi kalangan bisnis dan masyarakat sipil untuk mencapai SDGs. Kampala Principles muncul dari pertemuan The Global Partnership for Effective Development Cooperation (GPEDC) di Kampala, Uganda (Maret 2019). GPEDC sendiri berdiri sejak 2011 di Busan, Korea Selatan, sebagai platform bagi para pemangku kepentingan yang bertujuan meningkatkan efektivitas kerjasama pembangunan dan berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Poin pencapaian SDGs ini menjadi concern Stube HEMAT untuk ambil bagian dalam workshop online yang diinisiasi YAKKUM berupa Workshop dan Dialog Inklusi Kampala Principles di Indonesia: Peluang Kolaborasi Pemerintah – Swasta – Organisasi Masyarakat Sipil untuk Efektivitas Pembangunan (Kamis, 18/04/2014). YAKKUM sebagai anggota GPEDC di Indonesia yang mengikuti pelatihan monitoring sejauh mana pemerintah dan pihak swasta melibatkan masyarakat sipil dalam kerjasama pembangunan, seperti yang ditekankan oleh GPEDC dan Kampala Principles sebagai pedomannya, YAKKUM mendapat mandat untuk untuk melaporkan progress di Indonesia paska monitoring tahun lalu.
Dalam paparannya, Rita Tri Haryani dari Pusat Rehabilitasi YAKKUM, memaparkan pertemuan untuk mensosialisasikan hasil survey dan konsultasi Kampala Principle Assessment di Indonesia dan menginisiasi dialog inklusif untuk peluang kerjasama kemitraan yang efektif antara Pemerintah, Sektor Swasta dan organisasi masyarakat sipil. Sehingga, diharapkan para pemangku kepentingan mengetahui gap dari pelaksanaan Kampala Principles, khususnya terkait kerjasama antara sektor swasta dengan organisasi masyarakat sipil, dan memperkuat kerjasama kemitraan yang efektif antara pemerintah, sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil dalam kerjasama pembangunan.
Lanjutnya, Kampala Principles mencakup: 1) kepemilikan negara yang inklusif dengan memperkuat koordinasi, penyelarasan dan pengembangan kapasitas di tingkat negara; 2) hasil dan dampak sesuai target pembangunan berkelanjutan melalu skema yang menguntungkan semua pihak; 3) kerjasama yang inklusif dengan membangun kepercayaan melalui dialog dan konsultasi yang inklusif; 4) tranparansi dan akuntabilitas dengan mengukur dan menyebarluaskan hasil pembangunan berkelanjutan; 5) tidak seorang pun yang tertinggal, dengan mengidentifikasi, menanggung bersama dan memitigasi risiko bagi seluruh pihak.
Narasumber berikutnya, Rokhmad Munawir dari YAPPIKA (Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia). YAPPIKA bergerak pada advokasi kebijakan dan perbaikan layanan publik di Indonesia. Dalam paparannya disampikan salah satu programnya, yaitu sekolah aman, dimana pendidikan sebagai hak dasar, sekolah menjadi tempat yang inklusif dan aman, melalui peningkatan kualitas sanitasi sekolah, fasilitas sekolah dan bebas dari kekerasan. Lebih lagi, ia juga mengungkap ragam donor yang berpartisipasi dalam mendukung program kegiatan berasal dari publik, donasi institusi, filantropi, CSR perusahaan dan multifunding.
