Anak Singkong Yang Meraja

pada hari Rabu, 24 Juli 2024
oleh Ariani N

        

 

Aku ini hanya anak singkong…..masih ingatkah pembaca penggalan lagu yang berjudul ‘Singkong dan Keju’ yang diluncurkan Bill & Brod pada tahun 1986? Lirik-lirik lagunya menggelitik dengan gambaran disparitas antara singkong dan keju. Jelas dalam benak pendengar gap yang terjadi antara anak singkong sebagai gambaran kesederhanaan dan anak keju sebagai gambaran golongan atas yang  serba glamour dengan mengejar gengsi semata. Dalam kesimpulan akhir lagu tersebut dinyatakan bahwa antara singkong dan keju merupakan sesuatu yang tidak sama levelnya, sehingga  secara tidak sengaja lagu ini menanamkan ketidakbanggaan atas singkong atau juga disebut ketela yang dalam bahasa latinnya adalah Manihot esculenta atau Manihot utillissima.

Gambaran di atas menjadi jungkir balik, tatkala kita berkunjung ke gerai ketela keju D-9 di Kampung Ledok-Ngaglik, Salatiga. Dengan desain modern, kafe ketela keju D-9 ini tidak pernah sepi dikunjungi para konsumen yang ingin menikmati lezatnya olahan singkong seperti, singkong keju goreng, cemplon, combro, klenyem, pastel, dan aneka olahan makanan lain berbasis ketela. Pengunjungpun bisa merasakan kenyang meski tanpa nasi sebagaimana dikonsumsi sehari-hari.

 

 

 

 

Bersama para perempuan RT 59, yang menyukai tantangan, saya menjelajah kampung singkong dimana ketela keju D-9 diproduksi. Petunjuk arah yang berada di sudut pertigaan menggambarkan bahwa kampung ini menggeliat dengan produksi singkong, ada arah menuju brownies ‘telo’, nugget singkong, singkong kriwil, gethuk, dan semesta (olahan singkong). Rumah produksi berada sekitar 300 meter dari kafe yang bisa ditempuh dengan jalan kaki. Sebuah rumah besar tempat aktivitas para karyawan memulai produksi, dari merendam, memotong, mengupas, mencuci, mensortir, menggoreng dan membuat berbagai olahan singkong. Enam setengah ton singkong setiap hari menjadi bahan baku kafe ketela keju D-9. Bukan sebuah bisnis singkong main-main, tetapi bisa lebih dikatakan menjadi gurita bisnis singkong, dengan diawali seorang Hardadi berjualan dengan gerobak gorengan singkongnya di lapangan Pancasila Salatiga tahun 2009, yang saat ini mampu merekrut 120an karyawan dengan upah layak, bahkan banyak tenaga perempuan direkrut di tempat ini. Anak singkong itu sudah menjadi raja di Salatiga bahkan gaung bisnisnya sudah membuat Kick Andi dan Dedy Corbuzier mengundangnya ke Jakarta untuk menceritakan usaha persingkongan tersebut.

 

 

Kafe singkong keju D-9 tidak hanya menjual olahan singkong, namun juga menawarkan wisata edukasi bagaimana olahan tersebut diproses, sekaligus praktek membuatnya. Sebuah aula dengan luas cukup memadai di atas kafe, menampung kami semua untuk mendengarkan sejarah D-9 ini dirintis. Hal yang paling menarik adalah nama D-9 yang cukup menjual saat ini merupakan nama bilik penjara dimana Hardadi pernah beberapa bulan menghuninya karena tersandung narkoba, yang menjadi sebuah titik balik perubahan hidup yang luar biasa. Pertobatan, kerja keras, kesungguhan dan kolaborasi dengan dinas-dinas setempat seperti dinas Perindustrian dan UMKM, dinas pariwisata, kementerian pertanian serta pihak-pihak lain membuat usaha ini berkembang pesat.