Beta Wicaksono, dari Community Relation Exxon Mobil Cepu Limited, menyampaikan bahwa tambang minyak perusahaan mencakup wilayah Cepu, Tuban dan Bojonegoro, sehingga prioritas dari perusahaan memang untuk pengembangan masyarakat di tiga kawasan itu, selaras dengan rencana pembangunan daerah. Bentuk tanggungjawab sosial perusahaan ada beberapa, di antaranya peningkatan sumber daya manusia melalui pusat pelatihan guru, pelatihan pengrajin anyaman, termasuk kontrol kualitas dari penyedia pasar kerajinan, penyediaan instalasi sanitasi dan biogas, dan renovasi pasar setempat
Dari pertemuan tersebut muncul gagasan untuk mewujudkan komunikasi lebih intens antar organisasi masyarakat sipil dalam wujud koordinasi dan sharing informasi peluang kerjasama dengan pemerintah maupun pihak swasta, sehingga antar organisasi masyarakat sipil semakid solid dan kehidupan masyarakat meningkat. ***
Inisiasi kebun dan sanggar belajar di Gunungkidul merupakan salah satu langkah Stube HEMAT Yogyakarta dalam menerapkan teori dan praktek dari program kegiatan yang telah diadakan sebelumnya, meliputi keragaman pangan, pemanfaatan air, pertanian terpadu dan kewirausahaan sosial. Mahasiswa dan siapa pun bisa belajar sambil praktek di tempat ini sesuai dengan topik yang diminati
Beberapa wahana belajar yang dibuat antara lain tentang pertanian terpadu, seperti keragaman tanaman pangan dengan menanam tanaman berdasarkan panen yang bisa didapatkan, seperti panen akar berupa singkong dan empon-empon; panen batang seperti tebu; panen daun seperti sawi, bayam, daun singkong, kangkung dan katu; panen bunga seperti bunga pepaya dan kecombrang; panen buah, seperti terong, tomat, cabe, kacang panjang, dan bestru
Wahana belajar lainnya adalah kolam terpal untuk memelihara ikan sebagai sumber pangan dan protein, sementara airnya bisa dimanfaatkan untuk menyiram tanaman. Mengapa menggunakan terpal? Ini menjawab tantangan kondisi tanah di Gunungkidul yang cenderung berkapur dan berporositas tinggi sehingga perlu alat agar air tidak cepat meresap. Tantangan lain dalam aktivitas bertani, misalnya penyiraman lebih cocok menggunakan penyiraman tetes, karena diperhitungkan lebih hemat tenaga dan efisien kebutuhan airnya dibanding metode kocor dan genangan. Di sini mahasiswa bisa mempelajari ragam teknik penyiraman dan merakit instalasinya, sehingga mereka bisa memilih dan menerapkan sistem yang cocok di tempat mereka tinggal.
Jamur tiram yang dibudidayakan dalam kubung jamur melengkapi keragaman pangan di kebun ini dengan produksi jamur tiram segar. Jamur tiram sendiri dalam 100 gram memiliki kandungan nutrisi antara lain: energi 30 kkal, protein 1,90 g, 0,10 g karbohidrat 5,50, vitamin B1, b2 dan serat pangan (https://nilaigizi.com/gizi/detailproduk/472/nilai-kandungan-gizi-jamur-tiram-segar). Mahasiswa dan siapa pun yang tertarik bisa mendalami budidaya jamur tiram, serta belajar mengolah hasil jamur tiram menjadi jamur crispy, keripik jamur, kaldu jamur dan abon.
Sebagai penunjang media belajar di kebun ini, mahasiswa juga bisa mendalami bentuk pemanfaatan air hujan yang diolah melalui instalasi pengolahan air hujan sebagai proses elektrolisis.Tak ketinggalan, beberapa spot untuk camping ground melengkapi kebun Stube HEMAT.
Belajar adalah ‘Lifelong learning’ dimana seseorang bisa terus belajar dengan senang hati dan berkelanjutan untuk mengembangkan diri dan itu berlangsung sepanjang usia. Stube HEMAT Yogyakarta hadir sebagai wahana belajar untuk semua.***
Dalam dunia kerja, kaum perempuan menghadapi tantangan yang lebih keras dibandingkan dengan laki-laki karena beberapa situasi seperti: dianggap melakukan pekerjaan dengan kualitas rendah sehingga mendapat upah yang lebih rendah, kesempatan berkembang yang lebih kecil di masa depan, dan beragam situasi lainnya. Beberapa realita ini menjadi pemahaman bagi perempuan untuk melihat gap dalam dunia kerja dan menjadi bekal menghadapi tantangan dunia kerja yang lebih keras. Dengan memakai cara pandang baru, perempuan menjadi kaum pembelajar dengan pikiran terbuka sehingga mereka menjadi lebih berkualitas dan mampu menemukan pekerjaan alternatif berdasarkan hobi dan ketertarikan mereka. Selain itu perempuan juga bisa aktif membuat kegiatan di komunitas mereka.
Berikut ini beberapa pengalaman dan pendapat dari aktivis perempuan Stube HEMAT Yogyakarta yang bekerja di kampung halaman maupun berbagai daerah lainnya.
Deby Koro Dimu, saat ini ia bekerja sebagai guru di pedalaman Papua, tepatnya di Afu-afu, Teluk Arguni Atas. Kampung ini bisa dicapai dari Kaimana menggunakan speed boat selama empat jam. Ia sendiri berasal dari pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur. Setelah wisuda jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di salah satu kampus di Yogyakarta, ia mendaftar sebagai pengajar di pedalaman dan ditempatkan di Papua Barat.
Tentang perempuan dan dunia kerja ia mengungkapkan bahwa memang dalam dunia kerja selalu ada perbandingan antara perempuan dan laki-laki, terkadang perempuan menjadi pilihan terakhir untuk mendapat kesempatan yang sama, contohnya menjadi pemimpin, berkaitan dengan perwakilan, dan pengambil keputusan. Ini muncul karena pengaruh budaya dan persepsi masyarakat dimana perempuan dianggap jiwanya lemah, apalagi di daerah pelosok, karena notabene perempuan cenderung menjadi ibu rumah tangga dan minim ruang bekerja formal.
Ia menemukan pencerahan ketika masuk dunia kerja dan menemukan jati diri bahwa ia mampu untuk menjelajahi dunia yang lebih luas dan menantang dirinya mengelola beberapa situasi sulit secara mandiri yang sebelumnya ia pikir belum mampu menanganinya. Contohnya, ketika ia mendapat ruang bekerja dan mengambil keputusan untuk bekerja di tempat jauh, di Kaimana, Papua Barat. Di tempat ia bekerja, ia menemukan hal-hal berharga, karena saat perempuan mendapat ruang yang sama dengan laki-laki, tidak dipungkiri bahwa sebuah pekerjaan akan lebih inklusif, sehingga perlu memastikan ketika perempuan terlibat, yang bersangkutan harus tetap aman, nyaman dan mampu melakukan.
Susana Sinar, mengungkapkan pengalamannya tentang perempuan dan dunia kerja. Awalnya ia bekerja di salah satu toko souvenir di Labuanbajo. Selama bekerja ia merasa nyaman karena mendapat apresiasi dan tanggapan baik di masyarakat dan lingkungan kerja. Ia bekerja sebagai staff marketing setelah melalui beberapa tahapan seleksi terbuka yang diikuti laki-laki dan perempuan. Dalam perjalanan karirnya, Susana memutuskan untuk berganti profesi. Saat ini ia bekerja di kantor desa Kaju Wangi, Kecamatan Elar, Manggarai Timur. Ia menjadi bagian dari lima perempuan dari empat belas perangkat desa. Menurutnya, hal ini adalah sebuah kemajuan karena perempuan dilibatkan dalam proses pembangunan desa.
Dari pengalamannya, saat ini tidak ada lagi hambatan bagi perempuan untuk bekerja, ada beragam kesempatan kerja, tinggal bagaimana perempuan mampu mengoptimalkan kemampuannya atau tidak. Selama ia bekerja di perusahaan maupun di pemerintahan, Susana melihat bahwa ketika seseorang punya kemampuan dan keterampilan maka ia pasti diterima, dihargai, dan dipercaya, sehingga ia mengingatkan pentingnya upgrade diri, berani berproses dan berkompetisi.
Mutiara Srikandi, mengungkapkan bahwa persepsi yang berkembang di daerahnya, perempuan itu punya batas; pertama, batas umur menikah; kedua, batas untuk karir. Budaya konvensional yang menempatkan laki-laki adalah pihak yang harus diurus dan dihormati, menjadi penghalang perempuan mengubah persepsinya untuk berusaha lebih maju. Menjadi sebuah ironi kalau perempuan punya karir lebih bagus, ia akan menjadi pihak yang disalahkan, juga seandainya punya pendidikan lebih tinggi, perempuan juga bisa disalahkan karena stigma sosial yang terbentuk kalau perempuan hadir untuk melayani dan mengurus keluarga.
Menurutnya, idealnya perempuan perlu mendapat ruang untuk bertumbuh, mendapat kepercayaan yang lebih luas dan didengarkan aspirasinya sehingga bisa melakukan suatu hal berbeda dan lebih baik, dan bahkan terobosan baru.
Mutiara sendiri merupakan seorang aktivis muda yang enerjik, alumnus Desain Interior di salah satu kampus di Yogyakarta dan aktif di Stube HEMAT Yogyakarta saat masih kuliah di Yogyakarta. Saat ini ia tinggal di Bandung dan menjalankan bisnis dengan brand Heloska.id dan merintis kursus bahasa Inggris.
Dari beberapa ungkapkan pengalaman perempuan muda di atas, ketika kaum perempuan menemukan kekuatannya untuk berkembang dalam menjawab tantangan pekerjaan, maka ia menjadi pemecah stigma tentang perempuan yang lemah dan terbatas, bahkan perempuan bisa melakukan terobosan melampaui apa yang publik pikirkan. Mari anak muda, khususnya kaum perempuan, berani dan siap menyambut tantangan dunia kerja ke depan. Perempuan pasti bisa.***
“Saya memilih keripik bayam!” Pernyataan di atas diungkapkan oleh Septyn Sihombing saat kuliah di Universitas Teknologi Yogyakarta program studi Sastra Inggris dengan konsentrasi bisnis. Salah satu mata kuliah adalah kewirausahaan. Salah satu tugas dari mata kuliah ini memproduksi sebuah produk dan memasarkannya. Septyn bersama dengan kelompoknya memilih produk dengan bayam sebagai bahan utamanya. Gagasan ini muncul dari kegiatan Stube HEMAT Yogyakarta tentang keanekaragaman pangan, pengolahan pangan dan ide-ide wirausaha. Di kegiatan ini para peserta belajar tidak tidak hanya mengenal potensi pangan di sekitarnya tapi juga mengembangkan kreativitas yang menghasilkan uang.