 

 

Bangga dengan potensi lokal menjadi langkah awal dalam mengembangkan segala sesuatu. Silahkan temukan potensi lokal daerah masing-masing dan jadilah raja, seperti anak singkong yang saat ini menjadi raja. ***

 


  Bagikan artikel ini

Pertajam Pikiran Dan Perhalus Perasaan

pada hari Sabtu, 6 Juli 2024
oleh Stube HEMAT Yogyakarta

       

 

Karya sastra merupakan ekspresi pikiran dalam bentuk tulisan yang bisa dipakai untuk mengungkapkan fakta kehidupan manusia dengan berbagai persoalan yang dihadapinya secara artistik dan imajinatif, yang mampu memberi efek positif pada kehidupan manusia. Karya sastra biasanya memiliki bahasa yang indah dan tersusun dengan baik sehingga mampu memberi kesan di hati para pembacanya. Hal ini juga ditunjukkan dalam novel berjudul “Mawar Hitam Tanpa Akar” karya penulis perempuan kelahiran Jayapura bernama Aprila Wayar. Dari beberapa sumber, Aprila Wayar disebutkan sebagai novelis perempuan Papua  pertama di era tahun 2000-an. Novel ini dicetak pertama kali pada tahun 2009.

 

 

Menikmati sebuah karya sastra merupakan langkah yang bisa mempertajam pikiran analisis pembaca, dan melalui tutur bahasa dan alur cerita yang disajikan, hati sanubari pembaca yang halus disentuh yang selanjutnya emosinya mulai dipermainkan. Novel ini disajikan dengan sederhana namun mampu menyampaikan pesan yang sangat dalam atas apa yang terjadi. Dengan tebal 194 halaman, pembaca bisa membacanya dalam beberapa saat, dan dimanjakan dengan keutuhan pemahaman alur cerita. Terbagi dalam VI bab, novel ini memberi sudut pandang dari masing-masing tokoh yakni Anna, Tom, Michael, dan Sari sehingga membantu pembaca lebih mudah memahami kisah yang coba dituturkan oleh penulis.

Dengan latar belakang dinamika politik dan peristiwa kerusuhan yang terjadi di Papua, novel ini juga menggambarkan romansa cinta antara anak manusia yang dibumbui dengan perselingkuhan. Memakai latar belakang kota-kota yang ada di Papua, Jawa, Sulawesi, bahkan luar negeri, melahirkan pengertian bahwa para tokoh cerita memiliki pergaulan dan wawasan yang luas yang mampu membuat para pembacanya merasa bahwa kisah ini adalah kisah mereka, khususnya bagi para pembaca dari tempat-tempat yang disebutkan.

 

 

Patrick Valdano Sarwom, mahasiswa komunikasi STPMD, sebagai penutur novel ini, mampu memantik pemikiran para peserta yang hadir dalam bedah dan diskusi novel “Mawar Hitam Tanpa Akar”, di sekretariat Stube HEMAT Yogyakarta (Jumat, 5/07/2024). Pelanggaran HAM di Papua dengan peristiwa pemerkosaan perempuan Papua, kekerasan demi kekerasan untuk memecahkan persoalan yang terjadi oleh aparat keamanan menjadi sorotan dalam bedah novel dan diskusi ini. Kerinduan masyarakat Papua untuk sebuah kedamaian, kesejahteraan dan keadilan yang seimbang terus menggelora di kalangan kelompok-kelompok yang menyuarakan Papua Merdeka. Tanpa memihak pada kelompok mana pun, novel ini mampu menyuarakan keadilan bagi Papua secara implisit. Keseruan pendapat dari mahasiswa yang hadir bermuara pada satu pemikiran bahwa kemajuan pembangunan infrastruktur yang telah ada tidak berarti meninggalkan pembangunan manusianya yang menjadi tujuan utama pembangunan. Membangun dari manusianya adalah kebutuhan Papua. ***

 


  Bagikan artikel ini

Berita Web

 2024 (20)
 2023 (38)
 2022 (41)
 2021 (42)
 2020 (49)
 2019 (37)
 2018 (44)
 2017 (48)
 2016 (53)
 2015 (36)
 2014 (47)
 2013 (41)
 2012 (17)
 2011 (15)
 2010 (31)
 2009 (56)
 2008 (32)

Total: 647

Kategori

Semua  

Youtube Channel

Lebih baik diam dari pada Berbicara Tetapi tidak ada Yang Di pentingkan Dalam Bicaranya


-->

Official Facebook