“Alasan saya memilih keripik bayam sebagai produk snack yang dipromosikan, karena bayam memiliki banyak manfaat terutama untuk kesehatan, familiar di masyarakat dan harga terjangkau. Produk snack ini biasa dikonsumsi oleh berbagai kalangan, jadi snack yang dihasilkan tak hanya enak namun bergizi bagi tubuh,” jelasnya. Ada beberapa jenis bayam yang sering dijumpai di Indonesia, dengan ciri khas masing-masing: 1) Amaranthus viridis, berdaun lebar tapi kecil, batang berwarna hijau dan bunga berwarna hijau kemerahan, bijinya mudah diambil. 2) Amaranthus dubius, berdaun kecil dan tidak panjang berwarna warna hijau dan merah, batangnya memiliki duri kecil di ketiak daun, bunga berwarna hijau. 3). Amaranthus palmeri, memiliki daun berwarna hijau pekat dengan ukuran sedang, batangnya hijau pekat, dan bunga berwarna hijau pekat, namun memiliki nutrisi paling tinggi. 4) Amaranthus hybridus, sebagai silangan bayam merah dan hijau secara alami, berdaun besar berwana hijau dengan bunga menggerombol. 5) Amaranthus cruentus, bayam merah, dengan permukaan daun berwarna merah dan kehijauan di permukaan sebaliknya.
Keripik bayam bisa menjadi snack alternatif karena memiliki beberapa keunggulan, yaitu pertama, penikmat snack tidak hanya makan snack tapi juga mendapat gizi dari bayam; kedua, produk keripik bayam ini tidak menggunakan MSG; ketiga, keripik bayam cocok menjadi snack alternatif dengan ukuran kemasan yang pas ketika dibawa jalan-jalan dan disantap setiap saat; dan keempat, keripik bayam memiliki masa kadaluwarsa yang cukup lama sampai beberapa bulan.
Dalam proses produksi, ada tantangan yang dihadapi seperti adonan terlalu encer atau terlalu kering, karena masih mencari takaran yang pas, proses gilas manual menggunakan tangan dengan roll kayu dan cetak adonan menjadi segitiga menggunakan pisau. Jika adonan terlalu keras akan sulit mencapai ketebalan yang pas, dan keripik bayam belum benar-benar matang, sedangkan jika adonan terlalu lembek akan sulit diangkat mudah pecah karena menempel pada alas, sehingga harus mencetak ulang. Selain itu, ukuran api saat menggoreng juga menentukan tingkat kematangan dan warna keripik.
Produk keripik bayam ini dipasarkan saat ekspo produk mahasiswa yang diadakan di kampus. Konsumen merespon keripik bayam dengan baik. Mereka tertarik dan antusias saat membeli keripik bayam karena unik terbuat dari bayam, terlebih ada varian rasa yang tersedia, seperti jagung manis dan balado selain rasa asli.
Septyn menekankan bahwa dalam dunia kerja yang perlu diingat adalah mempersiapkan diri sejak dini dengan kepercayaan diri, kemampuan dan kreativitas, mengikuti program magang atau kerja paruh waktu yang relevan dengan bidang studi, termasuk membangun jejaring melalui seminar, workshop, atau acara lain yang dapat membantu terhubung dengan orang-orang di bidang yang diminati. Mari anak muda, mulai mengenali kemampuan diri dan membuat terobosan! ***
“...daripada saya sibuk menantikan pekerjaan, mending saya membangun pekerjaan sendiri.” Pernyataan menarik ini muncul dari Rexine Yeralvany Riwu, seorang fresh graduate yang masih mencari pekerjaan tetap, tapi karena tinggal di Sumba Timur, ada keterbatasan kesempatan kerja yang sesuai dengan latar belakang ilmu dan minat yang ia miliki. Selanjutnya ia berpikir bagaimana memanfaatkan apa yang ia punya dan potensi yang sudah ia kembangkan selama kuliah, antara lain talenta berbahasa Inggris, menang dalam lomba bahasa Inggris, mengikuti pertemuan international dan personal branding yang cukup baik. Setelah sebulan berada di kampung halaman, banyak orang bertanya, "Non, segera buka les bahasa Inggris, kami mau daftarkan anak-anak kami ikut les." Dari sini, ia berpikir, kenapa tidak untuk membangun les bahasa Inggris meski dengan modal terbatas dari tabungan dan memanfaatkan teras rumah.
Rexine Yeralvany Riwu, seorang muda dari Waingapu, Sumba Timur, seorang fresh graduate Sarjana Terapan Pariwisata, atau S.Tr.Par. dari Universitas Merdeka, Malang, Jawa Timur. Saat ini ia merintis usaha bisnis crochet atau rajut dan English Course. Meski kuliah di Malang, Ine pernah ikut dalam beberapa kegiatan Stube HEMAT Yogyakarta antara lain Communications Skill, produksi video pendek dan diskusi dengan mahasiswa internasional, dimana ia belajar hal-hal baru bersama Stube HEMAT, membuka jejaring dan membantu meningkatkan kepercayaan diri. Lebih lanjut lagi tentang kursus bahasa Inggris, ia memfokuskan untuk anak anak dan remaja yang mau dan serius belajar bahasa Inggris. Ia pernah menjadi seorang pelajar yang belajar bahasa Inggris secara formal dan mata pelajaran tersebut membuatnya takut, jadi ia ingin peserta tumbuh rasa cinta belajar bahasa inggris dengan metode belajar riang dan menyenangkan.
Ia memakai nickname kelas kategorial, yaitu, El Rapha, El Nissi, dan El Shaddai. Ternyata ini berkaitan dengan kenangan di Malang dimana ia melayani Sekolah Minggu di salah satu gereja di Malang sebagai Guru Sekolah Minggu. Ini menjadi bekalnya untuk menghadapi anak-anak dalam merintis kursus bahasa Inggris. Ada juga pesan yang selalu ia ingat, yaitu "biarkan anak-anak belajar sesuai kemampuan kepalanya" jadi kelas-kelas bahasa Inggris dengan nickname di Sekolah Minggu saat itu.
Satu bulan pertama ia belum menemukan kendala yang berarti, ia terbantu dengan kemajuan teknologi dimana bahan ajar dan banyak materi tersedia di internet untuk menunjang aktivitas kursus. Tantangan justru datang dari luar, seperti jadwal les peserta bersamaan dengan jadwal kegiatan lain maupun aktivitas di rumah, sehingga harus pintar membagi waktu. Ia terkejut dengan progres sebulan terakhir, bahkan terheran-heran, karena peserta les yang di awal mengatakan tidak suka bahasa Inggris, tapi ternyata saat ujian tulis dan lisan mereka lancar dan hasilnya baik. Ia bangga karena mereka belajar sungguh-sungguh dan akhirnya menyukai bahasa inggris. Saat materi yang diberikan cukup berat, ia memodifikasi metode belajar, melalui video dan audio, atau lagu dan permainan. Ia juga menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia agar pembelajar bisa memahami lebih cepat.
Ine berharap, akan ada banyak anak-anak Sumba bersemangat belajar bahasa Inggris dan bisa. Saat ini Sumba sudah berhasil menarik mata dunia atas potensi pariwisata yang tak kalah dengan wilayah lain di Indonesia. Potensi ini harus diimbangi tersedianya Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Tak kalah penting dukungan orang tua untuk membekali skill untuk anak-anak mereka. Satu impian, ia ingin mewujudkan tempat belajar yang nyaman dan menyenangkan untuk anak-anak, mereka bisa belajar dengan penuh cinta setiap hari. Berbahasa menjadi bisa karena terbiasa. Mari, anak muda, bangun pekerjaanmu sendiri!
Catatan: Foto-foto koleksi Ine Riwu.
Stube HEMAT Yogyakarta menerima kunjungan Heidrun, Ludger dan Noemia. Khususnya dengan Heidrun, ini perjumpaan ketiga, setelah dua perjumpaan sebelumnya terjadi di Wittenberg, Jerman tahun 2017 dalam kegiatan International Youth Camp memperingati 500 tahun Reformasi Gereja. Dalam kunjungannya di Yogyakarta, Stube HEMAT Yogyakarta membersamai dalam beberapa kegiatan (3-4/2/2024)
Aktivitas yang dilakukan antara lain mengamati kebun sayuran dan budidaya jamur tiram di kebun Stube HEMAT di Gunungkidul. Trustha menjelaskan keberadaan kebun Stube HEMAT yang ada di Gunungkidul sebagai ruang aktivitas mahasiswa Stube HEMAT dan siapa pun yang berminat untuk belajar termasuk anak-anak. Di dalamnya ada beragam hal yang bisa dipelajari, dari sayuran berdasar jenis panen yang bisa didapatkan, apakah dari akar, batang, daun, bunga dan buah. Ada juga bentuk integrasi kolam ikan dan irigasi tanaman sayur. Trustha Rembaka memaparkan kepada mereka cara perawatan baglog dari datang, pemeliharaan, cara panen dan pascapanen, termasuk pemasarannya. Heidrun sendiri sangat mencermati pemeliharaan jamur tiram, dengan baglog yang ditata di rak vertikal. Bahkan, ia juga berkesempatan memetik sendiri jamur tiram yang siap panen.
Selain di Gunungkidul, kunjungan juga berlangsung di Yogyakarta, di sekretariat Stube HEMAT Yogyakarta. Ariani Narwastujati memandu mereka mempelajari batik sebagai warisan budaya. Di tahap awal mereka membayangkan pola batik, menggambarnya di selembar kain. Selanjutnya mereka menorehkan cairan lilin panas melalui canting pada selembar kain. Tahap lanjutnya adalah mewarnai pola gambar yang telah mereka gambar tadi dengan teknik colet. Ini menjadi pengalaman pertama mereka membatik. Mengenal kota Yogyakarta beserta sumbu filosofisnya menjadi hal menarik, dimulai dari tugu pal putih sebagai icon kota Yogyakarta, menyusuri jalan Margautama, Malioboro, Margamulya dan Pangurakan sampai ke Kraton. Poros ini melambangkan keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam, ini juga termasuk kesatuan unsur api, tanah, air, dan angin. Keberadaan Sumbu Filosofi dengan makna yang dalam ini sudah mendapat pengakuan dari UNESCO.
Stube HEMAT Yogyakarta sebagai lembaga pendampingan dan pengembanganan Sumber Daya Manusia membuka kesempatan bagi mitra di luar negeri maupun dalam negeri, mahasiswa maupun siapapun yang tertarik untuk belajar batik bagi pemula, pendampingan belajar, live-in, dan berkebun. Silakan bisa menghubungi +62 821-3430-4524 (Ariani) atau email [email protected] . Viva Stube HEMAT, Hidup Efisien Mandiri Analitis dan Tekun.***
Ketika berbincang tentang ketahanan pangan, muncul persepsi tentang ketersediaan pangan. Ya, ketahanan pangan menjadi poin penting dalam eksistensi suatu bangsa, ketika suatu bangsa memiliki ketersediaan pangan yang cukup akan mendukung pembangunan dan stabilitas bangsa tersebut. Indonesia sendiri berkaitan ketahanan pangan sudah dirumuskan dalam Undang Undang No 18/2002, Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan. Tantangan selanjutnya adalah tercukupi pangan dengan pasokan bahan pangan yang didapatkan dari dalam negeri, alias mandiri pangan.
Pemikiran di atas dikaitkan dengan slogan ‘Think globally, act locally’ atau ‘berpikir global, bertindak lokal’ yang digaungkan di antara mahasiswa Stube HEMAT Yogyakarta. Para mahasiswa memiliki wawasan yang luas berkaitan ketersediaan pangan, mana yang bisa dicukupi dari dalam negeri dan mana yang harus impor. Kemudian mereka didorong untuk bertindak secara lokal, artinya mempraktekkkan usaha mencukupi ketersediaan pangan sesuai dengan kemampuan mereka dan di lingkup terdekat mereka. Ini juga memperkaya wawasan mereka, ketika kembali ke daerah asal, untuk memetakan kebutuhan rumah tangganya atau bahkan peluang wirausaha berbasis pangan, dengan menyediakan bahan pangan yang sebelumnya harus disuplai dari luar daerahnya menjadi bisa dipenuhi dari daerah sendiri.
Dalam diskusi, para mahasiswa mencoba mengidentifikasi apa yang bisa mereka lakukan, dan akhirnya mereka memilih untuk menanam bayam di kebun Stube HEMAT Yogyakarta yang terletak di Wonosari Gunungkidul. Ada beberapa jenis bayam yang mereka tanam, antara lain bayam hijau, bayam daun dan bayam Brazil. Selain menanam bayam, mereka juga mempraktekkan membuat instalasi irigasi tanaman memanfaatkan pipa dan ember bekas. Di sepanjang pipa dengan panjang 3 meter dan diameter 2 cm terdapat lobang halus untuk air menetes dengan jarak tertentu sesuai dengan jarak tanaman. Ini menjadi alternatif solusi efektivitas kebutuhan air karena air terdistribusi pada tanaman dan efisien dalam jumlah air yang dibutuhkan untuk menyiram. Ember-ember bekas ini merupakan hibah dari kantor Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Kartamantul untuk mendukung kegiatan Stube HEMAT Yogyakarta (16 & 21/1/2024).
Metode belajar sambil praktek yang mahasiswa lakukan diharapkan bisa menjadi pemicu munculnya gagasan-gagasan lanjutan dari para mahasiswa, baik ketika masih kuliah di Yogyakarta maupun ketika sudah berada di kampung halamannya dengan mengoptimalkan pekarangan tempat tinggal atau mengolah bahan pangan untuk dijual. Namun demikian, sebagai proses belajar, tentu tidak menihilkan potensi kegagalan, jika mengalami kegagalan, malah menjadi bahan analisa mengapa terjadi.
Ke depannya, keberadaan kebun Stube HEMAT di Gunungkidul menjadi wahana belajar untuk semua, mahasiswa, pelajar, anak-anak, komunitas dan mereka yang berminat tentang ragam tanaman pangan, integrasi pertanian – ikan – ternak, budidaya jamur, mini camping dan pengelolaan pekarangan pangan berkelanjutan demi mewujudkan ketahanan pangan. ***
Pas Sudah! Ya, ini adalah brand dari sambal pedas yang dirintis oleh Kresensia Risna Efrieno, salah satu aktivis Stube HEMAT Yogyakarta. Ia merintis entrepreneur berbasis kuliner setelah melalui proses panjang, tak hanya bermodal semangat tetapi bekal tentang pangan dan wirausaha yang ia dapatkan dari rangkaian kegiatan di Stube HEMAT Yogyakarta yang diikutinya, antara lain Teknologi Digital, Inisiatif Pangan Lokal, Kewirausahaan Sosial dan Ekonomi Kelautan.
Pilihan menekuni usaha bisnis sambal pedas karena sambal menjadi menu tambahan, bahkan bisa dikatakan sambal sudah menjadi menu wajib bagi para peminat pedas. Selain itu, ia mampu ‘meramu’ racikan bahan-bahan menjadi sambal yang khas, pedas dan membuat orang ketagihan. Dalam pembuatan sambal pedas ini, ia menggunakan bahan-bahan pilihan dari cabe rawit, cabe merah keriting, tomat dan ikan laut. Bahan lainnya adalah bawang merah, bawang putih, lada, garam dan gula.
Harus diakui bahwa cabe menjadi bahan pangan yang ‘menantang’ karena cabe menjadi salah satu komoditas pangan yang rentan fluktuasi harga, bahkan harga bisa berubah dalam hitungan hari. Karena itu suplai cabe untuk sambal ini berasal dari petani langsung, sehingga masih fresh petik dan menguntungkan petani. Penggunaan cabe dan tomat fresh petik dari petani menjadi nilai lebih dari produk ini.
Penyajian Sambal Pedas Pas Sudah! dalam botol kemasan tutup merah dengan netto 150 gram, sehingga praktis untuk dibawa. Produk ini dijual dengan harga Rp 20.000 per botol. Dengan penjualan pre-order dan penjualan langsung, saat ini pemasaran produk Sambal Pedas Pas Sudah! menjangkau Yogyakarta dan sekitarnya dengan beragam konsumen dari mahasiswa, keluarga, profesional muda dan umum, untuk konsumsi sendiri, barang hantaran dan sebagian lagi menjadi oleh-oleh untuk dibawa ke daerah lain.
Beberapa konsumen Sambal Pedas Pas Sudah! pun memberikan testimoni, seperti “Mantul banget sambelnya, pedas pas, bikin nagih juga, tadi ada juga teman kost yang coba dia suka tapi dia tidak kuat pedas, tapi mau lagi. (Mensiana, mahasiswa di Yogyakarta), “Rasa udah pas di lidah, buat makan cuma pake sambal ini aja dah habisin nasi. makasiihh sukses selalu, GBU” (Santi Ratri, ibu rumah tangga di Sleman), “Untuk sambal Pas Sudah!, secara keseluruhan rasanya sudah pas, pedesnya pas (bersahabat), rasa manisnya juga tidak terlalu dominan, harga murah” (Elisabeth Frida, guru di Palembang), “Pedasnya mantap, langsung kemepyar, manis asin keren, slow di lidah, ikan pindangnya juga nendang, makin komplit nikmatnya.” (Eko Madyo Asih, bidan di Semarang).
Ke depannya, Kresensia, sang perintis terus meningkatkan kualitas produk dari bahan-bahan yang terbaik, konsistensi rasa dan penampilan. Ia juga memiliki mimpi Sambal Pedas Pas Sudah! menjadi produk alternatif penikmat sambal pedas dan menjadi oleh-oleh dari Yogyakarta yang dikonsumsi di berbagai kota-kota di Indonesia. Terima kasih Stube HEMAT Yogyakarta, telah menjadi rumah inspirasi mahasiswa.***
Stube HEMAT & KKN-PPM UGM 2023/2024.
Kaum ibu menjadi penggerak keluarga, khususnya dalam memilah sampah dan penggunaan barang dan bahan ramah lingkungan. KKN-PPM UGM 2023/2024 wilayah Jaten, Jomblang dan Bolawen mencoba berkontribusi dengan mengenalkan tanaman Luffa aegyptiaca yang dikenal luas oleh masyarakat dengan nama bestru, gambas, atau termemes. Dengan menggandeng lembaga Stube HEMAT (stube-hemat.or.id) yang sudah berkecimpung mengelola dan mengembangkan tanaman ini menjadi organic sponge dengan merek ADE’WASH sebagai pengganti spon cuci plastik, para mahasiswa KKN-PPM UGM 2023/2024 mengadakan sosialisasi dalam pertemuan ibu-ibu PKK, dusun Sendangadi, Mlati-Sleman. Pertemuan berlangsung di Joglo sekolah TK Rumahku Tumbuh, Jomblang (Minggu, 14/01/2024). Dari pertemuan ini diharapkan ibu-ibu bisa menjadi pioneer mengurangi sampah plastik dan memelihara alam.
Tanaman Luffa aegyptiaca merupakan tanaman tropis yang tumbuh merambat dan tidak memerlukan perlakuan khusus seperti pemupukan intensif. Tanaman ini bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dengan sinar matahari yang cukup, dan tentu saja dengan kecukupan air sebagaimana tanaman pada umumnya. Ariani Narwastujati, S.Pd, S.S., M.Pd, direktur eksekutif Stube HEMAT menyampaikan bahwa sudah bisa memanen buah Luffa dua bulan kemudian. Dalam waktu 6 bulan, tanaman ini berbuah dengan luar biasa, terlebih apabila diberi tempat tumbuh merambat dan bergantung (anjang-anjang). Buah yang dihasilkan bisa mencapai panjang 85 cm dengan diameter 10 cm. Luffa muda bisa dikonsumsi sebagai sayuran kaya serat yang bagus untuk kesehatan, sementara yang tua bisa dimanfaatkan sebagai serat organik untuk sponge cuci piring dan alat dapur lainnya, serta sebagai peralatan mandi pembersih kulit yang membantu kelancaran sirkulasi darah. Enam bulan pertama menjadi masa panen terbaik dengan buah besar dan panjang, selebihnya, buah mengalami pengurangan ukuran, baik panjang dan besarnya, sehingga siap untuk diregenerasi.
Ibu-ibu yang hadir mengakui belum ada tanaman ini di wilayah dusun mereka, sehingga mereka antusias untuk menanam. Ada satu ibu yang mengakui bahwa dulu dimasa kecilnya pernah melihat dan memakai buah ini untuk cuci piring, namun dengan berjalannya waktu, tanaman ini sudah tidak ditemui lagi dan berganti dengan sponge plastik untuk cuci piring. Sosialisasi dari para mahasiswa KKN-PPM UGM 2023/2024 ini sangat bermanfaat mengingatkan kembali kearifan lokal yang sebenarnya sudah dimiliki oleh masyarakat dengan memakai sponge cuci organik yang bisa terurai di tanah saat sudah tidak terpakai lagi dan menjadi sampah.
Pada kesempatan itu para mahasiswa KKN-PPM UGM 2023/2024, sub unit 2 Jomblang menyerahkan 50 pax sponge organik siap pakai, 50 pax benih Luffa, dan 4 polybag tunas Luffa siap tanam. Penyerahan diwakili oleh David Pamerean Budiarto dan diterima oleh Tuti, sesepuh ibu-ibu PKK setempat, mewakili ibu kepala dusun yang berhalangan hadir. Diharapkan pada tiga bulan kedepan, ibu-ibu sudah bisa panen Luffa, membuat produk turunan dari buah tersebut dan bisa mendapatkan income tambahan.
Pertemuan bersama ibu-ibu PKK dusun Jomblang merupakan kesempatan baik dan bermanfaat untuk memberi informasi kepada kelompok perempuan, yang mengikutinya dengan penuh antusias dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada materi lain yang disampaikan mahasiswa, seperti Pupuk Organik dan Aplikasi Pemantauan Tumbuh Kembang Anak. Perempuan pasti bisa! ***